Tak Mau Memuliakan Bedaya Ketawang, Berati tak Mengakui Dirinya ”Raja”
IMNEWS.ID – TERSAJINYA upacara adat hajad-dalem tingalan jumenengan yang menjadi satu paket atau satu-kesatuan dengan tarian sakral Bedaya Ketawang, seakan menjadi representasi contoh baku aktivitas adat yang dimiliki, dan selalu dijalankan secara rutin oleh masyarakat adat warga Dinasti Mataram dan diikuti warga peradaban yang melegitimasinya. Sekaligus, menjadi contoh representasi bahwa upacara adat itu paling lengkap, paling indah, paling lama durasinya dan paling meyakinkan kesakralan sekaligus durasi ketahanannya dalam ”diam” sampai lebih dari 3 jam lebih.
Dari sudut publik secara luas di luar masyarakat adat yang menyebut ada kejanggalan, tetapi sekaligus bisa menyatakan takjub terhadap sajian peristiwa hajad-dalem tingalan jumenengan itu. Bahkan, karena potensi kekayaan seni-budaya eks ”nagari” Mataram Surakarta dan atau yang telah dirintis para leluhur Mataram sebelumnya dalam waktu yang panjang inilah, telah membuktikan Mataram Surakarta yang tersisa sejak 1945 hingga kini, tetap mampu menjadi magnet dan memiliki daya tarik besar bagi banyak kalangan berkelas, yang berskala nasional bahkan internasional.
Mengapa hajad-dalem tingalan jumenengan menjadi representasi? Karena, upacara adat satu ini memiliki kelengkapan banyak potensi yang bisa diekspresikan sekaligus dan memenuhi kaidah apapun yang berlaku dalam lingkup seni-budaya/peradaban. Tanpa perlu dipandu/diatur seorang MC atau juru pranatacara, itu sangat jelas. Nyaris semua potensi seni karawitan ditumpahkan di situ, sajian seni tarinya adalah jenis tarian sakral yang level/derajatnya paling tinggi.
Sebagai simbol eksistensi, kekuasaan dan kedaulatan, upacara adat tingalan jumenengan
tentu memiliki ekspresi kebesaran dan kekuatan (power) baik pisik maupun nonpisik (spiritual/supranatural), yang tangable (bisa diraba) maupun intangable (tak bisa diraba). Semua produk peradaban yang bisa berupa ilmu pengetahuan dan teknologi (waktu itu), SDM yang bisa berupa kekuatan prajurit dengan senjatanya yang ampuh, termasuk ”man power” berupa para pejabat ”nagari” secara struktural, pemikir dan cerdik pandai (empu, pujangga dan perintis kemerdekaan), produk-produk seni-budaya dan sebagainya, bisa tampak dalam upacara adat tingalan jumenengan (waktu itu).
Kini, sebagian simbol-simbol eksistensi, kekuasaan/power dan kedaulatan itu memang sudah tidak tampak dalam berbagai upacara adat terutama tingalan jumenengan, bahkan sejak menjadi bagian dari NKRI di tahun 1945. Tetapi, eksistensi dan power itu masih ada dan masih banyak simbolnya, sekalipun dalam pengertian sebagai sumber dan pusat pemeliharaan peradaban Mataram dan Jawa, serta masih diakuinya kedaulatan dalam seni-budaya.
Adanya tatacara upacara adat perkawinan Jawa ”gaya” Surakarta, kemudian pengetahuan seni tari, karawitan dan pedalangan ”gaya” Surakarta yang dilegitimasi publik secara luas bahkan terlembaga dalam sekolah (SMKI) dan perguruan tinggi seni (ISI), merupakan contoh-contoh sisa-sisa kedaulatan yang masih dimiliki Keraton Mataram Surakarta. Juga menjadi objek studi penelitian kalangan intelektual kampus dari dalam dan luar negeri, itu adalah salah satu sumbangsih keraton secara nyata terhadap kehidupan warga peradaban secara luas.
Banyak yang Menghormati Reputasi Keraton
Pengakuan terhadap sisa-sisa eksistensi, kekuasaan/power dan kedaulatan Keraton Mataram Surakarta dari publik secara luas hingga kini, membuktikan bahwa reputasi terbentuknya ”nagari” Mataram yang beratus-ratus tahun sebelum Surakarta dan 200 tahun setelah berada di Surakarta hingga 1945, kebesaran peradabannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Meski selama kepemimpinan seorang Sinuhun sejak 2004 hingga kini seakan ”mengorbankan” nama besar keraton, tetapi masih banyak yang menghormati reputasi dengan segala potensinya yang pernah ditunjukkan Keraton Mataram Surakarta sebelum 1945, bahkan jauh sebelumnya.
”Memang, keraton sekarang ini sedang bermasalah. Tetapi kalau riwayatnya dulu setiap ada upacara tingalan (jumenengan) selalu dihadiri banyak sekali tokoh terhormat, negarawan, berkelas nasional bahkan internasional, itu jelas membuktikan betapa besar eksistensi dan pengaruh Keraton Mataram Surakarta. Kewibawaan, harkat dan martabat keraton seperti itulah yang seharusnya perlu kita upayakan bersama-sama agar bisa kembali”.
