Menyambut “Kembalinya” Daerah Istimewa Surakarta dari Usul Pemekaran (5-habis)

Wali Kota Gibran : ”Saya nderek saja…”

IMNEWS.ID – SEPENGGAL dialog singkat antara KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito dengan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming dalam perjalanan meninggalkan aula kantor DPD Partai Golkar Surakarta, akhir November 2021 (iMNews.id, 1/12), bisa memberi banyak makna. Ketika pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual kebatinan itu menyatakan : ”Ini kok serba kebetulan. Bapak sedang ngasta sebagai Presiden (Presiden RI-Red), dan mas Gibran menjabat Wali Kota Surakarta. Kalau ada upaya mengembalikan Provinsi DIS, itu sangat tepat. Baik. Dan membanggakan….”.

Ungkapan KRAT Hendri Rosyad yang disampaikan sambil berjalan menuju mobil Wali Kota yang sudah siap di teras kantor DPD Golkar, malam itu, Gibran hanya menjawab singkat :”…. Kalau saya nderek saja…”. ”Hanya itu yang saya terima saat berdialog sambil jalan mengantar mas Gibran menuju mobilnya. Setelah itu, saya belum punya kesempatan untuk bicara soal itu lagi,” ujar KRAT Hendri menceritakan pengalamannya ikut mendorong upaya pengembalian status Provinsi DIS, saat berbincang dengan iMNews.id, belum lama ini.

KRAT Hendri Rosyad termasuk salah seorang warga yang juga bagian dari masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta yang aktif menggerakkan memori publik, untuk kembali mengingat eksistensi status Provinsi DIS yang pernah ada sekitar 1 tahun sejak NKRI lahir (1945-1946). Melalui berbagai kesempatan, dia juga ikut aktif menggerakkan memori publik dalam upaya pengembalian status Provinsi DIS yang secara terus-menerus diinisiasi oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai Gusti Moeng, sejak dirinya menjadi anggota DPR RI selama dua periode, 1999-2004 dan 2009-2014.

PROSES POLITIK : Sarasehan kedua membahas ”Pindahnya Surakarta dari Kartasura” di kantor DPD Partai Golkar Surakarta, Minggu malam (27/2), sejak awal diwacanakan sebagai proses politik untuk mengembalikan status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, arahnya bias dan kandas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ungkapan singkat Wali Kota Gibran kepada KRAT Hendri Rosyad itu, bisa bermakna banyak atau multi tafsir ketika dianalisis, yang salah satunya mungkin saja bisa karena anak sulung Presiden Jokowi itu tumbuh dewasa saat suasana Tanah Air memasuki era milenial. Salah satunya, bisa karena ingin mengormati dan membuat lega KRAT Hendri yang selama ini dipandang sebagai sosok pemerhati budaya Jawa, tetapi sangat aktif dan konsisten dalam membantu upaya pengembalian status Provinsi DIS.

Makna atau tafsir lain ungkapan Wali Kota Gibran, bisa saja karena referensi yang selama ini diperoleh, kebanyakan dari suasana kehidupan generasi milenial yang dipersepsikan sangat minim referensi sejarah sekitar ”pra” hingga ”pascaNKRI”, terlebih secara khusus referensi soal Provinsi DIS. Tetapi, bisa juga karena sebagai Wali Kota, apalagi sebagai anak Presiden Jokowi yang sebelumnya pernah menjabat Wali Kota Surakarta (2005-2012), sudah ”dibekali” sedikit referensi sebagai dasar bersikap ketika menghadapi isu soal Provinsi DIS.

Karena ”bisik-bisik” yang sempat merembes ke ruang publik dari acara serah-terima jabatan atau pisah-kenal antara Wali Kota lama FX Rudy Hadiatmo dengan penggantinya, Gibran Rakabuming di awal tahun 2021, ada kalimat pesan yang salah satunya menjadi panduan bagaimana Wali Kota Gibran harus bersikap terhadap apa yang dipersepsikan sebagai ”konflik di Keraton Surakarta”. Sepenggal kalimat yang bocor ke luar dan sering ditirukan/diucapkan beberapa tokoh termasuk kerabat keraton, adalah : ”Pokoke ora melu-melu….”.

