Ibarat Pesona Seorang Model yang Perlu Dilengkapi Atribut Kecantikannya
IMNEWS.ID – DENGAN segala keterbatasan dan kekurangannya, Bregada Prajurit Keraton Mataram Surakarta tetap menjadi bagian yang membanggakan ketika membuka sejarah masa lalu bangsa, bahwa selama 200 tahun ada sebuah ”negara” atau ”nagari” yang memiliki sistem pertahanan dengan kekuatan prajurit seperti yang masih bisa dilihat sisa-sisanya. Dari sisa-sisa itu, Keraton Mataram Surakarta di bawah Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai Gusti Moeng, terus berupaya melestarikan dengan memberi sentuhan inovasi yang dibutuhkan, termasuk tuntutan modernitas.
Persoalan yang dihadapi dalam menjaga eksistensi Bregada Prajurit Keraton memang bertambah berat, karena kekuatan personel pecah oleh peristiwa insiden 2017, kemudian diperparah oleh ”pageblug mayangkara” pandemi Corona yang banyak mengurangi ”gerak produktif” selama dua tahun ini. Namun, dengan inisiasi ”Pekan Seni dan Ekraf 90 tahun Pakasa” (29/11-5/12/2021) yang berlanjut dengan kirab bregada prajurit (Minggu, 23/1), menegaskan bahwa bregada prajurit keraton bisa ”didandani” atau dilengkapi segala atribut kecantikan yang dibutuhkan, agar makin seksi, elok dan menarik sebagai atraksi pariwisata.
Ibarat seorang model cantik, keanggunan, kemolekan dan keseksiannya akan semakin menarik dipandang mata kalau mendapat tempat dan waktu yang tepat untuk berlenggang-lenggok mengekspresikan keelokan kostum yang dikenakan, keindahan komposisi warna yang diperlihatkan serta ”kecantikan” (kegagahan) gerak-langkah yang diperagakan. Terlebih, hadirnya Bregada Korps Musik Prajurit Tamtama bisa disinergikan dengan tampilnya gamelan Cara Balen secara ”live”, berikut Bregada Prajurit Panyutra yang datang melengkapi untuk mengartikulasi dan memandu langkah gagah seluruh prajurit yang berdefile kirab.
Punya Pesona Seperti Model
Kini, memang di tangan Gusti Moeng selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa untuk menunggu proses percepatan merekonstruksi Bregada Prajirt Keraton secara utuh, layak dan menarik sebagai ujung tombak objek pemandangan sebagai daya tarik wisata sejarah Keraton Mataram Surakarta di Kota Surakarta. Meskipun, sangat tidak masuk akal meletakkan beban pekerjaan itu kepada LDA atau Gusti Moeng semata, kalau tujuannya untuk membangkitkan industri wisata di Kota Surakarta, regional Jateng apalagi NKRI yang berorientasi pada nilai pendapatan daerah atau negara.
Kemenpar Ekraf dan semua pihak yang bersinggungan dengan upaya memperkuat daya tarik ujung tombak industri wisata itu, perlu bersinergi untuk membantu LDA yang jelas bisa dipertanggungjawabkan secara hukum keberadaan dan legal standing kelembagaannya. Sebab, titik kuat daya tarik wisata baik yang secara ”on the spot” datang melihat maupun secara virtual dan kanal-kanal media sosial maupun media TV, terletak pada pesona Bregada Prajurit Keraton itu.
Untuk menjadikannya sebagai ”model” yang mempesona, tentu sangat tidak cukup dengan apa yang bisa dilakukan saat ini, hanya sekedar mengisi/melengkapi kekosongan dengan merekrut calon prajurit dengan serba terbatas. Melainkan, sangat dibutuhkan kecukupan yang proporsional, baik menyangkut kuantitas, kualitas (usia, kondisi fisik, kecakapan dsb) serta penghasilan yang layak.
Paradigma ”Suwita” Bergeser
Berkait dengan persoalan penghasilan yang layak itu, tampaknya menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan, karena situasi dan kondisi keraton secara umum memang belum memungkinkan di satu sisi, dan paradigma suwita di keraton pada hakikatnya adalah pengabdian yang tulus ikhlas. Padahal, pertanyaan soal gaji yang banyak diterima KRT Cahyo Jayengnagoro selaku abdidalem yang ditugasi mengelola perekrutan, sebenarnya tuntutan yang wajar dan realistik seperti yang berlaku di tengah publik secara luas di ”luar” keraton.
Lahirnya paradigma itu, jelas merupakan konsekuensi dari hilangnya sejumlah kedaulatan yang pernah dimiliki Keraton Mataram Surakarta, sejak bergabung ke dalam pangkuan NKRI pada 17 Agustus 1945. Karena peristiwa itu, paradigma bergeser dari ”suwita” yang berkonotasi menjadi pegawai (70 persen) dan 30 persen mengabdi, menjadi ”suwita” demi pelestarian budaya dan peradaban Jawa/Mataram yang 80-90 persen setya tuhu dan tulus ikhlas tanpa pamrih.
Pergeseran paradigma itu, karena keraton sudah tidak memiliki kemampuan yang cukup di bidang keuangan karena sudah tidak punya sumber-sumber penghasilan atau kedaulatan ekonomi. Ini tentu akan menjadi persoalan tersendiri, apabila kelak ada kemampuan untuk memberi kesejahteraan yang proporsional kepada para abdidalem Bregada Prajurit Keraton. Karena, pasti akan membuat iri kalangan abdidalem dari bebadan yang lain.
Kerja Seni yang Mulia
Namun, keindahan mimpi tentang kehidupan yang lebih baik, memang bukan hal yang tabu atau melanggar hukum, seandainya kelak keraton bisa kembali pulih kemampuannya, secara berdikari atau bersinergi dengan pihak-pihak lain. Meskipun, yang akan diwujudkan secara visioner dan misioner, hanyalah pelestarian budaya dan peradaban, atau benar-benar berdaulat di bidang budaya yang sejak awal menjadi modal utama kebhinekaan dan kekuatan NKRI.
Karena itu, melihat pentingnya keberadaan Bregada Prajurit Keraton sebagai ujung tombak daya tarik wisata untuk membangkitkan kembali industri pariwisata di Surakarta, Kemenpar Ekraf dan unsur-unsur pemerintah terkait perlu membuka diri untuk memfasilitasi keperluan/kebutuhan itu. Karena, dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini, yang memiliki anggaran dan kelengkapan instrumen yang dibutuhkan untuk itu hanyalah pemerintah.
Kini, yang diperlukan adalah semangat mengabdi, yang terus-menerus harus dijaga dan dipupuk. Karena, semangat itu akan menjauhkan dari segala keinginan yang kadang-kadang melampaui batas-batas penalaran. Menjadi personel Bregada Prajurit Keraton dengan modal kuat semangat mengabdi, bukan sekadar kegiatan yang ”remeh”, tetapi kerja seni yang indah, mulia, membanggakan dan disukai banyak orang. (Won Poerwono-bersambung)