Pesan Bijak Bung Karno : “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah” (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:November 10, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Bagaimana Dengan Sinuhun PB VI, PB X, Jend Djatikoesoemo ?

IMNEWS.ID – HARI ini tepat tanggal 10 November 2021 atau genap 76 tahun dari peristiwa ‘’yang dipersepsikan heroik dan patriotik’’ yang terjadi di Surabaya, 10 November 1945 silam. Oleh pemerintah NKRI, hari itu kemudian ditetapkan sebagai hari nasional untuk memperingati jasa-jasa para pahlawan yang disebut ‘’Hari Pahlawan’’.

Dengan ditetapkannya Hari Pahlawan yang rutin diperingati tiap tanggal 10 November, seakan menjadi titik tolak lahirnya penghormatan dan penghargaan terhadap siapa saja anak bangsa ini yang dianggap berjasa terhadap bangsa dan negara, terutama yang berkait dengan kelahiran NKRI. Bahkan setelah republik ini berdiri, lahir pemahaman dan kesadaran baru untuk memberi penghormatan dan penghargaan kepada siapa saja yang dianggap berjasa terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa dan negara ini.

Pemahaman dan kesadaran bangsa dan negara ini, bahkan berkembang lebih luas, merunut jauh ke belakang, karena sangat diyakini berbagai peristiwa seperti 10 November 1945, bahkan 17 Agustus 1945, tidak akan terwujud apabila tidak ada tokoh-tokoh pemimpin peradaban sebelumnya. Karena sangat diyakini banyak pihak terutama kalangan pendiri negara dan para peneliti sejarah, bahwa peristiwa 17 Agustus 1945 dan hampir semua peristiwa yang mengartikulasi ‘’kemerdekaan’’ itu, tidak mungkin tiba-tiba muncul atau jatuh dari langit.

TAK DIKENAL : Banyak simbol para tokoh pemimpin dari eks ‘’nagari’’ Mataram Surakarta (1745-1945), tidak pernah dikenal publik secara luas sampai berganti-ganti generasi, padahal  jasa-jasanya besar dan bahkan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Misalnya,  patung yang menghias teras Bangsal Kasentanan, kompleks Keraton Mataram Surakarta itu.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalangan cerdik-pandai seperti para pujangga Jawa yang banyak lahir dari ‘’nagari’’ Mataram Surakarta, tokoh-tokoh kerajaan seperti Sinuhun PB IX dan PB X, juga sejumlah tokoh yang lahir dari atau ikut melahirkan organisasi-organisasi sosial, budaya, politik, keagamaan pada masa sebelum tahun 1945, sangat dipahami dan diakui publik secara luas sebagai tokoh-tokoh perintis jalan menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila bangsa dan negara ini bisa memahami dan menyadari lalu menghargai bahwa ada banyak tokoh dari serangkaian perjalanan peradaban yang layak kita tempatkan sebagai pahlawan nasional.

Sultan Hasanudin (Makasar), I Gusti gurah Rai (Bali), Gajah Mada di zaman Kerajaan Majapahit abad 14, adalah bagian dari sederet panjang nama-nama pahlawan nasional bangsa yang telah dipahami dan disadari bersama, lalu diakui sebagai pahlawan nasional. Mereka, adalah para perintis kemerdekaan, termasuk Maha Patih Keraton Majapahit itu, yang nota bene berasal dari peradaban abad 14 yang kemudian menurunkan peradaban abad 15 (Demak dan Pajang), peradaban abad 16 (Kota Gedhe, Plered dan Kartasura) dan peradaban abad 17-19 (Kartasura dan Surakarta).

‘’Eyang Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kami sangat mengapresiasi itu. Tetapi, sampai sekarang, baru kali pertama eyang Sinuhun PB VI yang mendapat penghargaan melegakan. Karena, dibangun patungnya, dijadikan monumen dan nama kawasan di objek wisata Selo, Boyolali. Harapan kami, banyak nama tokoh dari Mataram, dijadikan nama jalan besar. Terutama di wilayah Mataram Surakarta. Mosok, di Kota Surakarta kok tidak ada nama jalan Paku Buwono? Aneh ‘kan?,’’ ujar Gusti Moeng terheran-heran dalam perbincangan dengan iMNews.id, sebelum meresmikan Monumen PB VI di Selo, belum lama ini.

KURANG TEPAT : Nama jalan yang membelah Kota Surakarta dari perempatan Gladag berikut patung yang menghias di tengah perempatan itu, akan lebih tepat kalau diambil dari nama salah satu Pahlawan Nasional dari Keraton Mataram Surakarta, yang lokasinya tepat berada di wilayah eks Ibu Kota ‘’nagari’’ itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Memang baru Bupati Boyolali M Said Hidayat dengan jajaran dan unsur Forkompimda di situ yang benar-benar membuat lega GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, sebagai representasi karena menjabat Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), sekaligus sebagai representasi Keraton Mataram Surakarta. Meskipun, untuk mewujudkan impian bersama khususnya masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta itu, sudah dirintis sejak 2019 ketika Bupatinya masih dijabat Seno Samudro yang waktu itu M Said Hidayat menjadi Wakil Bupati.

Dalam rangka mewujudkan impian bersama itulah, sebuah diskusi kecil yang diinisiasi RM Koes Rahardjo (KPHA Purbodiningrat) dengan beberapa tokoh termasuk Dr Purwadi (Ketua Lokantara Jogja) di sebuah tempat, kemarin, bisa jadi akan benar-benar menjadi jawabannya. Karena, diskusi itu telah mengungkap kesadaran kolektif yang melahirkan rintisan untuk menggugah kepedulian publik secara luas, untuk mengapresiasi jasa-jasa dan karya besar para tokoh perintis dan pendiri bangsa dan negara ini.

RM Koes Rahardjo sudah menghimpun 10 nama tokoh asal Surakarta yang sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional, tetapi masih ada beberapa nama yang bisa ditambahkan. Setidaknya, ada nama Sinuhun PB VI, PB X, Jenderal Djatikoesoemo, RM Said atau Pangeran Sambernyawa, Prof Dr Soeharso dan Overste Slamet Riyadi. Tetapi, Dr Purwadi menandaskan, Sinuhun PB II dianggap terlupakan dari memori kolektif publik, padahal jasa-jasanya sangatlah besar dalam meletakkan dasar-dasar lahirnya sebuah negara dengan sistem pemerintahan administratif, yaitu ketika melahirkan ‘’nagari’’ Mataram Surakarta pada tahun 1745.

“Beliau adalah Bapak Pendiri negara ‘Mataram Surakarta’. Eksis sampai 200 tahun lo (1745-1945). Dan Sinuhun PB III, adalah Bapak Perdamaian. Karena kearifan dan kebijaksanaan beliaulah, lahir Keraton Jogja (1755) dan Pura Mangkunegaran (1757). Tokoh-tokoh ini yang seharusnya dikedepankan jasa-jasa dan karya positifnya kepada kalangan generasi muda. Jangan fitnahnya yang selalu dieksploitasi,’’ tegas Dr Purwadi yang menyusun buku sejarah berdirinya kota dan kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dalam versi lain, bukan ‘’proyek’’ yang sarat kepentingan (politik) seperti yang sudah ada. (Won Poerwono-bersambung)