In Memoriam; Genap Tujuh Hari “Perginya” Ki Manteb Soedarsono (3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 11, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Ada Ide Bikin Buku ”Dalang Ruwat”, Takut Jadi Kontroversi

IMNEWS.ID – JAUH sebelum dipanggil menghadap Sang Khalik (iMNews.id, 2/7), yaitu ketika masih tinggal bersama seorang istri bernama Erni (akhirnya dicerai-Red) di sebuah perumahan di kawasan Colomadu, Karanganyar, sekitar tahun 2008, Sang Maestro Sabet Ki Manteb Soedarsono pernah merencanankan sesuatu. Karena merasa sebagian (belakang) perjalanan hidupnya belum tertulis (terbukukan), maka almarhum mengundang dua rekannya yang berprofesi wartawan untuk datang ke rumah, diajak diskusi untuk mewujudkan rencananya itu.

Dalam tiga kali pertemuan di sela-sela jadwal ”tanggapan” (undangan pentas) Ki Manteb yang tergolong masih sangat padat tiap bulannya, waktu itu, diskusi terjadi dan almarhum awalnya tampak bersemangat utuk mewujudkan rencananya itu. Rencana tersebut adalah, menyusun buku biografi untuk melanjutkan beberapa judul buku yang lebih dulu sudah terwujud, namun dianggap belum menampung sebagian perjalanan hidupnya.

Buku biografi yang dimaksud berjudul ”Dalang Sejati, Sejatining Dalang”. Judul itu disodorkan almarhum kepada dua di antara 4 wartawan dari berbagai media yang pernah menulis buku biografi ”Profil Ki Manteb Soedarsono; Menjadikan Wayang Enak Dipandang” di tahun 2000. Karena ide tentang judul datang dari si pemilik biografi, maka dua penulis itu bisa mengakomodasi, setelah ada setengah kesempatakan yang dibahas dalam diskusi.

Setengah kesepakatan yang dicapai, tentu menyangkut isi buku yang menggabungkan antara 25 persen ”flash back” dari beberapa judul yang sudah ada dan 75 persen materinya murni sisa perjalanan hidup Ki Manteb yang belum terakomodasi. Namun, separo kesepakatan yang belum diperoleh tak pernah bisa dibahas dalam diskusi, karena setelah itu sangat sulit bisa bertemu karena kesibukan masing-masing, terutama Ki Manteb yang jadwal pentasnya rata-rata masih di atas 15 kali dalam sebulan, meski terus menurun mendekati masa ”Pageblug Mayangkara” pandemi Corona tahun 2020.

DI RUMAH COLOMADU : Suasana saat Ki Manteb Soedarsono sedang berbincang-bincang dengan para tamunya, antara lain tokoh Senawangi, Soedarko Prawiroyudo dan seorang pesindennya warga Jepang, Hiromi Kano dan Wijayadi (wartawan Media Indonesia) di kediamannya kawasan Colomadu, Karanganyar sekitar tahun 2008. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak Pernah Bercerita di Keluarga

Hal yang belum bisa disepakati itu, adalah mengenai sebagian judul yang berbunyi ”……, Sejatining Dalang” dari judul lengkap ”Dalang Sejati, Sejatining Dalang”. Karena, rangkaian kata ini merujuk pada terminologi spiritual yang sering digunakan para pakar spiritual, misalnya guru besar Fakultas Filsafat UGM Prof Dr Damardjati Soepadjar (alm), yaitu rangkaian kata yang berdimensi ketuhanan.

Salah satu referensi makna itu sudah sempat dikemukakan kepada Ki Manteb, tetapi waktu terus berlalu dan pertemuan yang diharapkan bisa terwujud untuk membahas itu berikut solusi mencari referensi (definisi) makna lain, juga tidak pernah terjadi. Pertemuan terakhir terjadi antara dua penulis dengan almarhum, di bulan Agustus 2019, tetapi almarhum sudah kembali tinggal di Desa Sekiteran Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar bersama istri terakhir yang ditinggal, yaitu Nyi Suwarti.

Tak terwujudnya kesepakatan soal judul itu, barulah terungkap sejumlah alasannya ketika anak lelaki tertua Ki Manteb yang juga dalang profesional bernama Ki Medhot Samiyono (45), bertutur kepada iMNews.id yang menghubungi beberapa kali selama menggelar doa dan tahlil untuk almarhum hingga peringatan 7 hari meninggalnya, Rabu malam (7/7). Menurutnya, Sang Maestro Sabet memang tidak pernah sama sekali punya inisiatif bercerita kepada keluarga di rumah tentang apapun, dan itu memang menjadi sifat almarhum yang sudah dipahami bersama seluruh keluarga besar.

