“Tiga Pihak” dan Peristiwa “Mirip Operasi Militer” 15 April 2017, Adalah “Perbuatan Melawan Hukum”
SURAKARTA, iMNews.id – Kamis Pahing tanggal 2 Sapar Tahun Je 1958 atau 8 Agustus 2024, menjadi hari bersejarah dari perjalanan Kraton Mataram Surakarta. Karena, tepat pada hari itu, siang tadi mulai pukul 09.00 WIB, rombongan tim eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Surakarta membacakan naskah eksekusi penetapannya atas keputusan Mahkamah Agung.
Peristiwa bersejarah yang akan menjadi catatan perjalanan sejarah itu, dilakukan tim eksekusi yang dipimpin Dr Asep Dedi Suwasta SH MH selaku Panitera PN Surakarta di depan Kori kamandungan. Pembacaan naskah eksekusi atas perkara perdata itu banyak mengundang perhatian publik, karena para abdi-dalem yang sowan mengikuti haul sudah memadati peristiwa itu.
Naskah eksekusi yang dibacakan petugas eksekusi PN Surakarta, selain naskah eksekusi atas penetapan keputusan MA No 87/Pdt.G/2019/PN Ska tertanggal 29Agustus 2022, juga eksekusi atas keputusan MA setelah ada kasasi yang diajukan (SISKS) Sinuhun PB XIII, Pemerintah NKRI cq Presiden RI cq Mendagri dan KG Panembahan Agung Tedjowulan (pihak tergugat).
Para toko yang mengajukan gugatan perdata kepada tiga pihak di atas itu adalah 4 wayah-dalem yaitu BRAy Salindri Kusuma DA, BRM Pasikesit Suryo Roseno, BRA Lungayu, BRM Bambang Suryo Tjahjono Syailendra dan buyut-dalem BRM Yudistira Rachmat Saputro. Mereka menggugat Rp 1.000 rupiah sebagai kerugian meteriil dan pengembalian kehormatan sebagai kerugian immateriil.
Gugatan yang dilakukan melalui PN Surakarta tahun 2018 itu,, prosesnya lumayan panjang untuk sampai keputusan paling final dan “inkrakht”, karena pihak tergugat melakukan banding dan kasasi, tetapi semuanya gagal. Ekesekusi sedianya dilakukan beberapa bulan lalu, tetapi dibatalkan karena disambut dengan ancaman menutup kembali semua pintu masuk kraton.
“Tetapi, sekarang tim eksekusi PN Surakarta sendiri yang datang melakukannya. Kalau dulu, karena tidak seperti sekarang, saya malah dituduh menyembunyikan keputusan MA itu. Padahal, eksekusi atas penetapan PN Surakarta bisa dilakukan dulu, karena keputusan MA sudah ‘inkrakht’. Memang, waktu itu masih ada kasasi. Sekarang, semua sudah selesai”.
“Ini bukan kemenangan atau keberhasilan kami, apalagi individu saya atau Gusti Moeng atau yang lain. Tetapi, ini adalah kemenangan Kraton Mataram Surakarta. Dengan ini, kami harap semua masalah yang terjadi akibat friksi yang berlarut-larut itu sudah jelas dan selesai secara hukum yang tertinggi di negara kita. Ini untuk kepentingan bersama,” ujar KPH Edy Wirabhumi.
Penjelasan KPH Edy Wirabhumi selaku pimpinan Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS), diberikan saat mendapat kesempatan memberi sambutan di sela-sela antara pengumuman tentang eksekusi yang dilakukan tim dari PN Surakarta, menjelang dimulainya ritual haul wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang digelar di Sasana Handrawina, siang tadi.
Penjelasan Pimpinan Eksekutif LHKS yang juga Pangarsa Pakasa Punjer itu, juga dilakukan saat menjawab pertanyaan para awak media yang mengikuti dua acara berbeda berurutan dalam satu kesempatan sekaligus di Kraton Mataram Surakarta, sejak pukul 09.00 WIB hingga selesai sekitar pukul 12.30 WIB. Dalam kesempatan itu, Gusti Moeng juga memberi sambutan.
“Tadi sudah dijelaskan Kanjeng Wira (KPH Edy Wirabhumi). Bahkan peristiwa penutupan kraton pada tahun 2017, kraton didatangi 2 ribu personel polisi dan 400 personel tentara, disebut dalam putusan yang dibaca dalam surat eksekusi itu sebagai ‘perbuatan melawan hukum’. Jadi jelas, perbuatan para penegak hukum itu adalah ‘perbuatan melawan hukum”.
“Tetapi, kami hanya menggugat Seribu Rupiah sebagai nilai kerugian materiil. Tetapi, kami menderita kerugian immateriil, karena kehormatan kami dan kewibawaan kraton menjadi jatuh. Padahal, Kraton Mataram Surakarta adalah kraton pertama yang menyatakan mendukung Kemerdekaan RI. Kraton yang pertama mendirikan NKRI,” tunjuk Gusti Moeng menandaskan.
“Semua yang sudah terjadi tadi, kami harapkan menjadi akhir dari kemelut dan permasalahan yang selama ini terjadi. Eksekusi dan keputusan MA itu, kami harapkan menjadi titik awal kemenangan kita semua. Untuk mengeratkan dan memperkuat kembali persaudaraan kita, semua trah keturunan Dinasti Mataram. Tetapi, kalau ada yang tidak mau, ya sudah,” tandasnya.
Jalannya ritual haul ke-391 tahun (Jawa) wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) berlangsung simbolik khas Kraton Mataram Surakarta, penuh estetika dan etika. Didahului dengan prosesi arak-arakan yang membawa simbol Raja ke-3 Kraton Mataram hingga Sinuhun PB XIII, para abdi-dalem yang membawa uba-rampe haul berjalan dari Sitinggil Lor.
Dipandu beberapa Bregada Prajurit terutama Tamtama dan Korsik Drumbandnya, prosesi arak-arakan membawa uba-rampe yang dipayungi atau “disongsong” itu, keluar dari kompleks Sitinggil Lor memasuki Kori Brajanala Lor dan terus menuju Kori Kamandungan. Sesampai di samping tempat ritual, Sasana Handrawina, semua uba-rampe dibawa masuk dan ditata di meja panjang.
Ada lebih dari 500 abdi-dalem yang sowan, terdiri dari berbaga elemen terutama Pakasa Cabang dari berbagai daerah di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY yang sowan. Setelah mendapat dawuh dari Gusti Moeng, abdi-dalem jurusuranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro langsung memimpin doa, dzikir, tahlil hingga semuanya selesai dan bersantap “Sega Golong” dan “Sega Wuduk”. (won-i1).