Untuk Perimbangan Keterwakilan Daerah Antara Pulau Jawa dan Luar Jawa
IMNEWS.ID – USULAN pemekaran wilayah/daerah khususnya untuk provinsi yang ”aspirasinya” disebarluaskan melalui beberapa situs berita dan kanal Youtube di media sosial belakangan ini, rupanya semakin sulit dibendung. Pemerintah dan DPR RI sulit menghindari dan menahan desakan itu kalau hanya beralasan keuangan negara terbatas atau masyarakat setempat belum tentu menginginkan, apalagi beralasan belum tentu membuat daerah tersebut berkembang sesuai yang diharapkan.
Sebab, justru belakangan ini yang banyak mewarnai adalah keinginan masyarakat di daerah setempat, karena merasa daerahnya kurang diperhatikan pemerintah akibat minimnya keterwakilan daerahnya di DPR RI dan DPD RI, atau bahkan tidak terwakili sama sekali. Dalam kalkulasi sebaran suara secara nasional yang menghasilkan keterwakilan di parlemen dan MPR, belakangan menunjukkan ketimpangan atau kurang seimbang antara pulau Jawa, padahal itu bisa mempengaruhi keputusan politik di tingkat nasional yang merugikan wilayah/daerah tertentu.
”Dengan beberapa alasan yang sangat mendasar itu saya kira pemerintah dan DPR tidak bisa beralasan untuk menunda-nunda lagi untuk melakukan pemekaran wilayah/daerah. Sebaiknya moratorium (pembekuan) segera dicabut. Apalagi khusus untuk Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Karena sudah punya Piagam Kedudukan dari Presiden Soekarno, tanggal 19 Agustus 1945. Sinuhun PB XII (juga KGPAA MN VIII) juga sudah menjawab dengan maklumat (Maklumat Sinuhun PB XII), tanggal 1 September 1945. Mau alasan apa lagi?,” papar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Apa Mau Dituding Inkonstitusional
Khusus untuk status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta yang proses pengembaliannya sampai berlarut-larut dan ”bertele-tele” yang sampai kini tidak kunjung terwujud, menurut Ketua LDA yang akrab disapa Gusti Moeng itu memang ada banyak hambatan yang semuanya bermuara di DPR RI dan pemerintah, khususnya di tingkat provinsi (Jateng). Karena, sikap menghindar atau tidak peduli terhadap nasib Provinsi DIS yang terkatung-katung, dihadapi dan didengar sendiri oleh Gusti Moeng selama dua periode (terpisah) menjadi anggota DPR RI, bahkan anggota Komisi II DPR RI (2009-2014).
Berikut, adalah sikap Gubernur (Jateng) yang dipersepsikan seakan-akan tidak peduli (tidak butuh) terhadap pengembalian status Provinsi DIS, yang tampak sekali saat Lembaga Hukum Keraton Surakarta (LHKS) bersama Lembaga Pusat Studi Daerah Istimewa (Pusadi) menginisiasi judicial review (uji materi) UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng di Mahkamah Konstitusi, tahun 2012. Waktu itu, terdengar banyak alasan di balik gagalnya berbagai upaya pengembalian status Provinsi DIS, tetapi alasan utamanya adalah kekhawatiran rugi besar secara ekonomis jika melepas wilayah Surakarta dari Provinsi Jateng.
”Waktu itu, wilayah Surakarta yang memiliki begitu banyak potensi, dianggap menjadi ‘nyawanya’ Provinsi Jateng. Maka, merasa rugi besar kalau melepas wilayah Surakarta. Tetapi, konstitusi UUD 45 kita ‘kan masih ada. Yaitu pasal 18 yang mengamanatkan eksistensi Provinsi DIS. Jadi, alasan itu tidak berlaku. Tapi kalau pemerintah tidak menjalankan ini, apa mau dituding inskonstitusional?. Konstitusi itu yang menjadi dasar pengembalian Provinsi DIS. Dan menjadi tugas DPR RI untuk membuatkan undang-undang keistimewaannya,” tunjuk Gusti Moeng lagi.
