Jemput Bola Sambil Sosialisasi, Formula “Wiradat” yang Beda Lagi (3-habis)

  • Post author:
  • Post published:January 21, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Hanya Dilakukan Orang-orang yang Visioner, Misioner dan Berkepribadian

IMNEWS.ID – KIRA-KIRA tiga bulan lagi atau tepatnya 15 April 2022, sudah hampir genap 5 tahun hitungan waktu terjadinya insiden evakuasi yang melibatkan sekitar 2 ribu Brimob dan 400-an tentara terhadap seluruh ”bebadan” dan jajarannya termasuk Gusti Moeng yang kini memimpin mereka dalam wadah Lembaga Dewan Adat (LDA). Namun, kelihatannya friksi di lingkungan keluarga Keraton Mataram Surakarta ini nyaris tak berkesudahan walau sudah berjalan 18 tahun sejak 2004, tak ada tanda-tanda yang jelas akan adanya penyelesaian di antara keluarga besar putra-putri Sinuhun Paku Buwono (PB) XII.

Banyak yang berspekulasi, situasi stagnan dalam kondisi seperti ini justru membuat nyaman pihak-pihak tertentu secara pribadi maupun kelompok, bahkan dianggap tidak merepotkan atau lebih menguntungkan bagi pemerintah dari tingkat daerah sampai di tingkat pusat. Namun di antara yang mengalami friksi itu, tentu banyak yang berharap keluarga besar masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta bersatu kembali, rukun kembali dan bisa bersama-sama menjalankan tugas sesuai yang diinginkan para leluhurnya.

Namun tidak terasa, dalam kondisi cerai-berai selama hampir lima tahun ini, justru telah menyeleksi dan menguji kemampuan masing-masing secara alami. Menghadapi seleksi dan ujian alamiah itu ada yang menyerah pada keadaan, ada pula yang menemukan cara-cara sederhana untuk sekadar bertahan, tetapi ada yang malah mendapatkan solusi dan energi yang secara tidak langsung justru telah membuktikan kualitasnya.

KARYA VISIONER : Berdirinya patung Pahlawan Nasional Sinuhun PB VI di pusat kawasan objek wisata Selo, Boyolali yang beberapa waktu lalu diresmikan, merupakan karya yang visioner, misioner dan berkepribadian Lembaga Dewan Adat untuk ”mikul dhuwur, mendhem jero” leluhur.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Setidaknya, kualitas kepribadian yang mampu melakukan lompatan besar untuk mangaktualisasi diri (pribadi/kelompok), membangun dan menyebarkan semangat optimistik serta semakin memperlihatkan komitmennya dalam mewujudkan nilai-nilai budi pekerti luhur untuk berbhakti kepada leluhur, seperti yang dimaksud dalam kalimat ”mikul dhuwur, mendhem jero”. ”Dikeluarkan” dari dalam tembok pembatas habitatnya, bukan membuatnya terpuruk dan menyerah pada keadaan, tetapi sebaliknya malah seakan mendapat energi dan banyak kesempatan untuk bangkit menjalankan dharma-bhaktinya kepada leluhur lebih leluasa.

Bagi pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual kebatinan, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, kalimat terakhir di atas melukiskan pihak-pihak yang memiliki kualitas kemampuan visioner, misioner dan berkepribadian/bermartabat yang bisa membalik keadaan dari ”impossible” menjadi ”I am possible” seperti judul program tayangan di sebuah TV swasta yang diasuh host Merry Riana. Dan kualitas kemampuan seperti itulah yang semakin membedakan antara belahan keluarga besar yang ada di dalam (keraton) selama lima tahun ini, dengan separo lagi belahannya yang ”berjuang” di luar keraton.

”Saya setuju dengan penilaian umum atas fakta-fakta itu. Karena, yang tampak di mata publik ya memang seperti itu. Tiap orang memang punya kekurangan dan kelebihan. Tetapi, publik lebih banyak melihat hal-hal positif dan ideal seperti yang dilakukan Gusti Moeng. Jadi, ya tidak salah kalau leluhur banyak memberi restu dan kekuatan kepada Gusti Moeng dan para pengikutnya. Dengan begitu, juga tidak salah kalau makin banyak yang bersimpati dan mendukungnya,” tunjuk KRT Hendri yang banyak memberikan dorongan moral selama Gusti Moeng dan para putra/putri ”raja” PB XII itu berjuang di luar, menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.

