Tersimpan di British Library Inggris, Bertuliskan Tahun 1794
IMNEWS.ID – MEMANG baru belakangan, mulai terdengar sayup-sayup ada pihak-pihak yang mempertanyakan relevansi antara tradisi atau peristiwa “halal-bihalal” dengan Hari Raya Idhul Fitri yang sudah pula diadaptasi bangsa Indonesia dengan nama “Lebaran”, yang sudah mendarah-daging pada setiap insan bangsa di Nusantara ini. Ungkapan mempertanyakan itu bernada tidak percaya, yang dilatarbelakangi sikap kurang setuju terhadap fakta adanya akulturasi atau kolaborasi antara Islam dengan budaya Jawa, yang ternyata lestari sampai ratusan tahun dan menjadi cirikhas kehidupan sosial religius bangsa Indonesia.
“Sebelum banyak mendapat tambahan data-data sejarah itu, saya sudah meyakini bahwa banyak sekali tradisi bangsa Indonesia terutama di Jawa dalam merayakan beberapa hari besar Islam seperti Idhul Fitri atau Lebaran ini, berasal dari akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa. Karena, para Wali Sanga memang menggunakan seni budaya Jawa untuk penyebaran Islam. Maka, ya bisa dimaklumi kalau di tempat asalnya sana tidak ada istilah-istilah yang di sini malah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Salah satunya, ya kata Halal Bihalal itu, mirip dengan kata Halal Bah Halal dalam buku Babad Sagung Para Ratu,” sebut KRRA Budayaningrat, praktisi budaya sebagai “dwija” pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Karaton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Apa yang ditemukan pengurus Yayasan Panakawan Jateng dari seorang peneliti anggota Komunitas Pecinta Kesusasteraan Kuno dan Klasik Mataram bernama Rendra Agustaf itu, tentu akan menjelaskan kisah Sinuhun Paku Buwana atau Paku Buwono (PB) X yang secara spontan bersabda “Halal Bihalal” ketika menjawab pertanyaan Gubernur Belanda yang mempersoalkan sebuah pertemuan yang dinilainya rahasia (iMNews.id, 5/5). Karena, kata “halal bihalal” yang diucapkan Sinuhun PB X (1893-1939) itu, diyakini ada sumbernya yang sangat meyakinkan, mengingat Karaton Mataram Surakarta adalah penerus Karaton Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), yang juga diyakini banyak mendapat tuntunan ajaran para leluhurnya utamanya para Wali Sanga.
Kelak Akan Diperhitungkan
Petikan kalimat yang tampak pada satu halaman dari buku “Babad Sagung Para Ratu” Nomer 110 BL (British Library) MSS Jav (Perpustakaan di Inggris-Red) yang sempat difoto Rendra Agustaf dan dikirimkan ke KRRA Budayaningrat lewat nomer WA-nya, secara garis besar dalam ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi :” Melukiskan Syekh Alul Imam sebagai guru spiritual Sunan Makedum di Cirebon ketika bepergian dengan kapal, keduanya berdialog dan dikisahkan Syekh Alul Imam baru menerima ‘Halal Bah Halal’ dari anakmas (Raja/pangeran) Cirebon. Nanti kalau sudah ‘dihalalkan’ atau diberikan secara sah/halal, itu bisa diterima dan jika kelak meninggal akan tetap diperhitungkan”.
“Sudah lama Syekh Alul Imam menulis pesan-pesan untuk Sunan Makedum yang punya dua anak, semuanya lelaki. Anak lelaki tertua jumeneng (bertahta) di (Karaton) Cirebon, dan adiknya jumeneng atau bertahta di Karaton Banten. Setelah lama menulis pesan, lalu berhenti untuk istirahat. Ada manusia berhutang tiga ribu, tidak bisa membayar/mengembalikan, padahal pekerjaannya mengukir (mranggi-Red) di kemasan. Syekh Alul Iman masih makan ‘Halal Bah Halal’, atau menggunakan yang sudah dihalalkan. Kalau ada yang masih berhutang tapi belum mengembalikan/membayar atau belum dihalalkan, kelak di akhirat nanti ketika mati pasti akan diperhitungkan,” jelas KRRA Budayaningrat mengakhiri kalimat yang diterjemahkan dari tulisan berbahasa dan beraksara Jawa itu.
