Memaknai Datangnya Tahun Baru Jawa 1 Sura dalam Suasana Pandemi (3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 30, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Safari Keliling Pantura Terhenti, Labuhan Jadi ”Pengganti”

IMNEWS.ID – PEKERJAAN KRT Ahmad Faruq Reksabudaya MFil I dan pihak-pihak yang peduli pada pelestarian kalender Jawa Sultan Agung, biarlah terus berproses, silih-berganti generasi, sampai sepanjang masa. Karena, karya-karyanya adalah esensi yang sangat mendasar dari sebuah eksistensi peradaban, yaitu Keraton Mataram Surakarta, sebagai bukti bahwa lembaga masyarakat adat ini masih punya kedaulatan dalam sistem pembagian waktu yang tak dimiliki sebagian bangsa-bangsa di dunia.

Bila hal esensi yang mendasar sudah bisa produktif dan berjalan aman, pekerjaan berat berikutnya adalah merawat dan menjaga kelangsungan sendi-sendi lain sebuah kehidupan peradaban. Memaknai datangnya Tahun Baru Jawa 1 Sura tahun Alip 1955 sekarang ini, selain melihat kesibukan KRT Ahmad Faruq  yang terus melanjutkan proses rekonstruksi format sistem pembagian waktu, juga harus melihat kesibukan Gusti Moeng sebagai Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta.

Meski berada di luar keraton sejak insiden April 2017, Pengageng Sasana Wilapa ini tetap aktif menjadi motor penggerak hampir semua sendi kehidupan peradaban Mataram. Tak bisa terlibat langsung menggelar upacara adat kategori ”wajib” di dalam keraton karena ”ndilalah” ada pageblug Corona dalam dua tahun ini, tetapi pekerjaan merawat dan menjaga kelangsungan peradaban di luar keraton, masih banyak yang bisa dilakukan.

TERTIMPA LESUS : Gusti Moeng sempat memimpin rombongan LDA Keraton Mataram Surakarta, ziarah di kompleks makam Sri Makurung Handayaningrat di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, setelah hancur tertimpa pohon ”Kepoh” yang roboh tertimpa lesus, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 20/6). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Larungan Puing Makam Leluhur

Dan, datangnya bulan Sura di tahun Alip 1955 ini, Keraton Mataram Surakarta melalui LDA yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, memancarkan sinyal kuat berlangsungnya kegiatan memaknai eksistensi perjalanan Mataram Surakarta. Setelah menggelar upacara adat peringatan 285 tahun ”adeging nagari Mataram Surakarta” dari tanggal 17 Sura tahun Je 1670 (1745 M) sampai 17 Sura tahun Alip 1955 pada Rabu sore (25/8), ada dua agenda yang membuat datangnya bulan Sura ini makin bermakna.

Kegiatan itu adalah ”labuhan” atau ”larungan” (menghanyutkan) puing-puing sisa makam Eyang Kebo Hamiluhur yang masih paman Jaka Tingkir, raja Keraton Pajang (1550-1582) bergelar Sultan Hadiwijaya. Kompleks makam leluhur Mataram yang bernama Sri Makurung Handayaningrat di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali itu, hancur tertimpa batang pohon ”Kepoh” yang ambruk tersapu lesus pada Minggu sore (20/6).

Setelah berkoordinasi dengan Pemkab Boyolali mengenai musibah angin ribut yang menghancurkan kompleks makam leluhur Mataram itu, panitia sudah dibentuk untuk membangun kembali kompleks makam itu, bahkan ada seorang kerabat yang akan membiayai pekerjaan renovasinya. Dimulai dari pekerjaan evakuasi puing-puingnya pada waktu itu, hingga tindak lanjut setelah itu, termasuk upacara adat ”labuhan” atau ”larungan” di laut selatan, pantai Parangkusumo, Bantul, DIY, Sabtu siang (28/8).

