Kelak, Peradaban Akan Menyebut Ritual 17 Sura Bukan ”Jenang Suran”
IMNEWS.ID – BERBAGAI macam cara untuk menyikapi sekaligus memaknai bencana kesehatan pandemi Corona yang melanda dunia dalam dua tahun ini, baik yang dengan bijak dan sabar memetiknya sebagai pelajaran hidup yang sangat berharga, maupun lebih merasakannya sebagai penderitaan. Tetapi banyak juga yang menerima begitu saja sebagai dinamika kondisi riil yang harus terus dihadapi dan dijalani, tanpa perlu bergejolak atau bereaksi.
Itu adalah kurang-lebih gambaran riil situasi dan kondisi sosial masyarakat bangsa, khususnya di Indonesia, mengenai bagaimana caranya menyikapi sekaligus memaknai bencana ”pageblug Mayangkara” yang sedang melanda ini. Tetapi, mungkin akan sangat beda lagi dengan generasi masyarakat di Tanah Air (khususnya) pada seabad mendatang, ketika belajar (terutama) tentang sejarah perjalanan warga bangsa yang berada dalam wilayah NKRI.
Bisa dipastikan akan ada sebagian warga yang akan mempelajari sejarah perjalanan warga bangsa Indonesia ini, sebagai salah satu bangsa yang memiliki cara-cara unik dalam menyikapi dan memaknai sebuah bencana kesehatan, selain cara-cara umum yang dilakukan banyak warga bangsa lain. Karena, bencana kesehatan pandemi Covid 19 ini terjadi di zaman yang sudah sangat modern, tetapi tetap saja menelan banyak korban jiwa dan hampir semua sendi kehidupan bangsa-bangsa di unia menjadi terpuruk.
Kebiasaan Warga Peradaban
Melihat berlangsungnya upacara adat ”pengetan adeging nagari” Mataram Surakarta yang ke-285 tahun (kalender Jawa) atau 276 tahun (kalender Masehi), pada Rabu sore (25/8) yang sudah masuk tanggal 17 Sura Tahun Jawa Alip 1955, tentu akan menginspirasi banyak orang untuk menemukan cara mengenangnya di kelak kemudian hari. Baik mengenang upacara adat peringatan berdirinya ”negara” Mataram Surakarta yang dideklarasikan Sinuhun PB II pada tahun 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari tahun 1745 M, maupun mengenang bencana kesehatan pageblug Corona yang melanda begitu dahsyat saat ini.
Selain menyikapi dan memaknai dengan caranya sendiri selama dua tahun ini, semakin bertambah tahun berganti waktu, pasti akan melahirkan cara-cara untuk mengenangnya. Karena, peristiwa ”pageblug Mayangkara” flu Eropa yang melanda ”nagari” Mataram Surakarta saat Sinuhun PB X jumeneng, warga peradaban Mataram Surakarta berada di dalam NKRI sekarang ini juga banyak mengenangnya. Apalagi, pageblug Mayangkara yang terjadi di sekitar tahun 1917 itu, konon sampai memakan korban jiwa sejuta orang, waktu itu.
Oleh sebab itu, ketika menyaksikan berlangsungnya upacara adat ”pengetan adeging nagari” Mataram Surakarta yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Rabu sore 25 Agustus 2021 itu, peristiwa itu tentu akan menginspirasi banyak orang untuk mengenang, menyikapi dan memaknainya. Dan sudah menjadi kebiasaan di lingkungan warga peradaban Jawa/Mataram, cara-cara yang dilakukan tentu berdasar pada tingkat kemampuannya yang sederhana dalam menangkap pesan pandemi Corona, lalu menerjemahkan dengan bahasa yang mudah diterima di lingkungan warga peradaban.
