Delapan Ekor Kagungandalem Mahesa Keturunan Kiai Slamet Tertular PMK, Nyai Apon Meninggal (5-habis)

  • Post author:
  • Post published:July 27, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Sinuhun PB X Menegaskan Nilai Manfaat Pusakadalem Mahesa Kiai Slamet

IMNEWS.ID – SABDADALEM Sinuhun Paku Buwono (PB) X saat jumeneng nata sebagai “Raja” di “nagari” monarki Mataram Surakarta (1893-1939), selain menegaskan banyak hal terutama arti penting warisan leluhurnya (Sinuhun PB II) berupa kelangenandalem mahesa Kiai Slamet bagi kraton dan kehidupan warga peradaban secara luas, juga menegaskan nilai manfaatnya. Proses produksi pangan hasil pangan di berbagai wilayah di Tanah Air yang merupakan bagian negara agraris terutama di Jawa, benar-benar memahami arti penting dan nilai manfaat satwa jinak kerbau atau mahesa itu.

Kirab agung dalam rangka jumenengan nata dengan cucuk lampah mahesa Kiai Slamet yang mengawali kepemimpinan Sinuhun PB X, jelas menjadi teladan di kalangan generasi penerusnya yang diwujudkan dalam kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa, 1 Sura, yang juga menempatkan kawanan mahesa keturunan Kiai Slamet sebagai cucuk lampahnya. Selain menegaskan arti penting kerbau atau mahesa, peristiwa adat budaya seperti ini jelas hendak menegaskan nilai manfaat keberadaan satwa jinak itu sendiri, maupun sebuah aktivitas ritual yang membungkusnya, yaitu kirab pusaka menyambut pergantian Tahun Baru.

“Di satu sisi, kerbau apalagi kagungandalem mahesa Kiai Slamet, karena dianggap satwa yang memiliki daya magis dan dikeramatkan, maka sangat tepat digunakan untuk keperluan upacara adat yang tujuannya memohon kawilujengan atau keselamatan. Sekali lagi, kerbau adalah simbol keselamatan. Sedang di sisi lain, kita semua tahu nilai manfaat kerbau di kalangan petani. Apalagi negara kita negara agraris. Masih banyak lagi nilai manfaat di luar semua itu,” tunjuk KP Budayaningrat (iMNews.id, 26/7) yang sering diminta sebagai “juru penerang budaya” di berbagai kesempatan di luar kraton, menjawab pertanyaan iMNews.d, kemarin.

Jadi Seperti “Tabungan”

MENGAMBIL GAJI : Abdidalem srati ML Mulyono “Kampret’ Reksomahesa semasa hidupnya, saat mengambil gaji yang dibagikan di teras Untarasana Kantor Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta, sebelum 2017.   (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena posisinya yang dianggap memiliki sesuatu yang berkaitan dengan dimensi supranatural, maka pemerhati budaya Jawa dan kraton KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat bisa memahami apabila di kalangan masyarakat pedesaan masih meyakini sesuatu yang bermanfaat dari kagungandalem mahesa Kiai Slamet. Bila bukan sentuhan atau auranya saat berdekatan di suasana kirab malam 1 Sura, pasti ditunggu “kotoran”-nya yang dianggap bisa menyuburkan tanaman, atau kutunya yang dipercaya bisa menyembuhkan sakit dan penyakit, atau kerangka kepala bersama tanduknya yang banyak dipasang di pintu rumah kebanyakan masyarakat di luar Jawa untuk tolak bala.

Beberapa nilai manfaat itu hanya bisa dirasakan oleh kalangan yang masih meyakini mahesa keturunan Kiai Slamet memiliki sesuatu yang berkaitan dengan energi supranatural, yang juga diakui KRAT Hendri Rosyad saat berada di tempat upacara adat kirab pusaka di malam 1 Sura, atau ketika datang menjenguk pusakadalem itu di kandangnya, kawasan Alkid. Masih banyak nilai manfaat atas keberadaan kagungandalem mahesa keturunan sepasang Kiai Slamet yang dipersembahkan Bupati Ponorogo RT Surabrata kepada Sinuhun PB II (1727-1749) itu, yang dirasakan beberapa pihak.

Sebut saja mbah Gito (70), warga Kampung Babadan, Desa Madegondo, Grogol, Sukoharjo, yang memiliki piaraan 4 ekor kerbau, tiga di antaranya berpigmen bule, yang bisa diibaratkan seperti sedang “menabung”. Betina yang terakhir dimiliki, adalah bagian di antara keturunan generasi kerbau yang dimiliki sebelumnya.  Tetapi karena sejak lama desanya sering didatangi kerbau bule bernama Kiai Bodong yang bertanduk lebar, kokoh dan tampak “serem” itu, maka dari satu betina dalam beberapa tahun menjadi 4 ekor. Tiga kerbau bule yang yang dilahirkan, terdiri dua jantan dan satu betina, tetapi terlahir dalam periode waktu yang berbeda.