ENAM PETI : Enam peti berisi puing reruntuhan makam, disiapkan di pendapa kompleks makam Sri Makurung Handayaningrat di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Selanjutnya diberangkatkan menuju pantai Parangkusumo, Bantul (DIY), untuk dihanyutkan di laut selatan dalam sebuah upacara adat ”larungan” yang dipimpin Gusti Moeng, Sabtu siang (28/8). (foto : iMNews.id/dok)

Agenda Kegiatan Padat

”Jadi, puing-puing makam eyang Sri Makurung Handayaningrat, Sabtu siang kami  labuh di Parangkusumo. Terutama puing-uing makam eyang Kebo Hamiluhur, yang paling parah. Ada kerabat yang akan membiayai renovasi kompleks makam. Bahkan termasuk labuhan kemarin (Sabtu, 28/8),” jelas Gusti Moeng yang memimpin upacara adat labuhan itu, menjawab pertanyaan iMNews.id tadi siang.

Sehabis ”labuhan” di pantai Parangkusumo, malamnya diteruskan dengan agenda kegiatan ritual peringatan 100 hari meninggalnya sang kakak kandung, GKR Retno Dumilah yang akrab disapa Gusti Is atau Gusti Retno. ”Anggota Barisan Srikandi Mataram” ini meninggal saat diajak bersama-sama menyaksikan gerhana bulan total di Tawangmangu, Rabu malam (26/5).

Agenda berikutnya, adalah ziarah ke makam raja-raja Dinasti Paku Buwono di kompleks Astana Pajimatan Imogiri, Bantul DIY, Minggu siang (29/8). Agenda berikut yang sudah dijadwalkan berlangsung tanggal Jumat, 3 September, yaitu upacara adat larab selambu makam Sinuhun Amangkurat Agung di kompleks makam Astana Pajimatan Tegalarum, Kabupaten Slawi/Tegal.

UPACARA LARUNGAN : Upacara adat ”larungan” puing-puing makam Sri Makurung Handayaningrat yang dipimpin Gusti Moeng, didahului dengan doa, tahlil dan dzikir yang dipimpin KRT Pujo Sudjiantodipuro di bibir pantai Parangkusumo, laut selatan, yang masuk Kabupaten Bantul, DIY, Sabtu siang (28/8). (foto : iMNews.id/dok)

Memaknai Upaya Merawat/Menjaga

Melihat kesibukan LDA Keraton Mataram Surakarta yang cukup dikerjakan di luar tembok dalam memaknai Tahun Baru Jawa 1 Sura, Alip 1955 itu, adalah karya luar biasa seorang pemimpin adat meskipun bukan raja Mataram Surakarta. Tetapi, itupun belum seberapa dibanding serangkaian kegiatan di tahun-tahun sebelum ada pandemi, yang dilakukan Gusti Moeng khusus selama bulan Sura saja.

Dalam catatan wanita anak ke-25 Sinuhun PB XII itu, ada 12 kegiatan ritual di Kabupaten Pati dan Kabupaten Grobogan, dalam rangka menyambut datangnya bulan Sura Tahun Baru Jawa, Alip 1955 ini, tetapi harus berhenti/ditiadakan karena pandemi Corona. Bahkan, dalam setahun ada 30-an upacara adat larap selambu, ziarah dan pengajian akbar yang digelar warga Pakasa pengelola makam dan petilasan para leluhur Mataram, yang tersebar di beberapa daerah sepanjang Pantura (pantai utara).

”Bahkan di Pantura yang memanjang di dua provinsi, Jateng hingga Jatim. Tetapi, semua kegiatan adat itu masih dilarang karena pandemi Corona. Kita wajib menaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Mudah-mudahan, pandemi segera berlalu. Tahun depan, safari keliling bersama warga di upacara adat yang digelar di setiap daerah itu bisa terwujud, dan bisa saya lakukan lagi”.

”Ini adalah bagian dari cara kita memaknai bulan Sura. Memaknai upaya-upaya merawat dan menjaga peradaban Mataram/Jawa,” jelas mantan anggota DPR RI dua periode terpisah, penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang tahun 2012 itu. (Won Poerwono-bersambung)