Mengangkat Lakon dari Babad yang Mengisahkan Asal-Usul Kota/Kabupaten di Jawa
SURAKARTA, iMNews.id – Seorang dalang dari intelektual kampus, Dr Purwadi SS MHum, akan menggencarkan penyebaran “virus” cinta Mataram Surakarta melalui seni pedalangan atau pertunjukan wayang kulit. Setelah beberapa kali pentas, di antaranya gelar lakon Babad Ratu Kalinyamat di Kabupaten Jepara, beberapa waktu lalu, Jumat malam (6/10) besok akan menggelar pentas di Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, Kabupaten Sragen. Lakon yang akan disajikan pada pentas di kediaman KRT Simin Atmo Sukarto Hadinagoro itu, adalah “Babad Sukowati”.
“Kesadaran masyarakat untuk mengenal, memahami dan cinta budaya Jawa yang dipancarkan Mataram Surakarta, memang sangat rendah di saat ini. Karena, memang ada yang menghendaki begitu. Cara mengenalkannya kembali, sulit atau berat kalau melalui cara-cara yang ditempuh kraton selama ini. Kalangan pendidikan, terutama perguruan tinggi sudah tidak peduli melakukan itu. Karena, yang diperlukan hanya mengenalkan aspek-aspek yang ada hubungannya dengan republik,” jelas peneliti sejarah dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) yang juga menjadi ketua pusat lembaga di Jogja itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, siang tadi.
Maka, lanjut anggota Pakasa Cabang Jogja itu, pengenalan sejarah di luar lembaga pendidikan resmi di sekolah, kalulah berujud pertunjukan seni wayang kulit, tentu diangkat tema-tema yang hanya menguntungkan untuk legitimasi republik. Kalau melalaui pelajaran di bangku sekolah mulai tahun 1970-an, yang banyak diangkat kisah kepahlawanan Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Tiga Serangkai dan sebagainya. Kalau melalui seni pakeliran, dicarikan atau dibuat cerita (lakon carangan-Red) yang mendukung keperluan itu, misalnya “Mbangun Candi Sapta Arga”, “Semar Mbangun Kayangan”, dan sebagainya.
Kemudian, lakon-lakon seni pedalangan yang ditampilkan di tahun 1980-an, banyak mengangkat tema delegitimasi dari supremasi budaya (Jawa), misalnya “Wisanggeni Gugat”, “Jamus Kalimasada Murca” dan sebagainya untuk menghilangkan atau menghapus tata-nilai etika budaya Jawa seperti yang selama ini masih terawat di Kraton Mataram Surakarta. Setelah itu, sempat dimunculkan tema “Banjaran”, tetapi akhirnya juga kehabisan ide. Namun, para seniman dalang tidak mau menggali lakon dari wilayah lain yang tidak akan kehabisan ide, tetapi perlu banyak belajar sejarah.
“Kalau hanya menuruti pasar, ya akan kehabisan ide. Padahal, semua sudah dilakukan. Termasuk mengundang pelawak ke panggung. Pesindennya disuruh njoget. Grup campursari juga ditampilkan di situ. Tetapi, akhirnya kehabisan ide juga ‘kan?. Padahal, kalau mau belajar sejarah dan membaca babad-babad di tanah Jawa, kaya sekali ide ceritanya. Masyarakat sangat memerlukan itu sekarang ini. Agar generasi keturunannya selalu memahami lakon-lakon dari babad itu, yang berarti selalu akan naggap wayang. Babad kota/kabupaten di tanah Jawa yang berhubungan dengan Mataram Surakarta, kaya sekali ide-ide yang bisa diangkat menjadi lakon,” sebut Dr Purwadi.
Untuk itu, katanya, dia tidak akan ikut melayani pasar wayang kulit klasik maupun yang dikreasi dengan aneka macam sensani itu. Peneliti sejarah ini justru akan mengangkat babad-babad berdirinya kota/kabupaten yang pernah menjadi wilayah Mataram Surakarta, sebagai sumber ide lakon. Sekaligus, bisa memberi edukasi kepada warga peradaban secara luas, tentang kekayaan budaya warisan sejarah Mataram Surakarta, yang sebagian besar masih ada sekarang ini. Pentas “Babad Sukowati” yang akan digelar di kediaman salah seorang warga Pakasa Cabang Sragen, Jumat malam (6/10) besok misalnya, bisa mengedukasi publik tentang eksistensi Kabupaten Sragen dari sisi-sisi kekayaan yang ada. (won-i1).