Dari halaman buku yang diyakini ditulis Carik Dalem (juru tulis/notulen raja) di tahun 1794 yang berada di masa jumenengnya Sinuhun PB IV (1788-1820) itu, KRRA Budayaningrat meyakini bahwa dari sinilah Sinuhun PB X mendapatkan istilah “Halal Bihalal”. Ia tidak menyebut ada perubahan dari rangkaian kata “Halal Bah Halal” menjadi “Halal Bihalal”, karena kebiasaan lidah orang Jawa dalam mengadaptasi istilah asing menjadi mudah diucapkan dalam keseharian tanpa merubah makna atau artinya.
Dengan Kerendahan Hati
Meski Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu tidak menyebut adanya perubahan rangkaian kata itu, tetapi banyak ahli dari lingkungan kampus terutama ahli sejarah dan Bahasa Jawa sering menyebutkan bahwa banyak sekali kata-kata atau istilah asing termasuk bahasa Arab, yang diadaptasi lidah orang Jawa menjadi agak berubah. Namun, perubahan itu tidak sampai merubah makna atau pengertiannya, seperti halnya “Halal Bah Halal” menjadi “Halal Bihalal” yang diucapkan secara tidak sengaja oleh Sinuhun PB X, dan kini tetap lestari menjadi milik warga bangsa secara luas.
Dari kandungan makna naskah “Babad Sagung Para Ratu” yang diterjemahkan KRRA Budayaningrat, bila garis besar esensinya kurang lebih memberi penjelasan yang tidak beda jauh dengan makna “Halal Bihalal”, yang kini dilakukan warga bangsa ini di saat datang Hari Raya Idhul Fitri atau beberapa saat setelah bersama-sama melakukan shalat Ied. Secara fisik dalam tata-krama dan etika kehidupan sosial kemasyarakatan disimbolkan dengan bersalaman atau berjabat-tangan, sambil mengucapkan “Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”.
Dalam perkembangannya, peristiwa “Halal Bihalal” yang disederhanakan menjadi kalimat saling memaafkan atau maaf-memaafkan, dimaksudkan sebagai upaya membangun kesadaran manusia untuk berada dalam kerendahan hatinya meminta maaf kepada orang lain terutama kedua orangtua dan para leluhurnya, sanak famili dan lingkungan yang lebih luas. Sebaliknya, dengan kerendahan hati pula untuk memberi maaf kepada semua orang, dari lingkungan terdekat sampai yang paling jauh, karena kini ada teknologi handphone yang bisa digunakan untuk video call, kalau terpaksa tidak bisa “mudik”.
Teladan yang Baik
KRRA Budayaningrat tidak menyebut bahwa bisa jadi karya notulen Carik Dalem yang menulis catatan “Babad Sagung Para Ratu” dengan angka tahun 1794 itu adalah abdidalem Carik Sinuhun PB IV sendiri, karena Raja Karaton Mataram Surakarta ini juga dikenal sebagai Pujangga Jawa yang banyak karya sastranya bernuansa spiritual religi seperti tembang serat macapat Gambuh berjudul “Wulangreh” itu (iMNews.id, 19/4). Artinya, Raja yang satu ini begitu banyak belajar tentang Islam dan mempelajari para leluhurnya yang telah mendirikan Karaton Mataram Islam, serta para leluhur yang berkontribusi sehingga ciri-ciri Islam banyak mewarnai kraton di Jawa itu.
Sama halnya dengan Hari Raya Lebaran, istilah “mudik” (iMNews.id, 29/4) kini seakan sudah menyatu juga dengan peristiwa “Halal Bihalal”, bahkan menjadi satu rangkaian aktivitas yang benar-benar dipersiapkan sekali dalam satu tahun. Menurut KRRA Budayaningrat, dulu banyak orang dari sekitar Surakarta mudik ke desa-desa asalnya di Hari Raya Idhul Fitri, untuk sungkem atau berhalal-bihalal kedua orangtuanya dan keluarga besar dan sanak-familinya.
“Saya setuju dengan fakta-fakta sejarah itu. Karena, Lebaran, Halal-bihalal dan mudik itu memang sudah menjadi bagian dari budaya kita. Budaya bangsa Indonesia. Yang merantau di luar negeri jauhpun, menyempatkan untuk pulang, sungkem kepada orangtua. Insya Allah, saya ingin terus meniru teladan baik itu, untuk anak-cucu saya. Saya dulu juga dididik kakek begitu. Karena kakek buyut abdidalem ulama di Kepatihan, juga mengajarkan seperti itu,” tandas KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati budaya Jawa dan kraton secara spiritual yang dimintai pendapat iMNes.id di tempat terpisah. (Won Poerwono-i1).