Untuk Memudahkan Mengingatnya
Maka, tidak aneh apabila generasi peradaban kelak, mungkin seabad kemudian, upacara adat peringatan berdirinya ”nagari” Mataram Surakarta 17 Sura yang seharusnya dijadikan hari jadi Kota Surakarta itu (bukan 17 Februari-Red), akan disebut dalam beberapa istilah. Kalau upacara adat itu sering disebut dengan event ”Jenang Suran” sebagai menu khas ritual itu, oleh generasi warga peradaban kelak bisa saja disebut ”Jenang Suran” diganti/ditambah kata Corona”, atau ”Pandemi”, ”atau ”Covid 19” atau yang lain sesuai kedewasaan dalam menangkap pesan dan kemudian menyebutkannya.
Mungkin, memang terdengar kurang enak/pantas jika menyebut ”Jenang Suran” diberi tambahan kata ”Corona” atau yang lain sesuai suasasananya, tetapi kira-kira begitulah kebiasaan warga peradaban Jawa/Mataram akan mengenang, menyikapi dan memaknainya. Bahkan, tidak hanya peristiwa upacara adat ”pengetan adeging nagari” Mataram Surakarta yang akan dikenang, disikapi dan dimaknai seperti itu, karena sedikitnya ada 9 upacara adat di Keraton Mataram Surakarta yang rutin diadakan dan dikenal luas masyarakat peradaban, meski tidak semuanya bisa digelar selama dua tahun dilanda pageblug Mayangkara pandemi Corona ini.
Suatu saat, ritual Garebeg Syawal (Idul Fitri/Lebaran), Garebeg Besar (Idul Adha), Garebeg Mulud (Sekaten), ritual wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung dan sebagainya, suatu saat kelak akan dikenang dan dimaknai dengan sebutan nama asli yang ditambah kata ”pandemi”, ”Corona”, ”Covid 19”, ”pageblug” atau ”pageblug Mayangkara”. Susunan katanya juga bisa menjadi banyak pilihan, tergantung bagaimana lidah warga peradaban Jawa gampang melavalkan atau menyebutnya.
Sangat Mungkin Diwariskan
”Yang penting, dengan menggabungkan antara event ritualnya dengan suasana yang terjadi saat event itu berlangsung, akan memudahkan dalam menyebutkan. Apalagi ketika hendak menjelasakan kepada orang lain, baik melalui media (buku, koran, internet/medsos dan sebagainya), maupun bertutur secara langsung dengan kerabat/warga segenerasinya. Dan itu, tentu akan memudahkan untuk mengingat-ingat kejadiannya. Setidaknya, memori diri atau publik akan tertuju pada tempat dan peristiwanya, yaitu upacara adat di Keraton Mataram Surakarta,’ sejauh yang saya bayangkan akan terjadi pada kehidupan generasi mendatang kok seperti itu. Dulu dan sekarang ‘kan juga begitu,” seloroh KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito kepada iMNews.id, kemarin.
Apa yang dibayangkan pemerhati budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta secara spiritual kebatinan itu, tentu sangat realistik, karena berkaca dengan yang sudah pernah terjadi. Misalnya, saat Nusantara khususnya di tanah Jawa dilanda flu Eropa, atau saat kehidupan di sekitar gunung Merapi, termasuk kawasan Candi Borobudur, disapu lahar gunung super aktif yang meletus hebat sekitar abad 8 (berbagai sumber-Red).
Semua kemungkinan yang akan terjadi seperti contoh-contoh di atas, intinya adalah untuk menemukan cara terbaik untuk mengingat-ingat peristiwanya. Karena, semua yang menyaksikan secara langsung atau tidak, atau justru terlibat di dalam peristiwa itu, pasti akan membuat sejarah. Atau setidaknya menjadi bagian sejarah, tetapi cukup hanya tersimpan dalam memori publik, atau didokumentasi dalam berbagai macam media, atau sangat mungkin diwariskan kepada warga peradaban di masa mendatang, sebagai catatan perjalanan sejarah kehidupan. (Won Poerwono-habis)