Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa, Bagai Pisau Bermata Banyak (3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:December 11, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Percepatan Proses Regenerasi Jadi Sinyal yang Sangat Tajam

IMNEWS.ID – KETAJAMAN mata pisau lain dari gelar ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’, adalah sebuah sinyal berkait proses regenerasi di lingkungan masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta yang sedang berlangsung. Bahkan melalui event itu bisa dibaca, proses tersebut terkesan sedang dipercepat agar figur-figur tokoh yang diharapkan akan menerima tongkat tugas memimpin pelestarian dan perjalanan peradaban ke depan menjadi makin matang dan makin siap.

Sinyal kuat bak mata pisau yang sangat tajam itu, seakan mendapatkan ruang atau wahana yang lebih luas daya legitimasinya, daya pancar sebaran pesan-pesannya dan lebih elegan, karena event ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ punya bobot nasional dan resmi. Selain peralatan teknologi siaran live streaming yang terpasang dan beroperasi selama event berlangsung, sebagai penanggungjawab pelaksana Pangarsa Punjer KPH Edy Wirabhumi mengundang Datuk Sri Adil Haberbam (bukan Gabebam-Red) dari Istana Maimun, Medan (Sumut) yang juga duduk dalam Majlis Adat Keraton Nusantara (MAKN) serta ‘’pertunjukkan’’ siaran virtual selama event berlangsung dan sambutan Kemenpar Ekraf Sandiaga Uno saat pembukaan pameran event, Selasa (30/11).

Bila mencermati posisi dan kedudukannya, kepemimpinan generasi putra/putri Sinuhun PB XII memang sudah saatnya berganti ke generasi para wayahdalem yag kini terhimpun dalam Paguyuban Sawo Kecik yang dipimpin GKR Tiomer Rumbai Kusumodewayani. Tetapi, proses pergantian generasi pemimpin di lingkungan lembaga keraton, sepanjang perjalanan dinasti tak seperti yang terjadi di sebuah organisasi maupun lembaga pemerintahan (modern).

KOMUNIKASI PUBLIK : Penampilan putra mahkota KGPH Mangkubumi dan GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani saat pembukaan ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa dilakukan Wawali Surakarta Teguh Prakosa (29/11), seakan menjadi kesempatan memulai komunikasi publik dengan tokoh-tokoh eksternal. (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Kehidupan di alam modern terlebih sebuah negara yang memiliki sistem politik demokrasi, sudah ada kepastian terutama soal periode waktu masa kepemimpinan dan cara-cara menghasilkan figur pemimpinnya. Ini yang membedakan, ketika lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta melakukan proses alih kepemimpinan dan mencari figur pemimpinnya, harus mengikuti konstitusi secara adat yang dimiliki internal kelembagaannya yang disebut paugeran adat karya para leluhur Dinasti Mataram.

Meski begitu, logika-logika dalam berpikir terutama yang berkait dengan menciptakan kelancaran proses dengan segala fasilitasnya serta menyiapkan kapabilitas figur-figur generasi muda calon pemimpin, mungkin sudah tidak perlu terpancang waktu harus menunggu saat alih suksesi itu tiba. Terlebih, melihat kebutuhan dan situasi serta kondisinya, proses itu bisa lebih dipercepat seperti yang sering tampak akhir-akhir ini, termasuk penyelenggaraan gelar ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’.

Maka, penyelenggaraan gelar ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ selama sepekan itu, bisa jadi merupakan sebuah deklarasi yang terbungkus tetapi lebih tegas dan terarah. Bahkan bisa juga disebut sebagai salah satu puncak dari rangkaian pelepasan isyarat tentang adanya proses regenerasi yang sedang berjalan, bila kita mencermati peristiwa sang putra mahkota (KGPH Mangkubumi) mendampingi sang bibi (Gusti Moeng) bersama-sama memimpin haul Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, 2019.

Berbagai peristiwa beruntun dari waktu ke waktu dalam 4-5 tahun yang menampilkan KGPH Mangkubumi dan kakak perempuannya GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, bisa dipandang ada korelasinya dengan sajian gelar ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ yang baru saja lewat. Bila analisis itu lebih banyak memperlihatkan unsur-unsur kebenaran sebuah rangkaian logika misioner yang urut, maka tepat adanya apabila proses regenerasi itu sedang terjadi, dipercepat dan makin kelihatan tegas.

