“Apik Nanging Ora Etis”, tak Bermoral
SOLO, iMNews.id – Forum Rapat Koordinasi (Rakor) pengurus Yayasan Panakawan Jateng yang berlangsung di ndalem Kayonan, Baluwarti, Sabtu (19/6), menyuarakan beberapa keprihatinan sehubungan dengan kondisi perkembangan penggunaan Bahasa Jawa di kalangan masyarakat etnis Jawa, khususnya di Jateng. Keprihatinannya mulai dari rata-rata kalangan anggota DPRD di wilayah Jateng yang tidak bisa berbahasa Jawa, hingga menurunnya harkat dan martabat masyarakat etnik Jawa akibat tidak lagi memiliki tata nilai sesuai budayanya.
”Kita semua memang pantas merasa prihatin karena bahasa Jawa yang di dalamnya terkandung tata nilai budaya Jawa, tidak lagi diperhatikan masyarakat (etnik) Jawa sendiri. Saya sangat prihatin, ternyata banyak anggota DPRD di wilayah Jateng, tidak bisa berbahasa Jawa. Kalau dulu Komisi II dan X DPR RI pernah memperjuangkan pengangkatan ASN guru Bahasa Jawa gagal, yang diperjuangkan sebenarnya bukan hanya Jawa Tengah. Melainkan yang di Jateng, DIY dan daerah-daerah lain di Nusantara ini yang penduduknya banyak berasal dari etnis Jawa. Yang diharapkan, juga guru-guru bahasa daerah lain, agar diperjuangkan di tempat asal dan pengabdiannya,” ujar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Dewan Pertimbangan pengurus Yayasan Panakawan Jateng, di depan para peserta rakor, Sabtu (19/6) siang itu.
Sambutan Gusti Moeng Ketua Dewan Pertimbangan yang terpilih lagi pada rakor sekaligus penyegaran kembali kepengurusan secara lengkap siang itu, untuk periode kedua tahun 2021-2024 sejak berdiri tahun 2018. Selebihnya tuan rumah yang juga Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta itu menyampaikan terima kasih, karena masih banyak pihak yang peduli nasib Bahasa Jawa dan budaya Jawa, dan bersedia bergabung menjadi pengurus Yayasan Panakawan yang mutlak sebagai tempat pengabdian itu.
Sementara itu, ketua yang juga terpilih untuk periode kedua, H Sudarmin mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib Bahasa Jawa di antara budaya Jawa, karena nyaris tiap hari menyaksikan perilaku orang di wilayah etnik Jawa utamanya di Jawa Tengah, yang cenderung egois. Karena sama sekali sudah tidak mengenal Bahasa Jawa, perilakunya hanya diupayakan baik sesuai ukurannya sendiri, tetapi meninggalkan etika yang berlaku bagi publik secara luas.
”Banyak yang ingin memperlihatkan diri ‘apik’, ning ora etis. Tidak bermoral. Karena, merasa tetapi hanya sesuai ukuran pribadinya. Bukan beretika sesuai ukuran publik secara luas. Yayasan Panakawan memang menghadapi banyak persoalan. Sekarang persoalan kepengurusannya yang paling mendasar dulu diselesaikan, nanti baru ngurusi yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban yayasan sesuai bidangnya,” papar Sudarmin.
Jadi Pengurus Memang Pengabdian
Rakor sampai pada sesi pemilihan pengurus baru yang dipandu Prof Dr Sumarlan SU (guru besar FIB UNS), juga mengungkapkan keprihatinannya karena ”bencana” pandemi Corona. Dari 40-an orang yang diundang (kebanyakan organ pengurus lama), yang hadir hanya 12 orang, karena semuanya menyatakan berbareng dengan acara lain, di antaranya proses penerimaan peserta didik baru.
Oleh sebab itu, tiga dari empat bakal calon ketua yang hadir akhirnya nama H Sudarmin ditetapkan kembali sebagai ketua pengurus Yayasan Panakawan periode 2021-2024, dalam pemilihan secara ”musyawarah dan mufakat” yang dipimpin Prof Dr Sumarlan. Seorang bakal calon yang disebut Prof Dr Sumarlan ”sudah melamar” berhalangan hadir yaitu Dr Sri Budiono MPd, dilewatkan, sedang KRRA Budayaningrat yang hadir menyatakan tidak bersedia, dan guru Sri Paminto bersedia ditunjuk H Sudarmin sebagai salah seorang Wakil Ketua.
Dalam pengantarnya untuk membacakan susunan pengurus baru yang langsung disusun hari itu, Sri Paminto menyatakan sebenarnya 40-an nama yang diundang sangat diharapkan kehadirannya, agar bisa memperkuat kepengurusan Yayasan Panakawan. Tetapi, ternyata yang hadir kurang dari separo, padahal kepengurusan yang ditinggaltiga nama, dua meninggal dan seorang pasif, perlu segera disegarkan dan secepatnya bergerak menjalankan tugas yang begitu banyak dan mendesak.
”Ini memang murni pengabdian, perjuangan atau ‘pitulungan’. Menjadi pengurus yayasan memang tidak ada apa-apanya. Tetapi, kita semua tidak rela kalau nasib penggunaan Bahasa Jawa di kalangan generasi muda khususnya di sekolah-sekolah, makin memprihatinkan. Dan sekarang, selain Dewan Penasihat, yayasan ini perlu diperkuat Dewan Pakar. Sayang, yang wakil-wakil dari Univet (Sukoharjo), Unwida (Klaten) dan Unes (Semarang) tidak hadir. Jadi, agak kesulitan mengisi bidang itu. Padahal, kita perlu cepat bergerak,” keluh Sri Paminto, guru bahasa Jawa SMAN Cawas, Klaten itu. (won)