Safari Nyadran Benar-benar Diintensifkan, Karena Potensi Ancamannya Serius (2- bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 8, 2022
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:8 mins read

Mengajak Berbagai Pihak Mengenali Potensi Destinasi Wisata Spiritual Religi

IMNEWS.ID – KEGIATAN safari ziarah keliling di sejumlah makam leluhur Dinasti Mataram yang dilembagakan Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) menjadi agenda resmi rutin setiap tahun mulai bulan Ruwah tahun 2022 ini, momentumnya memang tepat ketika menjadi semacam “pisau” bermata banyak. Karena, secara kebetulan berbagai persoalan yang sedang dihadapi memang begitu banyak, baik LDA sebagai lembaga berbadan hukum yang layak mengelola Keraton Mataram Surakarta di satu sisi, tetapi juga persoalan yang dihadapi lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta secara umum, di tengah kehidupan secara luas di sisi yang lain.

Bila diurutkan, pelembagaan kegiatan nyadran Ruwahan atau “Tour de Makam, Petilasan dan Pesanggrahan” serta intensifikasi kegiatan ritual ini menjadi sebuah gerakan budaya yang diinisiasi LDA, menjadi urutan paling atas. Namun, pelembagaan kegiatan itu menjadi dorongan dan penguatan bagi paguyuban masyarakat adat (Pakasa) di tingkat cabang secara kelembagaan, dan dorongan serta penguatan lokasi makam/petilasan/pesanggrahan menjadi destinasi wisata yang meningkatkan nilai ekonomis bagi Pemda dan kesejahteraan masyarakat di lingkungannya, menjadi urutan berikutnya.

Ritual nyadran yang dilembagakan dan diintensifkan pelaksanaannya dengan agenda tetap di bulan ruwah, menjadi satu dengan upaya mencakup jumlah titik lokasi makam/petilasan/pesanggrahan leluhur Diasti Mataram lebih luas lagi, serta menyentuh bidang kehidupan di lingkup budaya Jawa yang sedang menghadapi persoalan besar. Karena, ritual nyadran yang biasa dimaknai dengan kerja bhakti bersih kubur/makam sebagai tradisi masyarakat pedesaan, kini sedang mengalami “cedera” serius akibat seni pakeliran wayang kulit dianggap ”haram”.

Terkena Kombinasi Pukulan

BERGABUNG KIRAB : Warga Nahdliyin bergabung dalam barisan kirab saat Gusti Moeng (Ketua LDA) memimpin rombongan dari Keraton Mataram Surakarta, menjalankan agenda ritual nyadran di makam Ki Ageng Selo di Desa Selo, Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, belum lama ini.  (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Ibarat pukulan tinju, stigma haram yang diberikan kepada seni pedalangan itu masuk kategori pukulan kombinasi yang berakibat telak, karena jagad seni pedalangan yang di dalamnya memiliki berbagai unsur dan elemen kerja seni profesinal, benar-benar terkapar tidak berkutik. Padahal, dalam kurun waktu yang lumayan panjang atau lebih dari 2 dekade, elemen-elemen dan unsur-unsur yang berkait dengan seni pedalangan itu sudah terserempet pukulan swing, jab, uppercut, hook yang mematikan pelan-pelan, walau ada yang menjadi kebal setelah melakukan “transformasi” penampilannya.

Seni pedalangan atau pakeliran memang sudah memiliki persoalannya sendiri yang begitu berat, akibat berbagai faktor yang kompleks. Tetapi, ketika wayang kulit menjadi bagian dari ritual religi seperti “ruwatan” yang ternyata di dalamnya berisi nasihat-nasihat rohani yang berasal dari ajaran agama saat bersiap memasuki bulan Ramadan, sangat tidak masuk akal ketika dituding “musyrik” dan syirik” yang membuat wayang ruwat dengan simbol lakon “Murwakala” itu ikut jatuh tersungkur.

Gerakan budaya yang terwujud dalam kegiatan safari nyadran yang dilakukan LDA pimpinan Gusti Moeng (Ketua) berkeliling di wilayah yang sangat luas di Jateng dan Jatim, sekaligus menjadi alat untuk “check sound” untuk mengetahui “sound system” yang berupa berbagai jenis kesenian yang menjadi komponennya sudah benar-benar rusak dan tidak berfungsi. Check sound dilakukan LDA saat “Ziarah dan Muhibah Budaya” di Kabupaten Pamekasan, Madura (Jatim), upacara wisuda warga Pakasa di Kabupaten Sidoarjo (Jatim) dan Kabupaten Jepara (Jateng), dipadu dengan kerja serupa yang dilakukan KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Umum Majlis Adat Keraton Nusantara (MAKN) saat bertemu Ketua DPD RI La Nyala Mattaliti dan Kasad Jend TNI Dudung Abdurachman, beberapa waktu lalu.