Sebab itu, ketika penulis bertanya apa almarhum masih punya sesuatu (rencana/harapan/cita-cita) yang pernah terlontar hendak diwujudkan tetapi sampai akhir hayat tidak terwujud, Ki Medhot Samiyono menjawab dengan tegas ”tidak punya” rencana apapa, begitu pula tidak pernah bercerita punya cita-cita/harapan yang belum terwujud. Ki Medhot yang makin dekat dengan almarhum, setidaknya satu dekade terakhir sampai Sang Maestro Sabet meninggal, sangat hafal dan memahami sifat2 dan kepribadian sang ayah.  

”Bapak niku yen enten ndalem kathah mendel. Yen mboten ditangleti utawi dijak rembugan, enggih mboten bakal ngendika. Mila, kula enggih mboten mudheng yen bapak nate rundingan ajeng damel buku malih. Bapak niku wongsal-wangsul ngendika, wonten kesempatan/forum napa mawon, mumpung aku isih (urip-Red), yen arep pada takon, pengin ngerti bab apa wae sing eneng hubungane karo pakeliran, wis ora perlu sungkan, langsung takon wae. Mengko ndhak rugi dewe (yen aku wis ora eneng-Red),” jelas Ki Medhot sambil mengutip kata-kata sang ayah yang selalu diingatnya, menjawab pertanyaan iMNews.id.

DALANG RUWAT : Pada dua dekade sebelum meninggalnya, Ki Manteb Soedarsono banyak diminta untuk menggelar wayang ruwatan yang menghadirkan tokoh-tokoh wayang berukuran besar. Kekuatan fisik memainkan ”sabet” tokoh wayang ukuran besar, masih diperlihatkan saat menggelar pentas ”climen” di kediamannya, 1 Juni 2020.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak Sampai Hati Berkata

Meski Ki Medhot belum pernah mendengar rencana sang ayah membuat buku biografi lanjutan (terakhir), namun instingnya terlontar dalam pernyataan bahwa buku yang dimaksud berkaitan dengan aktivitas Ki Manteb yang dalam satu atau dua dekade terakhir sebelum meninggal, merambah ke dynamico pills for potency recommendations and profesi dalang ruwat sebagai profesi tertinggi dan sangat bergengsi bagi perjalanan seorang seniman dalang. Karena diduga penyusunan buku itu berkait dengan profesi dalang ruwat itu, maka Ki Medhot langsung menyatakan lebih tidak jadi atau beruntung tidak terwujud.

Ki Medhot menjelaskan lagi persepsinya soal rencana menyusun buku itu, bahwa cerita tentang profesi dalang ruwat yang akan dibukukan itu sejatinya bisa menimbulkan kontroversi di masyarakat. Karena menurutnya, seorang dalang ruwat harus memenuhi satu di antara sejumlah syarat mutlak dan baku, yaitu tidak boleh ”wayuh” atau tidak boleh mempunyai istri lebih dari satu, sekalipun sudah dicerai.

Ki Medhot terkesan tidak sampai hati mengucap bahwa sang ayah tidak bisa memenuhi syarat sebagai dalang ruwat, karena pernah berganti istri secara sah lebih dari 4 kali  sampai istri terakhir (keenam), Nyi Suwarti (”Menyempurnakan Kenangan Buat Anak-Cucu”- Profil Sejumlah levitra generico europa Orang Berpengaruh – 100 Tokoh Jawa Tengah Edisi 2015). Namun, persepsi tentang itu dalam rencana penyusunan buku biografi terakhir itu nyaris berbeda dengan ide dasar sesungguhnya sampai Ki Manteb punya rencana untuk mewujudkan gagasannya, tetapi akhirnya tak ada penjelasan sampai tutup usia pada Jumat pagi, 2 Juli itu.

”Kula kinten kangge niku mas?. Ternyata benten ta. Ning, bapak iku nggih mboten tau crita kalih anak-anake. Mboten tau crita kalih keluarga kok. Yen bukune niku kangge sanes mbahas soal dalang ruwat, jane enggih sae-sae mawon. Trus soal ‘Dalang Sejati’ niku, pancen bapak niku turun dalang. Mbah kakung (Ki Brahim Hardjo Wiyono) niku dalang. Mbah putri (Nyi Sudarti) niku nggih saget mayang (dalang-Red). Jane, enggih cocok yen dalang sejati,” jelas Ki Medhot yang akhirnya bisa memahami rencana almarhum yang belum kesampaian sampai akhir hayat itu. (Won Poerwono-bersambung)