Ini yang Terjadi. Pelestarian Budaya (Jawa) Sedang Menghadapi Tantangan Serius (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:November 20, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Ancamannya Justru Terjadi di Pusat dan Sumbernya Peradaban

IMNEWS.ID – SEBUAH pemandangan kegiatan latihan karawitan yang mengiringi serangkaian sajian pertunjukan fragmen wayang wong dan dua tari di pendapa Kecamatan Pasarkliwon, beberapa waktu lalu, sekilas terkesan sangat biasa dan lumrah terjadi sebelum ada pandemi. Bahkan jauh sebelumnya di saat suasana kehidupan sosial budaya di Kota Bengawan dan juga daerah-daerah lain yang merupakan kantong-kantong budaya, ketika masih memperlihatkan semangat cinta seni budaya, semangat hidup berbhineka, gotong-royong dan selalu bergairah dalam kehidupan yang berbudaya.

Walau yang menggelar latihan persiapan itu adalah keluarga besar Keraton Mataram Surakarta yang dikelola Lembaga Dewan Adat (LDA) pimpinan GKR Wandansari Koes Moertiyah sebagai ketuanya, sekilas juga wajar-wajar saja ketika tampak berkegiatan di pendapa kecamatan. Karena, elemen-elemen dalam masyarakat juga sering kelihatan memanfaatkan fasilitas milik pemerintah untuk berbagai keperluan positif, misalnya untuk latihan berkesenian.

Tetapi, gairah berkesenian warga masyarakat seperti itu terjadi pada dua atau tiga dekade yang lalu. Mungkin saja, pada dekade terakhir masih ada, di saat akan datang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus misalnya, atau hari-hari besar nasional lain yang biasa digunakan untuk berekspresi dalam seni, misalnya peringatan Hari Jadi Kota Surakarta (versi Pemkot) yang diperingati tiap tanggal 17 Februari.

PINJAM UNTUK PENTAS: Setelah pinjam tempat untuk latihan di pendapa Kecamatan Pasarkliwon, untuk menggelar fragmen wayang wong dan dua tarian dalam rangka pelestarian seni budaya aset Keraton Mataram Surakarta, Gusti Moeng juga terpaksa pinjam ndalem Djojokoesoeman. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam suasana kehidupan sosial budaya yang sudah ‘’tercabik-cabik’’ oleh dinamika politik yang ‘’beringas’’ dan masuknya budaya asing yang telah menjadi komoditas politik hampir merata di Tanah Air, gairah berkesenian pada tahun-tahun menjelang datangnya pandemi Corona tampak sudah nyaris tidak ada. Sebuah insiden di Jakarta sekitar Pilkada tahun 2017 yang membuat Ki Manteb Soedarsono (alm) nyaris batal menggelar pentas wayang kulit, adalah salah satu gejala ancaman besar bagi upaya pelestarian seni budaya (Jawa).

Virus Corona yang benar-benar ‘’melumpuhkan’’ sendi-sendi kehidupan bangsa di berbagai belahan dunia dalam dua tahun ini, termasuk Indonesia, menjadi tantangan berat yang menambah bobot ancaman terhadap upaya pelestarian seni budaya secara umum. Dan celakanya, tantangan besar dan ancaman sangat berat terhadap upaya pelestarian seni budaya, justru terjadi di pusat dan sumbernya peradaban yaitu Surakarta Hadiningrat yang pernah 200 tahun menjadi Ibu Kota peradaban Mataram Surakarta (1745-1945).

SIMBOL PENYIKAPAN : Hadirnya Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa pada saat pementasan fragmen wayang wong di ndalem Djojokoesoeman, Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasarkliwon, Minggu (14/11), bisa dimaknai dengan banyak tafsir berkait tantangan yang dihadapi Keraton Mataram Surakarta dalam upaya pelestarian seni budaya.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan memperhatikan peristiwa itu, maka ketika menyimak lebih cermat terhadap apa yang dilakukan Gusti Moeng selaku Ketua LDA (Keraton Mataram Surakarta) dengan ‘’meminjam’’ pendapa kecamatan untuk latihan persiapan pentas seni, sesungguhnya sangat nyata tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian seni budaya produk peradaban (Mataram dan Jawa) yang telah menjadi kekayaan bangsa ini. Sebab, ancamannnya justru datang dari lingkungan habitatnya sendiri,termasuk sebuah kekuatan besar telah menutup Keraton Mataram Surakarta melalui insiden yang terjadi pada April 2017.

