Ziarah, Kirab Budaya, Pengajian Akbar dan ”Wisudan” Warga Pakasa
IMNEWS.ID – BERSAFARI ”tour de petilasan” untuk mencari dan merawat jejak leluhur Dinasti Mataram, adalah formula ”wiradat” lama yang sudah dilakukan Gusti Moeng secara pribadi selama bertahun-tahun sejak sebelum 2004. Kemudian setelah 2004, safari keliling daerah berziarah dilakukan Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) bersama rombongan elemen LDA sedikitnya di 20 makam/petilasan/pesanggrahan tiap tahun, merupakan pembaharuan formula ”wiradat” yang sudah lengkap dengan beberapa kebutuhan yang dicapai sekaligus.
Kini, perubahan formula ”wiradat” terutama sejak ada insiden April 2017 itu, semakin intensif dilakukan LDA bersama elemen-elemen yang diperlukan hingga kini, yang lebih bersifat pro-aktif menjemput bola. Perubahan formula ini juga karena beberapa pertimbangan, yaitu akibat pembatasan gerak mobilitas untuk menyesuaikan protokol kesehatan selama dua tahun pandemi, selain karena keterbatasan tempat yang menjadi pusat ajang aktivitas akibat insiden 2017.
Namun, keterbatasan-keterbatasan itu justru membuahkan kreativitas untuk mengatasinya, hingga lahir ”wiradat” yang harus dilakukan dengan pro-aktif menjemput bola, yaitu aktivitas safari ”tour de petilasan” yang mulai dirangkai dengan beberapa kegiatan tambahan. Belakangan, kegiatan tambahan itu justru menjadi kegiatan utama, pokok dan penting, karena selain berziarah, ritual larap selambu, pengajian akbar dan mengikuti kirab budaya, LDA Keraton Mataram Surakarta bersama beberapa elemen yang menjadi rombonganya sekaligus juga bisa melakukan upacara ”wisudan”.
”Yang sudah bisa sekali datang melakukan beberapa kegiatan itu, misalnya di Banjarnegara, Jepara, Grobogan (Jateng), Trenggalek dan Ponorogo (Jatim). Jadi, setelah ‘nyekar’ (ziarah) makam leluhur (Dinasti Mataram), ada waktu untuk melakukan ‘wisudan’, bahkan ‘tetepan’ pengurus Pakasa cabang atau anak cabang. Ini model jemput bola, tetapi malah efektif,” jelas Gusti Moeng selaku Ketua LDA, menjawab pertanyaan iMNews.id dalam berbagai kesempatan berbincang-bincang, beberapa waktu lalu.
Yang sudah beberapa kali dilakukan Gusti Moeng bersama rombongan beberapa ”abdidalem garap” menjalankan ”wiradat” formula baru di berbagai daerah (cabang Pakasa) itu, sebenarnya merupakan aktivitas yang bisa dilakukan akibat terhimpit situasi dan kondisi. Tetapi, semakin berulang dilakukan di lebih banyak tempat, justru makin diyakini sebagai kegiatan resmi yang diagendakan dan direncanakan matang, serta menjadi sebuah kehormatan bagi pihak-pihak yang menjadi sasaran safari ”tour de petilasan” atau jadi ”bola” yang didatangi untuk ”dijemput”.
Model formula ”wiradat” seperti ini, tentu sangat melelahkan Gusti Moeng dan sekitar 50-an bahkan lebih (sebelum masa pandemi), jumlah anggota rombongan yang diajak bersafari ”tour de petilasan” untuk ”menjemput bola”. Karena, dalam sebulan bisa terjadi melakukan perjalanan sedikitnya seminggu sekali ketika harus memenuhi undangan Pakasa cabang di daerah pantai utara (pantura) dan sekitar gunung Muria, yang jumlahnya ada 23 titik lokasi terpisah dan waktu berbeda.
Seperti formula ”wiradat” di sebuah kecamatan di Kabupaten Pati misalnya, LDA pernah mengajak serta beberapa bregada abdidalem prajurit lengkap dengan korp musiknya, abdidalem garap, sentana garap, pengurus Pakasa dan pengurus Putri Narpa Wandawa di tahun 2019. Karena di sana, setelah mengikuti kirab budaya, pengajian akbar dan ziarah di makam Ki Ageng Ngerang, juga dilakukan ”tetepan” atau penetapan sekaligus pelantikan pengurus Pakasa anak cabang.
Tetapi, formula ”wiradat” yang dilakukan di Kelurahan Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Minggu siang (16/1), agak berbeda lagi atau ada aktualisasi formulanya (iMNews.id, 16/1). Karena, di situ hadir sang putra mahkota KGPH Mangkubumi (anak ”raja” Sinuhun PB XIII) yang sudah dirasa perlu untuk melakukan sosialisasi sebagai bagian dari persiapannya menuju saat berlangsungnya proses suksesi alih kepemimpinan di Keraton Mataram Surakarta.
Dan karena, sosok KGPH Mangkubumi bisa dipersepsikan sebagai representasi gaya kaum milenial, maka cara-caranya bersosialisasi juga sudah tidak ”canggung’ seperti cara-cara generasi orang tuanya. Ketika didaulat para seniman karawitan termasuk pesinden dan para penari gambyong yang masih berusia muda-belia itu, juga tidak tampak canggung dan mengalir begitu saja, hingga terjadi foto bersama di tengah para seniman yang sedang menabuh gamelan.
”Saya jadi paham, bahwa ‘wiradat’ itu tidak hanya terbatas pada bentuk-bentuk ritual dan hanysa bisa dilakukan para leluhur seperti halnya Sinuhun PB X itu. Yang dilakukan Gusti Moeng selama ini, menurut saya bisa disebut wiradat dengan cara lain yang juga masuk kategori ‘Nut jaman kelakone’. Dan saya yakin, kalau wiradat seperti ini terus dilakukan, dan terus ada formula baru yang diciptakan di masa mendatang, Keraton Mataram Surakarta akan tetap eksis dan terjaga kelangsungannya sampai waktu yang sangat panjang,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual kebatinan, ketika diminta pandangannya di tempat terpisah.
Benar kata KRT Hendri Rosyad, Sinuhun PB X (1893-1939) sudah melakukan wiradat secara spiritual yang dilakukan bersamaan dengan peresmian sebuah tugu yang ada di halaman kompleks Pendapa Pagelaran Sasanawumewa. Setelah ‘Sinuhun ingkang wicaksana lan minulya”, wiradat dalam bentuk lain juga dilakukan penerusnya, yaitu Sinuhun PB XI (1939-1945), Sinuhun PB XII (1945-2004) dan LDA bersama semua elemennya dari 2004 yang banyak melakukan syi’ar budaya hingga sekarang ini.
Menurut KRT Hendri, wiradat yang dilakukan pada zaman/era yang silih-berganti itu, sudah terbukti Keraton Mataram Surakarta bisa bertahan 76 tahun sekarang ini, setelah diprediksi Prabu Jayabaya (Raja Keraton Kediri abad 12) berusia 200 tahun (1745-1945), meski disebut tinggal ”sak-mekroking payung”. Dan karena kesadaran penuh terhadap nilai-nilai ”mikul dhuwur, mendhem jero” itu, justru menjadi penyemangat LDA dengan segenap elemennya untuk terus melakukan wiradat dengan berbagai inovasi dan aktualisasi demi eksistensi dan kelangsungan Keraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-bersambung)