Setelah “Menghilang” Sejak Menjelang Tingalan “Perdamaian” 16 Februari
SURAKARTA, iMNews.id – Tidak pernah terdengar ada pembicaraan sebelumnya, tiba-tiba tujuh penari Bedaya Ketawang eks “diklat (pendidikan dan latihan) di Jogja” muncul kembali dan bergabung dalam “gladen” Bedaya Ketawang yang digelar rutin Kraton Mataram Surakarta tiap Anggara Kasih di Pendapa Sasana Sewaka, Selasa Kliwon (13/6) siang kemarin. Gladen yang langsung dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta itu, siang kemarin menampilkan hampir dua tim yang berjumlah kurang lebih 18 orang.
Munculnya para penari eks “diklat Jogja” yang selama 2017-2022 digunakan untuk melengkapi upacara adat tingalan jumenengan Sinuhun PB XIII itu, baru terlihat saat gladen atau latihan hendak dimulai, sekitar pukul 12.30 WIB. Karena, setelah dua belasan anggota tim penari Sanggar Pawiyatan Beksa berjalan jongkok dari teras Parasedya menuju tengah ruang Pendapa Sasana Sewaka, masih ada penari yang menyusul di belakangnya. Para penari sanggar mengenakan sampur hijau, sedangkan tujuh penari “diklat Jogja” menyusul di belakang mengenakan sampur warna orange.

“Lo….. iki penari Bedaya Ketawang ‘SPj’ ta…? Ya…., sing sregep melu latihan, ben ndang pinter, apik lan ndalan,” seloroh GKR Wandansari Koes Moertiyah yang juga selaku koreografer dan instruktur tari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta, saat menyaksikan masuknya para penari eks “diklat Jogja”, Selasa Kliwon, siang kemarin. Seloroh itu juga langsung ditimpali KPH Raditya Lintang Sasangka dengan ungkapan spontan :”La… mbok melu latihan ngono kuwi. Ben ngerti tatacarane. Ora mung waton tampil. Neng kraton, kabeh eneng aturane (adat) lan tatacarane.”
Sentana-dalem KPH Raditya Lintang Sasangka dan Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu, saat menyaksikan masuknya dua tim penari itu sudah dalam posisi masing-masing yang berada dalam satu tempat tugas, yaitu unit karawitan iringan tari Bedaya Ketawang. Sepasang gamelan Kiai Mangunharja (Sendro) dan Kiai Harjabinangun (Pelog) untuk iringan tari Bedaya Ketawang baik untuk keperluan upacara adat tingalan jumenengan maupun “gladen” Anggara kasih, menetap di teras selatan Pendapa Sasana Sewaka yang menghubungkan dengan bangunan gedhong Sasana Handrawina.

Tempat sepasang gamelan menetap di situ, tentu diikuti para seniman pengrawitnya yang dipimpin KPH Raditya Lintang Sasangka selaku “tindhih” abdi-dalem karawitan dari Kantor Pengageng Mandra Budaya. Sedangkan Gusti Moeng, bergabung duduk lesehan di lantai bersama semua seniman karawitan, untuk memperkuat vokal sindenan iringan Bedaya Ketawang karena tinggal tiga orang pesinden yang rata-rata sudah menginjak usia 60-an tahun. Walau di situ, Gusti Moeng juga punya tugas mengamati sambil memberi aba-aba kepada para penari apabila ada gerakan yang salah, tidak kompak dan formasi yang keliru.
Karena semua sudah berada di tempat masing-masing, termasuk para penari Bedaya Ketawang, sekitar pukul 12.30 WIB, “thinthingan demung” dan “rengekan” rebab sebagai pertanda aba-aba atau “ada-ada” dimulainya “gerong” atau “sindenan” dikumandangkan. Itu menjadi aba-aba bagi para penari yang sudah bersila menghadap ke barat, segera melakukan gerakan penghormatan berupa “sembah”. Begitu instrumen gamelan lain seperti bonang, dua kemanak dan kendang mengikuti ditabuh, mereka kemudian berdiri dan melakukan gerakan awal sesuai urutan gerakan baku tari Bedaya Ketawang.

Dalam suasana “gladen”, penampilan para penari bisa dievaluasi setiap saat untuk dibetulkan apabila melakukan gerakan atau berada pada formasi yang salah. Begitu pula, ketika ada perlengkapan kostum yang tiba-tiba kendor atau lepas, juga bisa langsung diperbaiki di tempat atau keluar dari formasi. Pada saat gladen seperti itu, banyak eks penari atau penari senior seperti GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, GKR Ayu Koes Indriyah, NormaLina dan sebagainya, secara spontan bisa membantu Ika Puspawinahyu selaku Lurah Bedaya, untuk membimbing agar gerakan tari tetap terkontrol, tepat, benar, luwes dan indah.
Meski tim penari dari eks “diklat Jogja” tampak tiba-tiba datang bergabung, peristiwa itu pasti sudah didahului dengan dialog, komunikasi, kesepakatan serta izin, utamanya dengan/dari Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa dan penanggung-jawab semua lembaga, termasuk sanggar dan setiap pelaksanaan kegiatannya, termasuk “gladen” tari Bedaya Ketawang tiap weton Anggara Kasih. Hal demikian dibenarkan Ika Puspawinahyu selaku Lurah Bedaya sekaligus salah satu instruktur tari, saat dimintai konfirmasi iMNews.id, siang tadi.

“Saya selalu berfikir positif saja. Jadi, datangnya para penari yang pernah digunakan dalam tingalan jumenengan selama 2017-2022 itu, ya wajar-wajar saja kalau hanya ingin bergabung ikut latihan bersama. Di antara lebih dari 9 penari yang selama 5 tahun mengisi ‘kekosongan’ hingga latihan bersama pada Anggara Kasih sebelum tingalan jumenengan, 16 Februari, hanya 7 penari yang datang. Mereka sudah punya kesibukan sendiri-sendiri, karena ada yang jadi guru dan mahasiswa. Tinggalnyapun kebanyakan di Jogja. Kalau ini menjadi jembatan agar ke depan menjadi awal pasuwitan yang lebih baik, saya setuju sekali,” tandas Ika.
Seperti diketahui, sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022, ada kesempatan “gladen” tari Anggara Kasih sebelum datang upacara adat tingalan jumenengan “perdamaian”, 16 Februari 2023 (iMNews.id, 20/12/2022). Kesempatan itu digunakan latihan para penari sanggar pawiyatan di sesi awal, dan penari eks “diklat Jogja” di sesi berikutnya, tetapi pada saat ritual tingalan jumenengan, Gusti Moeng hanya menggunakan para penari sanggar pawiyatan. Sejak itu, baru pada Anggara Kasih kemarin, para penari eks “diklat Jogja” muncul kembali ikut latihan, walau hanya 7 orang. (won-i1)