Kutu dan Serpihan Tanduk

ORANG TERTENTU : Hanya orang-orang tertentu seperti KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, yang bisa merasakan energi yang berhubungan dengan dimensi supranatural saat menyentuh mahesa, apalagi keturunan Kiai Slamet seperti yang diperlihatkan di kandang kawasan Alkid, belum lama ini. (foto : iMNews.id/dok)

“Meh sedaya kebo gadhahane tiyang mriki, keturunan Kiai Bodong niku. Kebo bule jaler sing saba mriki niku, genah kebo kraton, Kiai Slamet. Napa melih, kebone kathah sing bule. Niku genah keturunan Kiai Slamet. Anu kok, nggih enten bedane saklebete kula gadhah kebo bule. Tiyang Wonogiri kalian Pacitan (Jatim), nate madosi omah kula mriki, namung ajeng nyuwun tuma (kutu) kalih sisik sungu (serpihan tanduk). Sanjange ajeng kangge tamba sedereke sing sakit. Napa melih, yen kula lagi kepepet ajeng butuh ning dereng gadhah arta, sesuke la kok enten tiyang ajeng numbas kebo kula. Syukur alhamdulillah enten keturunane Kiai Slamet niku,” ucap mbah Gito dalam bahasa Jawa campuran “ngoko” dan “krama”, yang ditemui iMNews.id beberapa waktu lalu.

Dari sejumlah kepala keluaraga (KK) warga Desa Madegondo dan Desa Gedangan kecamatan Grogol, kini tinggal 2 atau tiga KK yang masih memelihara kerbau, yang rata-rata ada bulenya. Lainnya sudah tidak memelihara, karena merasa tidak nyaman dengan isyarat “risih” warga lingkungan sekitarnya yang makin padat penduduknya, dan menjadi kampung modern, apalagi rata-rata rumah di situ berubah menjadi bisnis jasa indekost atau kos-kosan. Hadirnya dua mal besar, rumah sakit besar, hotel dan simbol-simbol modernitas lainnya di kawasan Solo Baru, sedikit demi sedikit mengikis potensi kekayaan tradisional agraris yang menjadi ciri kehidupan masyarakat sekitar, sebelum itu.

Dalam suasana proses perubahan akibat kencangnya hembusan budaya modern dalam satu atau dua dasa warsa terakhir, seekor mahesa jantan keturunan Kiai Slamet yang diberi nama Kiai Bodong (Gedhe-Red), paling suka berendam di anak Bengawan Solo di kawasan Desa Ngarak-arak, Grogol. Bila merasa lapar, daun padi yang masih hijau dan padi yang sudah menguning di dekatnya, menjadi sasaran untuk memenuhi tuntutan perut lapar. Setelah itu, pengembaraan berlanjut ke beberapa pemukiman warga di Desa Madegondo dan Gedangan, sampai menurunkan anak-anaknya yang berpigmen bule, karena perjalanannya berkelana sampai belasan tahun hingga meninggal ditombak perutnya, sekitar 5 tahun silam.

Contoh Tidak Baik

NILAI MANFAAT : Salah satu nilai manfaat yang dirasakan abdidalem srati Joko “Gepeng”, adalah tambahan penghasilan dari jualan pakan mahesa yang ditunggui salah seorang anaknya di depan kandang kawasan Alkid, beberapa waktu tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau dihitung-hitung dari beberapa peristiwa itu, memang masih banyak nilai manfaat dari “mudharat”nya. Itupun karena, hanya seekor yang terlanjur lepas liar, sulit ditanggulangi walau oleh ML Mulyono “Kampret” Reksomahesa, almarhum abdidalem srati yang termasuk paling sabar dan setia “menggembalakannya”. Abdidalem ini meninggal karena sebuah kecelakaan yang dialaminya di jalan raya Solo-Ngawi, saat mengayuh sepeda untuk pulang ke desa asalnya di Ponorogo (Jatim), yang waktunya tidak berselang jauh dari meninggalnya Kiai Bodong, sekitar 5 tahun silam.    

KRAT Hendri Rosyad tetap setuju dengan hal-hal yang berkait dengan dimensi supranatural, ketika membahas mahesa keturunan Kiai Slamet, namun diakui memang banyak yang sulit dijelaskan dengan akal sehat dan tidak setiap orang bisa menjelaskannya dengan konstruksi penalaran yang berlaku sekarang. Dalam kerangka seperti itu, GKR Wandansari selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, sangat menyayangkan adanya tindakan yang terkesan “memaksa” lima ekor kagungandalem mahesa dikeluarkan dari kandang dan digiring menuju kompleks Pendapa Magangan, Selasa siang (26/7).

“Kalau tidak salah, lima ekor mahesa itu akan dikurung di sekitar (Pendapa) Magangan. Kita lihat saja, apa nanti juga dipaksa untuk keperluan kirab pusaka. Yang lima itu termasuk yang tertular PMK. Tetapi baru dua hari divaksin, butuh waktu proses kekebalan sedikitnya dua minggu. La kok malah digiring keluar kandang. Katanya ada surat yang isinya demi kesehatan agar tidak tertular PMK. Kasihan itu. Ini termasuk memberi contoh yang tidak baik bagi masyarakat luas,” tandas Ketua LDA yang akrab disapa Gusti Moeng itu, menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, kemarin. (Won Poerwono-habis/i1)