”Ini menjadi kewajiban dan tanggungjawab kita bersama, bahkan publik secara luas, untuk mengembalikan dan menjaga kelangsungannya. Karena kita sudah mendapatkan manfaat dari keberadaan keraton, secara langsung atau tidak langsung. Keraton adalah aset bangsa kita,” ajak pemerhati keraton dan budaya Jawa dari sisi spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang mengaku pernah bertemu banyak tokoh berkelas di beberapa kesempatan event ritual tingalan jumenengan, saat menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Benar kata dan ajakan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito itu, Keraton Mataram Surakarta tidak mungkin didatangi publik secara luas, dalam berbagai lapisan dari dalam dan luar negeri, kalau tidak punya riwayat yang luar biasa terhadap kehidupan secara luas. Mungkin hanya karena sejumlah peristiwa yang muncul dalam kurun waktu 2004 hingga sekarang, yang dianggap begitu mengecewakan dan meruntuhkan kepercayaan publik secara luas terhadap keraton, tetapi masih sangat banyak bukti dan fakta pisik dan nonpisik sebagai jejak dan tapak peradaban Mataram Surakarta yang mudah dilihat/dirasakan, yang bisa mengembalikan kepercayaan publik secara luas.
KRT Hendri Rosyad mengajak untuk mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat Keraton Mataram Surakarta, jelas positif dan dengan alasan yang mendasar. Di antaranya, karena sisa-sisa peradaban yang berupa produk-produk seni-budaya, masih diperlukan dan dibutuhkan warga peradaban, bahkan publik secara luas. Tatacara dan upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta, adalah salah satu contoh produk peradaban yang wajib dilestarikan, karena menjadi pemandu kehidupan yang bernilai budaya dan spiritual religi tinggi, yang kini masih dibutuhkan/diperlukan warga.
Mengingkari Simbol Kebesaran Mataram
Mengenal kejanggalan dari sajian ritual tingalan juemenengan, justru menjadi cara untuk mengenal eksistensi Keraton Mataram Surakarta secara keseluruhan, mulai dari ketika dirintis berpindah-pindah di beberapa tempat sampai memakan waktu ratusan tahun, hingga menetap di satu tempat terakhir (Surakarta) dan berjalan hingga 200 tahun pula. Mengenal eksistensi secara keseluruhan, berarti menjadi proses mengenal peradaban, baik selama Mataram dan sebelumnya yang berjalan dalam rentang waktu yang sangat panjang itu.
Apa yang dianggap janggal di masa kini, justru bisa dipersepsikan menjadi daya tarik atau magnet tersendiri untuk mencari tahu dan meneliti lebih jauh agar menjadi tahu, memahami, merasa memiliki, melegitimasi, merasa bangga dan menjaga kelangsungannya. Itulah yang diharapkan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, apalagi bagi GKR Wandansari Koes Moertiyah Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta, yang kini mendapat tugas dan tanggungjawab memimpin gerakan penyelamatan keraton.
Atas dasar fakta dan realita itu, jika mengambil batas waktu sebelum 2004 dan sesudah 2004 sampai sekarang untuk membandingkannya, sungguh mengundang keprihatinan tetapi sekaligus kepedulian untuk terus berupaya memikul kewajiban dan tanggungjawab di atas. Yaitu untuk mengembalikan wibawa, harkat dan martabat keraton yang dalam dua dekade terakhir ini telah mengecewakan dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap keraton.
Meskipun predikat pemimpin adat tetap melekat pada diri Sinuhun Paku Buwono, tetapi sebagai figur yang dipercaya mendapat tugas dan kewajiban menyelamatkan keraton, Ketua LDA yang akrab disapa Gusti Moeng itu pasti setuju dengan persepsi khalayak secara luas terhadap kualitas kepemimpinan Sinuhun saat ini yang jauh di bawah standar ideal. Hingga seorang abdidalem karawitan seperti Joko Daryanto, mengibaratkan pemimpin yang jumeneng saat ini sudah tidak layak disebut ”Sinuhun” atau ”raja”, karena telah mengingkari simbol kebesarannya secara esensial sebagai seorang Sinuhun atau raja.
”La wong Sinuhun kok tidak bisa menghargai sajian Bedaya Ketawang sebagaimana mulia dan sakralnya simbol legitimasi Mataram. Apa masih layak disebut Sinuhun? Sajian Bedaya Ketawang adalah simbol eksistensi seorang Sinuhun (Paku Buwono). Beksan sakral itu juga simbol eksistensi Mataram. Kalau sajian dalam beberapa tingalan jumenengan seperti itu, apa masih bisa disebut Sinuhun? Apa masih bisa disebut ‘raja’?,” ungkap abdidalem kandidat kandidat doktor di UNS yang belasan tahun ikut mengiringi Bedaya Ketawang, yang juga meneliti latar belakang sejarahnya, menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah kemarin. (Won Poerwono-habis)