MENGHORMATI SESEPUH : Sikap Wali Kota Gibran yang selalu tampak menghormati para sesepuh, seperti saat hadir di sarasehan Hari Pahlawan di kantor DPD Partai Golkar Surakarta, akhir November 2021, bisa jadi tafsir lain setelah mendengar saran/usulan KRAT Hendri Rosyad.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalimat pesan ”Pokoke ora melu-melu…” itu, juga bisa banyak makna atau multi tafsirnya. Salah satunya, dimaksudkan agar benar-benar tidak ikut masuk ke dalam konflik yang terjadi di Keraton Mataram Surakarta, sejak 2004 dan memuncak pada tahun 2017, yang membuat keraton ”dijadikan milik pribadi Sinuhun dan kelompoknya” hingga sekarang. Tetapi, tafsir itu bisa salah, karena Wali Kota Gibran menghadiri undangan salah satu pihak yang berkonflik, ketika ada acara di dalam keraton tahun 2021 lalu, bahkan Gibran menerima gelar ”Kanjeng Pangeran” yang diberikan Sinuhun.

Sebaliknya, Wali Kota Gibran tidak hadir saat diundang LDA Keraton Mataram Surakarta yang menggelar pembukaan event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa”, 30 November-5 Desember 2021. Dia mewakilkan Wakil Wali Kota Teguh Prakosa untuk menghadiri dan membuka resmi dengan membacakan sambutan Wali Kota, kemudian memukul gong pada event perdana atau kali pertama yang digelar sejak Pakasa dilahirkan Sinuhun PB X pada tanggal 29 November 1931 itu.

Sikap Wali Kota terhadap apa yang dipersepsikan sebagai ”konflik di Keraton Mataram Surakarta” ini, bila dicermati nyaris tak punya hubungan dengan bagaimana pengembalian status Provinsi DIS yang sudah, sedang dan akanterus diperjuangkan oleh kalangan masyarakat adat yang terwadahi dalam LDA Keraton Mataram Surakarta, yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng. Begitu pula, sulit ditemukan di mana titik hubungannya dengan usulan pemekaran wilayah (provinsi) yang jumlahnya secara nasional sampai sebanyak 30 usulan, seperti yang heboh diperbincangkan di media sosial sejak beberapa pekan lalu.

SEMPAT BERFOTO : Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa yang hadir mewakili Wali Kota untuk membuka sarasehan menyambut Hari Jadi Kota Surakarta ke-277 di kantor DPD Partai Golkar Surakarta, Minggu malam (27/2), sempat diajak foto bersama oleh KRAT Hendri Rosyad sebelum bergegas meninggalkan tempat seusai berpidato.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Akhirnya dengan melihat sejumlah realitas itu, perjuangan Gusti Moeng bersama kalangan masyarakat adatnya dalam upaya mengembalikan status Provinsi DIS, seakan-akan benar-benar menjadi sebuah pemandangan yang berada di seberang lain lagi. Sementara, ada pemandangan di seberang yang seakan-akan lebih riil terjadi pada generasi warga bangsa yang punya katagori paham tetapi apatis, kurang paham tetapi pasif dan bagian yang dikatagorikan/dipersepsikan yang menyebut ”Ngene wae wis penak….”.

Dan pemandangan di seberang lawan hadapnya, adalah generasi usia milenial yang sangat mungkin sudah putus hubungan dengan peradaban generasi 30 tahun di atasnya, apalagi generasi 60 tahun di atasnya. Suasana peradaban yang dihuni generasi-generasi seperti inilah, tempat Wali Kota Gibran sedang berada, apalagi benang-merah memori kolektifnya terhadap sejarah masa lalu bangsa ini, berusaha diputus oleh pihak-pihak seperti yang terlukis dalam peristiwa serah-terima jabatan Wali Kota Surakarta itu.

Entah bagaimana lagi perjuangan pengembalian status Provinsi DIS itu akan bisa menemukan momentum dan dukungan untuk mewujudkan harapan dan cita-cita ideal sebuah daerah istimewa yang demokratis itu, setelah heboh di medsos itu redup dan hilang ditelan bumi?. Yang jelas, jalur atau proses politik yang diinisiasi DPD Partai Golkar Surakartas dan dipersepsikan publik sebagai cara yang paling masuk akal untuk mewujudkan harapan dan cita-cita masyarakat Surakarta itu, justru kelihatan semakin bias dan tertutup oleh anasir-anasir lama yang terwakili pihak-pihak yang merasa ”Ngene wae wis penak….”. (Won Poerwono-habis)    

Leave a Reply