Cara Seperti Inilah Keluarga Besar Keraton Surakarta Menyampaikan Pesan (2-habis)

  • Post author:
  • Post published:November 17, 2021
  • Post category:Regional
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:7 mins read

Soal Masuknya ‘’Duratmaka’’ dan Banyak Sinyal Lain Diberikan

IMNEWS.ID – BARANGKALI, cara-cara bijak nan santun seperti yang tersaji dalam sebuah pagelaran seni di ndalem Djojokoesoeman (Joyokusuman), Gajahan, Pasarkliwon (iMNews.id, 16/11), khususnya sajian fragmen wayang wong ‘’Pusaka Praja Murca’’, merupakan pesan atau sinyal yang paling terhormat diberikan kalangan masyarakat adat Dinasti Mataram yang juga pelestari peradaban Jawa. Itu contoh yang paling sesuai, layak, proporsional dan bermartabat menurut cirikhas peradabannya, ketika masyarakat adat yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah ingin berekspresi untuk mengungkapkan sikapnya terhadap apa saja, di mana saja dan siapa saja.

Oleh sebab itu, sajian fragmen berdurasi 60 menit dengan judul lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ itu, ketika dicermati banyak simbol-simbol yang sarat pesan atau sinyal yang berasal dari ekspresi sikap yang selama hampir 5 tahun ini merasa ‘’tertindas’’ dan tersingkirkan. Bahkan, bukan hanya ‘’Pusaka Praja Murca’’, tetapi dua repertoar tarian pembuka masing-masing ‘’Srimpi Sangupati’’ dan ‘’Golek Mugi Rahayu’’, juga dipilih sebagai sajian yang representatif untuk melempar pesan dan sinyal keluarga besar Keraton Mataram Surakarta.

‘’Keluarga besar keraton yang notabene memiliki naluri berkesenian yang mendarah-daging, tentu mudah mengemas segala macam persoalan yang hendak kami ekspresikan. Termasuk, melalui fragmen wayang wong, juga sajian tari khas koleksi keraton. Sebenarnya, sama yang dilakukan kalangan seniman lain, ketika hendak menyampaikan sesuatu pesan. Cirikhas seniman ketika hendak berkomunikasi memang seperti itu. Soal tafsir maknanya, terserah publik yang menangkap dan mencerna. Maka, bisa multi tafsir,’’ ujar GKR Wasndansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

BANYAK MAKNA : Melalui penampilannya di antara para pengrawit iringan fragmen wayang wong  lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’, Gusti Moeng juga melempar sinyal dengan banyak makna. Kapasitasnya sebagai pelestari yang piawai di bidangnya, mengisyaratkan tampilnya generasi muda pengganti yang harus mumpuni di bidang pelestarian budaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi diakui Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta yang juga Pimpinan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta selaku penanggungjawab pentas, di antara semua pesan yang dilempat melalui tiga repertoar sajian malam itu, apa yang terlukis di tiga sajian seni malam itu diakui memang kurang lebih sama degan situasi dan kondisi yang dialami Keraton Mataram Surakarta, terutama dalam lima tahun terakhir. Secara spesifik, bahkan Gusti Moeng menyebut bahwa keraton sudah kemasukan ‘’duratmaka-duratmaka’’ dan berkolaborasi dengan orang-orang di dalam ‘’Praja Amarta’’.

Para ‘’duratmaka’’ (orang-orang jahat-Red) itu, yang telah membuat adat dan budaya di ‘’Praja Amarta’’ kacau-balau, rusak parah. Suasana kacaubalau dan rusak parah inilah, yang dilukiskan dengan hilangnya ‘’Jamus Kalimasada’’, sesuatu yang menjadi kekuatan atau roh praja, sudah ‘’oncat’’ atau ‘’murca’’ (hilang) karena dicuri Dewi Mustakaweni yang menyamar (sebagai orang dalam) dengan nama (persis) Raden Gatutkaca.

Pementasan lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ yang diadaptasi dari lakon asli ‘’Srikandi-Mustakaweni’’, titik sentral pesan yang disampaikan adalah hilangnya ‘’Jamus Kalimasada’’ yang menjadi tanggungjawab ‘’raja’’ sebagai pemimpin untuk mengayomi dan menjaga ‘’praja’’ dan seisinya. Dalam terminologi Islam dalam konteks Keraton Mataram, raja (lelaki-Red) dianugerahi kelebihan dibanding perempuan, tampak sekali penyusunan lakon ini tidak jauh dari peran para Wali Sanga (Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga) saat syiar agama, dan dalam konteks melukiskan apa yang sedang terjadi (di keraton), dosen pengajar di IAIN Ponorogo KRT Ahmad Faruk Wreksabudaya menyetujui dan membenarkannya.