”Kecuali” Provinsi DIS
Melihat begitu urgen dan mendasarnya alasan bagi pengembalian status Provinsi DIS, sepertinya kini pemerintah dan DPR RI tidak mungkin bisa beralasan lagi dan mengulur-ulur waktu untuk menghindari terwujudnya pengembalian status itu. Apalagi, dorongan masyarakat melalui berbagai jenis media sosial dalam bentuk usulan pemekaran wilayah/daerah khusus provinsi itu begitu besar. Dan itu adalah wujud aspirasi riil masyarakat di masing-masing daerah, semakin menyadari kebutuhan dan keinginannya, seiring perkembangan situasi dan kondisi terkini.
Apabila melakukan refleksi sedikit ke suasana antara 1945-1950, memang bisa dipahami sebagai insiden terburuk dalam sejarah perjalanan bangsa di NKRI ini, yang diharapkan tidak akan terulang kembali. Mengingat, berbagai sumber menyebut hampir sebagian besar pihak-pihak yang menolak Provinsi DIS, rata-rata datang dari kalangan yang berafiliasi dengan PKI atau disusupi faham komunis di satu sisi, selebihnya adalah pihak-pihak yang khawatir dengan eks ”nagari” Mataram Surakarta karena pernah memiliki wilayah kedaulatan dengan segala potensi dan aset-aset kekayaannya.
Namun, kekhawatiran itu seharusnya kini sudah tidak perlu ada, mengingat eks ”nagari” yang pernah eksis elama 200 tahun (1745-1945) itu tinggal berdaulat di bidang budaya alias lembaga masyarakat adat atau lembaga kebudayaan. Mungkin dengan spirit seperti inilah, ada 9 usulan (kecuali Provinsi DIS) dari beberapa wilayah di pulau Jawa, untuk dimekarkan dan membentuk provinsi secara terpisah dari Provinsi Banten, Provinsi Jabar, Provinsi Jateng dan Provinsi Jatim.
Kurang Terlayani Hak-haknya
Dari 6 provinsi yang kini ada di pulau Jawa, ketika 8 wilayah diusulkan dimekarkan dan status Provinsi DIS dikembalikan, bila semua diresmikan dengan landasan udang-undang, akan berjumlah 15 provinsi termasuk Provinsi DKI dan Provinsi DIY. Karena akan bertambah Provinsi Tangerang, Provinsi Bogor Pakuan dan Provinsi Cirebon untuk Provinsi Jabar. Sedang di Jateng, akan ”kembali ada” Provinsi DIS, Provinsi Banyumasan dan Provinsi Muria yang rata-rata merupakan bekas wilayah karesidenan.
Untuk Provinsi Jatim, diusulkan lahir Provinsi ”Mataraman” yang meliputi 12 kabupaten/kota dan disebut berIbu Kota di Kediri, Provinsi Blambangan berIbu Kota di Banyuwangi dan Provinsi Madura yang berIbu Kota di Pamekasan. Dari 30 usulan provinsi secara nasional yang disebut kanal YouTube ”@Data”, berarti 21 usulan pemekaran datang dari luar pulau Jawa, yang menyebar di sejumlah pulau yang ada di Nusantara.
Dari sejumlah usulan pemekaran itu, memang tidak disertai alasan berikut data-data hasil survei mengenai latarbelakang, kondisi, potensi dan visi-misi ke depan yang diharapkan. Tetapi dari hasil surve yang pernah muncul saat ada uji materi UU No 10/1950 untuk memisahkan Surakarta dari Provinsi Jateng di MK, tahun 2012, rata-rata tiap satuan pemerintah provinsi (Pemprov) di Jabar, Jateng dan Jatim sudah mengalami over capasity pekerjaan pelayanannya terhadap masyarakat, hingga banyak (daerah/warga) yang merasa kurang terlayani hak-haknya oleh negara. (Won Poerwono-bersambung/i1)