Menyikapi Situasi dan Kondisi Melalui Lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’
IMNEWS.ID – MINGGU malam (14/11) keluarga besar Keraton Mataram Surakarta yang menjadi salah satu elemen Lembaga Dewan Adat (LDA) menggelar pentas seni tradisional, fragmen wayang wong (orang) di rumah adat ndalem Joyokusuman yang berada di Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasarkliwon, yang masih berada di kawasan keraton seluas 90 hektare itu. Fragmen wayang orang itu menyuguhkan lakon (carangan/karangan) dari aslinya berjudul ’’Srikandi-Mustakaweni’’, kemudian dikreasi/diadaptasi lagi dengan nama ‘’Pusaka Praja Murca’’.
Fragmen wayang wong, adalah ringkasan sebuah lakon yang lebih sederhana jalan ceritanya, fokus pada titik sentral cerita dan menjadi lebih singkat durasi penyajiannya, yaitu sekitar 60 menit. Baik ide cerita, sumber asal cerita maupun format garapan dari cerita utuh menjadi bentuk fragmen itu, jelas sebagian besar banyak bersumber dari Keraton Mataram Surakarta, utamanya diproduksi semasa Sinuhun Paku Buwono (PB) X (1893-1936), termasuk lahirnya pertunjukan wayang wong di Taman Sriwedari eks Kebon Raja.
Melalui pertunjukan seni wayang yang diperagakan manusia atau wayang wong, merupakan produk kesenian selama peradaban Mataram (terutama di Surakarta 1745-1945) sebagai pemelihara peradaban Jawa, selain sebagai alat yang canggih tetapi halus untuk menyampaikan pesan (waktu itu). Bahkan, melalui wayang atau berkesenian (tradisional), telah terbukti banyak dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan tentang visi-misi seseorang, kelompok atau lembaga seperti yang ditiru masyarakat modern.
Cara Mengritik, Menyindir dan Bersikap
Bagi masyarakat peradaban Jawa, kira-kira seperti itulah cara yang paling arif dan bijaksana yang dimiliki, ketika hendak menyampaikan pesan berisi kritik, sindiran, harapan dan masukan serta bersikap. Kesenian tradisional yang digunakan, tidak hanya wayang wong, tetapi hampir semua produk peradaban, baik yang khas dan terpelihara di dalam masyarakat adat Mataram, maupun yang berkambang di tengah-tengah masyarakat (kesenian rakyat). Bahkan, merupakan kearifan lokal yang halus dan santun untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam menyikapi situasi dan kondisi lingkungan dan zamannya.
Melihat ilustrasi seperti itu, maka ketika GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Ketua LDA menggelar lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ yang melibatkan keluarga besar Keraton Mataram Surakarta di ndalem Joyokusuman, Minggu malam itu, sesungguhnya ingin menyampaikan pesan apa? Sangat diyakini ada sesuatu yang ingin disampaikan ketika mengadaptasi lakon ‘’Srikandi-Mustakaweni’’ sebagai cara untuk menyikapi situasi dan kondisi yang ada.
Situasi dan kondisi yang, bisa suasana secara umum di luar keraton, dan tentu bisa situasi dan kondisi internal Keraton Mataram Surakarta secara khusus. Karena, selama 4 tahun keraton tempatnya dilahirkan, dibesarkan dan tempatnya mengadi serta bekerja, sama sekali tidak memberi tempat baginya sejak insiden April 2017, ditambah tantangan besar yang secara umum melanda dunia dalam 2 tahun ini, yaitu pandemi Corona.
Tidak Lepas dari Pengaruh Eksternal
Lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ ketika menjadi alat untuk menyampaikan pesan, bisa melahirkan beberapa tafsir, yang secara umum bisa berupa keprihatinan terhadap situasi internal di keraton, tetapi juga situasi dan kondisi eksternal. Karena, situasi dan kondisi internal yang berubah tertutup sejak 2017 itu, dipersepsikan publik tidak bisa lepas dari pengaruh eksternal yang bisa merujuk ke pihak-pihak yang punya kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi, ketika melihat sejumlah pernyataan Gusti Moeng langsung atau tidak langsung kepada iMNews.id di berbagai kesempatan sejak peristiwa 2017 itu, lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ menjadi lebih terarah pada situasi dan kondisi internal. Mantan anggota DPR RI dua periode (terpisah) itu hendak melukiskan bagaimana ‘’Praja Amarta’’ yang menggambarkan Keraton Mataram Surakarta, sedang kehilangan (‘’murca’’) sebuah ‘’pusaka’’, baik dalam arti harafiah maupun kiasan.
Dalam arti sesungguhnya atau harafiah, sangat diyakini tidak hanya satu, melainkan banyak pusaka telah raib dari keraton. Termasuk dikosongkannya ‘’tenggan keputren’’ dari para wanita perawat ruang pusaka seisinya sejak insiden April 2017 itu, adalah peristiwa hilangnya pusaka dalam arti sesungguhnya.
‘’Murca’’ Karena Dicuri
Tetapi, ‘’pusaka’’ yang ‘’murca’’ dalam arti kiasan yang dilukiskan melalui lakon itu, adalah hilangnya ‘’kearifan’’ atau ‘’kawicaksanan’’ seorang ‘’raja’’. Celakanya, kalangan ksatria dan kerabat sentana yang ikut mengelola kekuasaan ‘’praja’’ itu, tidak tampak berusaha mencari pusaka ‘’Jamus Kalimasada’’ yang menjadi andalan yang sedang ‘’murca’’ dari Praja Amarta.
Kesan-kesan yang bisa ditangkap selama 4 tahun hilangnya pusaka Jimat Kalimasada, suasana itu tak diupayakan dari dalam untuk mencari dan mendapatkan kembali, melainkan justru terkesan memanfaatkan situasi dan kondisi ketika sang ‘’raja’’ kehilangan kearifan dan kawicaksanannya. Dalam pandangan KRRA Budayaningrat yang malam itu mendapat ‘’dhapukan’’ (casting) Kyai Semar dalam Panakawan, pusaka yang ‘’murca’’ bukan ‘’pergi’’ sendiri dari keraton, melainkan dicuri Dewi Mustakaweni yang menyamar sebagai Raden Gatutkaca.
‘’ Penyamaran itu memang sudah diskenario. Atau setidaknya sudah disetujui oleh kelompok Mustakaweni. Ya, intinya berbagi peran. Semua bersekongkol untuk memanfaatkan ‘ratu’ yang sedang kehilangan kearifan dan kebijaksanaannya. Keputren yang kosong karena penghuninya diusir keluar, jelas membuat ruang pusaka dan seisinya tidak ada yang mengawasi. Pusakanya menjadi tidak ada yang merawat. Ini yang membuat keraton kehilangan Jamus Kalimasada itu,’’ tunjuk dwija (guru) Sanggar Pasinaon Pambiwara yang juga Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu. (Won Poerwono-bersambung)