Bersama Warga Nahdliyin

TAHLIL DAN DZIKIR : Warga Nahdliyin yang aktif di berbagai lembaga yang ada di Kabupaten Pamekasan, bergabung dalam doa, tahlil dan dzikir sebagai rangkaian ritual nyadran di makam Adipati Tjakra Adiningrat II atau mertua Sinuhun PB IV yang ada di Desa Kol Pajung, Pamekasan Kota, Madura (Jatim), belum lama ini. (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Setidaknya, itulah ungkapan kegelisahan sekaligus niat tegas Bupati Sidoarjo KRA H Achmad Muhdlor Ali Notonagoro SIP (iMNews.id, 5/2), Bupati Jepara Dian Kristiandi (iMNews.id, 22/2) dan Bupati Pamekasan KRT H Baddrut Tamam Cakrahadipuro (iMNews.id, 28/3) untuk ikut bergabung masyarakat adat penerus peradaban Mataram/Jawa untuk menghadapi upaya kelompok-kelompok yang ingin melenyapkan ciri identitas kepribadian bangsa Indonesia. Pendekatan budaya yang menjadi ciri dan kekuatan Pakasa dan elemen-elemen LDA Keraton Mataram Surakarta, menjadi cara yang tepat untuk mengetahui respon dari serangkaian “check sound” yang dilakukan.

Para pemimpin daerah itu seakan-akan gayung-bersambut, mengungkapkan kegelisahannya, sekaligus sedang mencari cara-cara untuk mengatasi segala persoalan yang berkait dengan ancaman tergerusnya nilai-nilai budaya Jawa dan ancaman hilangnya ciri khas kepribadian warganya sebagai bagian dari warga bangsa yang berbhineka. Bahkan terkesan, mereka rata-rata sedang menunggu sebuah gerakan atau pihak-pihak yang berani melakukan gerakan untuk menghadapi ancaman itu sampai akhirnya LDA Keraton Mataram Surakarta datang menjelang.

Dari serangkaian kerja “check sound” menghasilkan kesimpulan, bahwa rata-rata para petinggi negara dan penguasa di daerah serta sebagian masyarakat yang dikunjungi LDA dan MAKN, merasa risau dan galau terhadap perkembangan situasi dan kondisi yang sedang diwarnai ulah kelompok-kelompok yang ingin melenyapkan ciri-ciri kepribadian nasional bangsa. Semua yang di-“check sound”, rata-rata dengan tegas menyatakan siap bersama-sama menjadi benteng, bahkan kalangan warga Nahdliyin di sejumlah PC NU juga muncul bergabung dan menyatakan siap menghadapi kelompok-kelompok yang ingin melenyapkan potensi kekayaan seni budaya yang telah menjadi kepribadian bangsa Indonesia.

Sehari Tiga Lokasi

WARGA PAKASA : Warga Pakasa Cabang Boyolali yang diwisuda Gusti Moeng (Ketua LDA) beberapa waktu lalu, di dalamnya ada banyak warga Nahdliyin PC NU setempat. Dukungannya selama berlangsung ritual nyadran leluhur Dinasti Mataram di beberapa titik lokasi makam di wilayah Kabupaten Boyolali, belum lama ini, sangat membanggakan.  (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Kini, LDA memang sedang menghadapi persoalan internal Keraton Mataram Surakarta yang berkecamuk sejak proses suksesi 2004, meningkat intensitasnya pada 2010 dan mencapai puncaknya April 2017, hingga kini tak ada tanda-tanda terselesaikan. Meski begitu, LDA dengan segenap elemennya termasuk Pakasa, tidak menjadi diam, murung dan dirundung sedih, melainkan bersama organ MAKN dan FKIKN, justru bersemangat menggalang kekuatan kebhinekaan bangsa ini untuk menjaga ketahanan budaya dan cirikhas kepribadian bangsa Indonesia.

Agenda nyadran yang dilembagakan dan ditingkatkan intensitasnya mulai tahun ini, adalah menjadi wilayah kerja LDA dengan segenap elemennya termasuk Pakasa yang tersebar di tingkat anak cabang atau kecamatan di sejumlah kabupaten/kota, di Provinsi Jateng dan Jatim. Namun, dalam susunan jadwal yang sudah begitu padat pada agenda nyadran dalam sebulan, Ruwah Tahun Alip 1955 (kalender Jawa) atau tepat selama bulan Maret lalu, ternyata belum bisa menjangkau semua titik lokasi makam/petilasan/pesanggrahan leluhur Dinasti Mataram.

Setelah melakukan persiapan “pemanasan” dengan menggelar pentas wayang ruwatan yang dilakukan wanita dalang Nyi KMAyT Rumiyati Anjangmas Puspodiningrum di ndalem Kayonan, Baluwarti, Kamis malam (3/3) yang sudah masuk tanggal 1 Ruwah, LDA dengan segenap elemennya memulai perjalanan safari nyadran pada Minggu, 6 Maret. Dalam sehari itu, bisa dijangkau 3 titik lokasi makam leluhur yaitu Ki Ageng Henis (Laweyan, Surakarta), Sri Makurung Handayaningrat (Banyudono, Boyolali) dan kompleks makam Yosodipuran (Pengging, Boyolali). (Won Poerwono-bersambung)

Leave a Reply