HARUS SIAP : Menirukan ‘’salam komando’’ ketika mengenakan seragam PPM, Gusti Moeng mengisyaratkan sangat berharap keponakannya yang putri ‘’raja’’ Sinuhun PB XIII itu, kelak menjadi generasi pengganti yang berada di depan untuk  merawat dan melestarikan budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sinyal berikutnya yang ingin disampaikan Gusti Moeng adalah, ‘’pusaka praja’’ yang diduga benar-benar ‘’murca’’ karena keraton kemasukan para ‘’duratmaka’’. Menurut KRT Ahmad Faruk Wreksabudaya, dalam lakon itu ada sosok Semar (bersama Panakawan) yang mirip dengan kehidupan Gus Dur (Presiden RI ke-4 KH Abdurachman Wahid) sebagai ‘’Bapak Bangsa’’, yang dalam fragmen itu diperankan KRRA Budayaningrat.

Peran Semar dalam lakon itu salah satunya adalah juru penerang atau sosok sesepuh rakyat yang suka memberi petuah solutif. Tetapi sebagai seorang guru atau dwija pada Sanggar Pasinaon Pambiwara, KRRA Budayaningrat menyebut bahwa sinyal hilangnya pusaka praja itu, termasuk komponen ‘’keputren’’ yang tugasnya merawat gedhong pusaka dan seisinya, tetapi juga hilang karena disingkirkan para ‘’duratmaka’’ pada insiden 2017.

Selain fragmen wayang wong, sajian tarian pembuka ‘’Srimpi Sangupati’’ yang dicipta semasa Sinuhun PB IV dan tari ‘’Golek Mugi Rahayu’’ (karya KRT Maridi Tondonagoro) juga sarat pesan simbolik. Tari Srimpi Sangupati adalah tarian heroik sebagai simbol perlawanan, karena Sinuhun PB IV benci kepada penjajah Belanda, sedang tari ‘’Golek Mugi Rahayu’’ adalah simbol upaya mencari jalan hidup yang selamat.

IKUT MENDORONG :  KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang akrab dengan GKR Ayu Koes Indriyah dan kalangan putra-putri Sinuhun PB XII dan PB XIII, selalu memberi dorongan moral secara langsung kepada keluarga besar Keraton Mataram Surakarta, khususnya dalam upaya pelestarian seni budaya, seperti saat gelar fragmen wayang wong ‘’Pusaka Praja Murca’’ di ndalem Djojokoesoeman, Minggu (14/11). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Maka, tarian itu memperlihatkan para penari dalam busana siap perang, tetapi melakukan siasat ‘’meracuni’’ tentara kumpeni dengan alkohol, yang menonjol pada karya asli Sinuhun PB IV dalam tari ‘’Srimpi Sang Apati’’. Oleh Sinuhun PB IX, nama tari itu diganti lebih tegas dan berani dengan nama tari ‘’Srimpi Sangupati’’, dengan format penari menyandang pistol yang terselip di antara busana perang yang dikenakan , punya semboyan ‘’siap mati’’ atau untuk bekal mati (‘’sangu pati’’-Red).

Kata ‘’alkohol’’ dan ‘’siap mati’’ merupakan sebagian tafsir yang tersirat dalam tarian ‘’Srimpi Sangupati’’, untuk melukiskan suasana otoritas penguasa ‘’praja’’ yang sedang mabuk kekuasaan di satu sisi. Di sisi lain, padahal kawula alit (masyarakat adat-Red), sampai mati-matian berjuang demi kewibawaan, harkat dan martabat ‘’praja’’, budaya dan peradaban.

‘’Saya sangat setuju dengan tafsir itu. Tetapi saya menangkap pesan lain, yaitu percepatan proses regenerasi, untuk mengantisipasi perubahan yang sedang dan akan terjadi. Tokoh seperti GKR Timoer dan GKR Ayu Koes Indriyah, harus segera siap untuk berbagi peran. Karena kasihan Gusti Moeng, kalau harus menanggung semua beban di pundaknya. Regenerasi sudah mendesak. Tokoh muda seperti GKR Timoer, harus meneruskan jejak Gusti Moeng untuk memimpin pelestarian budaya,’’ harap KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang dihubungi iMNews.id di tempat terpisah. (Won Poerwono-habis)

Leave a Reply