SELALU DEKAT : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito selalu dekat dan memberi dorongan moral Gusti Moeng dan para putra/putri raja Sinuhun PB XII selama berjuang di luar keraton dalam 5 tahun ini. Terlebih saat suasana duka karena meninggalnya GKR Retno Dumilah, beberapa waktu lalu.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Terlepas dari kekurangan yang pernah terekam publik, sangat banyak kegiatan dan karya-karya yang dilakukan di luar keraton selama lima tahun ini, mencerminkan kepribadian yang sangat bermartabat serta idealistik. Meskipun, mungkin saja Gusti Moeng sendiri atau rombongan yang setia mengikutinya bersafari ”tour de petilasan” (iMNews.id, 17/1) kurang menyadari bahwa ternyata karya dan hal-hal ideal yang sudah dilakukan mendapatkan simpati, dukungan dan membuat trenyuh publik yang melihat.

Sikap tulus-ikhlas dan sepenuh hati ketika hadir di acara ritual religi haul tokoh Ki Ageng Ngerang di Desa Wotsinom, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati, jelas berbuah simpati masyarakat secara umum di daerah itu, apalagi bagi masyarakat adat yang selama ini merawat kompleks makam leluhur Dinasti Mataram di zaman Keraton Pajang (abad 15) itu. Dan tak diduga, kehadirannya di acara kirab budaya, ziarah, larap selambu dan pengajian akbar, secara tidak langsung mendatangkan legitimasi setelah masyarakat yang sangat butuh ”payung” besar merasa terpenuhi.

Di acara-acara seperti itu pula, secara tidak langsung bisa mengedukasi masyarakat adat untuk mengenal shalawat Sultanagungan, sebagai cirikhas Dinasti Mataram dalam menggelar ritus doa, dzikir dan tahlil untuk khol (haul) tiap pemimpin dinasti, mulai dari Sinuhun Sultan Agung hingga Sinuhun PB XII. Legitimasi yang kemudian menyusul datang setelah unsur-unsur lain yang dibutuhkan masyarakat adat terpenuhi, tak terasa menjadi sebuah formula baru kegiatan ”wiradat” yang sejak lama diupayakan Gusti Moeng.

CONTOH YANG MEMBEDAKAN : Pojok pagar tembok yang berlubang karena ambrol dan reruntuhan tembok pagar kompleks Sasana Putra, selama 4 tahun ini dibiarkan seperti itu. Pemandangan seperti itu sangat ironis ketika yang ”disingkirkan” ke luar keraton, justru sedang berjuang untuk ”pelestarian” Keraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena dengan memberikan edukasi sekaligus ”payung” kelembagaan secara adat berupa Keraton Mataram Surakarta itu, lalu diikuti dengan sebuah keinginan untuk melembagakan pengurus/pemelihara makam leluhur di berbagai tempat. Setelah melembaga, lalu dikuatkan dengan simbol kepemimpinan berupa gelar sesebutan yang diberikan LDA, yang kemudian diikuti dengan permintaan pembentukan kepengurusan Pakasa cabang dan anak cabang. Kepengurusan yang tersambung secara struktural itu, sebagai sarana komunikasi untuk keperluan pemeliharaan kompleks makam/petilasan/pesanggarahan yang bisa disinergikan dengan pelaksanaan ritual ziarah, haul dan pengajian.

”Kegiatan ritual religi yang di kompleks makam Ki Ageng Ngerang (2109) itu luar biasa. Bisa meningkatkan pendapatan masyarakat setempat lo. Karena yang ziarah dan ikut pengajian akbar, datang dengan bus-bus besar dari mana-mana. Ada pasa malamnya. Sekarang ditambah dengan kirab budaya dan ritual larap selambu sekaligus jamasan. Saya diminta datang untuk diarak memimpin ritual. Saya senang, karena cara seperti ini sangat tepat untuk menyambung tali silaturahmi,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, beberapa waktu lalu.

Apa yang dilakukan Gusti Moeng bersama rombongan prajurit lengkap dengan korp musik, sejumlah sentanadalem garap dan abdidalem garap, Putri Narpa Wandawa serta pengurus Pakasa Pusat, datang dari sebuah tuntutan kebutuhan yang mengalir begitu saja secara alami. Bahwa yang kemudian didapat adalah restu dari para leluhur, legitimasi dari para abdidalem anggota Pakasa cabang dan anak cabang serta dukungan doa hingga terwujud event ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” di Solo, 29/11-5/12/2021, itulah formula baru ”wiradat” sebagai karya nyata yang visioner, misioner dan berkepribadian untuk memperpanjang usia Keraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-habis)