MEMPERKENALKAN DIRI : Pengalaman menjadi Joko Tingkir pada event ‘’Pekan Syawalan’’ di Taman Jurug beberapa tahun silam, adalah bekal berharga putra mahkota KGPH Mangkubumi untuk memperkenalkan diri sebagai calon pemimpin kepada publik, khususnya yang menyaksikan kirab budaya ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ (Minggu, 5/12). (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Gelar sepekan ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ (30/11-5/12) memang menjadi momentum yang baik untuk keperluan percepatan regenerasi itu, tentunya apabila memandang kebutuhan terhadap perlunya membangun komunikasi publik sebagai salah satu tujuan penting dan urgen. Sebab, kesiapan seorang figur pemimpin (masyarakat adat) di zaman modern di alam demokrasi sekarang ini, sangat butuh dan perlu bangunan komunikasi publik seperti melalui event-event besar, terbuka dan berkelas nasional seperti itu.

Bila mengingat sejak 2017 Lembaga Dewan Adat (LDA) dan semua elemen di dalamnya ‘’dilempar’’ ke luar keraton (Mataram Surakarta), keberhasilan menggelar ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ merupakan terobosan yang cerdas dan tepat, terutama dalam misi menapaki tahapan proses regenerasi dan deklarasi calon figur pemimpin. Tetapi, bisa jadi percepatan proses itu karena secara tidak langsung terkena pengaruh suasana wafatnya KGPAA Mangkunagoro IX, karena hingga lebih 100 hari ini ‘’masih berkecamuk’’ proses menentukan figur penggantinya (KGPAA Mangkunagoro X-Red).

Kalau peristiwa di ‘’tetangga sebelah’’ yang sebenarnya masih sama-sama sebagai bagian keluarga Dinasti Mataram itu memberi pengaruh (positif), itu berarti menjadi energi positif dan dorongan yang baik bagi terjadinya percepatan proses regenerasi dimaksud. Karena faktanya, figur calon pemimpin di ‘’selatan’’ (jalan Slamet Riyadi-Red) boleh dibilang tampak lebih matang dibanding tetangga di ‘’utara’’.

PERAN SANG BIBI : Bagi KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, adalah tokoh generai muda yang tepat untuk menggantikan peran  sang bibi yaitu Gusti Moeng. Karena, pelestarian budaya dan Keraton Mataram Surakarta perlu figur yang berkapasitas lengkap seperti dia.   (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

‘’Saya kok memandang objek dua keluarga besar itu seperti itu. Mudah-mudahan, apa pandangan saya ini salah. Terlepas salah atau tidak, dua figur calon pemimpin muda di Keraton Surakarta harus segera siap. Mudah-mudahan, di Mangkunegaran juga begitu. Yang di keraton ini belum terlambat. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri, tetapi harus dipercepat. Saya lega melihat Gusti Mangku (KGPH Mangkubumi) dan Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai) makin sering tampil memperkenalkan diri di muka publik. Itu bentuk latihan komunikasi publik bagi calon pemimpin, apalagi generasi muda,’’ sebut KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito saat berdiskusi dengan iMNews.id, belum lama ini.

Pemerhati budaya Jawa dan keraton dari kacamata spiritual itu memang benar-benar sangat berharap, proses regenerasi di Keraton Mataram Surakarta harus berjalan dan perlu dipercepat, walau sarananya harus diinisiasi di luar keraton. ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ dan event-event berkelas nasional harus memberi ruang bagi dua tokoh muda calon pemimpin itu, sebagai wahana untuk makin mematangkan diri sesuai kebutuhan dan tuntutan kapasitas pribadinya.

Selain kapasitas kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sesuai tuntutan bidang tugasnya di internal masyarakat adat, calon pemimpin masa kini harus pula banyak bergaul di tengah masyarakat agar bekal kepemimpinannya lengkap. Karena, masyarakat adat keraton di alam republik yang makin modern, tidak hanya butuh bekal penguasaan bidang budaya pengetahuan internalnya, melainkan harus menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk komunikasi publik dengan masyarakat eksternal. (Won Poerwono-bersambung)