Bagaimana bukan tantangan atau bahkan ancaman bagi upaya pelestarian seni budaya peninggalan peradaban, bila melihat liku-liku dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat secara umum selama ini? Bagaimana pula itu semua bukan rintangan besar bagi upaya pelestarian seni budaya yang secara riil dan khusus diperjuangkan Gusti Moeng dengan berbagai elemen di bawah LDA yang dipimpinnya, terutama selama hampir 5 tahun ‘’disingkirkan’’ di luar keraton?

Event pergelaran fragmen wayang wong dengan lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ di ndalem Djojokoesoeman, Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasarkliwon, Minggu malam (14/11), di satu sisi merupakan contoh bukti adanya tantangan dan hambatan dalam upaya pelestarian seni budaya produk peradaban. Di sisi lain, kehadiran Wakil Wali Kota di event itu juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk kepedulian dan perhatian penguasa (Pemkot Surakarta), untuk membantu mencarikan jalan keluar keluarga besar Keraton Mataram Surakarta, dalam pelestarian seni budaya yang sedang diupayakan Gusti Moeng selaku Ketua LDA.

Contoh-contoh riil betapa beratnya tantangan dan ancaman dalam upaya pelestarian seni budaya, memang tidak banyak karena frekuensi kegiatan jelas nyaris total ditiadakan, selain karena publik secara luas juga sedang terfokus dan prihatin menghadapi situasi pandemi Corona. Namun, kualitasnya sangat berbobot ketika contoh-contoh yang muncul dalam bentuk latihan persiapan dan pentas justru berada di luar keraton, apalagi bila mencermati berbagai nasib kegiatan belajar-mengajar siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara yang dikelola Yayasan Pawiyatan Kabudayan yang dipimpin Gusti Moeng.

IKUT PRIHATIN : Sebagai rasa simpati dan prihatin terhadap perjuangan keluarga besar Keraton Mataram Surakarta,  KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito juga nampak hadir sebagai bentuk dorongan moral. Apalagi terhadap  ‘’putri raja’’ PB XIII, GKR Timoer sebagai calon pengganti Gusti Moeng untuk memimpin upaya pelestarian budaya.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain simpati berbagai kalangan luas yang diberikan melalui berbagai kesempatan di antaranya kerja-bhakti resik-resik lingkungan keraton dengan tema ‘’#Lestarikan Keraton’’, simpati dan keprihatinan juga datang dari kalangan kerabat seperti warga Pakasa Cabang Banjarnegara dan kalangan pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito. Ketua Pakasa Banjarnegara KRAT Eko Budiharto Tirtonagoro menyebut, Allah SWT memang sedang menguji warga peradaban Jawa, agar terasah ketajaman lahir-batinnya untuk mencari jalan keluar agar budaya Jawa kembali ‘’kuncara’’.

‘’Melihat sepak-terjang Gusti Moeng seperti itu, saya sungguh bangga. Tetapi sekaligus prihatin. Karena, perjuangan panjang itu pasti ada batasnya, terutama karena faktor usia. Saya berharap segera muncul tokoh-tokoh muda seperti putra mahkota KGPH Mangkubumi dan kakaknya, GKR Timoer Rumbai. Agar segera melengkapi kapasitas diri dan segera siap, apabila sewaktu-waktu dibutuhkan karena ada perubahan,’’ pinta KRT Henri Rosyad Wrekso Purpito saat ngobrol dengan iMNews.id seusai menyaksikan pentas di ndalem Djojokoesoeman, belum lama ini.

Selain pentas seni budaya, menyaksikan pemandangan berlangsungnya upacara wisuda purnawiyata siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara di ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu malam (17/11), KRT Hendri Rosyad melihat ada sebuah potensi besar dalam upaya pelestarian budaya, sebagai solusi atas ancaman serius yang justru terjadi di lingkungan habitatnya, Keraton Mataram Surakarta. Potensi besar itu adalah para lulusan sanggar pasinaon, yang bisa diandalkan dalam ‘’syi’ar budaya’’ melalui profesi masing-masing, seperti pernah dicontohkan para Wali (Wali Sanga), ketika ‘’syi’ar agama melalui budaya Jawa. (Won Poerwono-bersambung)