Mulai Pukul 19.00 WIB Nanti, Sanggar BSAJ dan Sanggar Pelangi Ngesti Budaya “Beraksi”
SURAKARTA, iMNews.id – Kegiatan pentas seni “Sekaten Art Fest 2023” resmi dibuka Gusti Moeng selaku penanggungjawab kegiatan dalam rangka upacara adat Sekaten Garebeg Mulud 2023, di Pendapa Sitinggil Lor Kraton Mataram Surakarta, Jumat (22/9) tadi malam. Di malam pertama pentas seni yang melibatkan beberapa sanggar tari di luar kraton itu, tampil beberapa repertoar tari klasik khas kraton dan kreasi baru berbasis dari budaya Jawa dari tiga sanggar sekaligus, mulai pukul 19.00 WIB hingga selesai sekitar pukul 21.00 WIB.
Mengawali pembukaan “Sekaten Art Fest 2023”, tampil Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu untuk menyampaikan sambutan singkat sekaligus membuka resmi pentas seni. Abdi-dalem juru suranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo mendapat tugas memimpin doa, sedangkan seorang penari Bedaya Ketawang bernama Debora sebagai dirijen mendapat tugas memimpin semua yang hadir untuk mengumandangkan lagu “Indonesia Raya”. KP Puspitodiningrat dan KP Siswantodiningrat dari staf Kantor Sasana Wilapa mendapat tugas memandu acara pentas.
Dalam sambutan singkat, Gusti Moeng menyebutkan bahwa pentas “Sekaten Art Fest 2023” digelar untuk kali kedua setelah yang pertama tahun 2022 lalu yang juga dalam rangka menyemarakkan penyelenggaraan hajad-dalem Sekaten Garebeg Mulud. Diharapkan, pentas seni dalam rangka pelaksanaan upacara adat Sekaten di tempat terpisah yang berdampingan ini, akan memberi banyak manfaat kepada masyarakat luas, terutama keperluan mengedukasi generasi bangsa terhadap perlunya mengenal, memahami dan ikut memiliki sehingga merasa punya tanggungjawab untuk ikut melestarikan budaya Jawa peninggalan nenek moyang.
Gusti Moeng berulang-ulang menyebut semua yang hadir menyaksikan pentas seni malam itu dengan sebutan “para pandemen” dan “para sutresna” budaya, karena diharapkan dan diyakini semua orang yang datang berkunjung ke Sekaten dan berbagai kegiatan pendukung seperti pentas seni yang digelar Kraton Mataram Surakarta, adalah para pecinta, penggemar dan para (calon) pelestari budaya Jawa. Ungkapan senada, seakan ditetapkan menjadi bahasa resmi untuk menyebut semua hadirin, dan duet “juru pambiwara” yang memandu acara itu selalu mengucapkannya setiap memulai pergantian penyaji/sajian tari.
Disaksikan sekitar 300-an pengunjung Sekaten yang komposisinya campuran antara anak-anak balita, remaja, dewasa dan kalangan orang-tua, malam pertama “Sekaten Art Fest 2023” langsung disajikan sejumlah tarian berturut-turut dari tiga sanggar tari. Yang pertama adalah sajian tari “Pangpung” dari Sanggar Pratama Budaya yang membuka pentas, lalu dilanjutkan dengan sajian tari “Wirataya”, tari “Candik-Ayu” dan tari “Gatutkaca Gandrung”. Satu-satunya sajian dari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta, adalah tari khas rakyat “Gambyong Ayun-ayun”.
Sajian terakhir di malam pertama, semalam, disuguhkan dari Sanggar Amarta, yaitu tari “Melawan Putus-asa”, tari “Lenggang Nyai”, tari “Wonderland” dan tari “Goleks Sri Rejeki”. Para penonton tampak sangat mengapresiasi setiap sajian dengan konsentrasi tinggi, dan terkesan menahan untuk bersuara alias menjaga suasana benar-benar “silent”. Tetapi, ketika ada penari berusia TK di antara para penari yang menyajikan tari kreasi baru, pecahlah suasana hening dan berubah menjadi gelak-tawa, karena melihat tingkah bocah yang menari dengan arah gerakan berkebalikan dari para penari lain yang lebih dewasa.
Media iMNews.id mencatat, suasana patuh dan hormat saat menikmati sajian tari yang serius tanpa ada unsur yang secara spontan lucu, semalam, sungguh mengesankan sebagai generasi masyarakat yang rata-rata awam, tetapi berusaha ingin memahami dan mengormati sajian dan tempat untuk menyajikannya, yaitu lingkungan Kraton Mataram Surakarta. Suasana meriah penonton yang terhitung banyak di malam pentas pertama, semalam, tampak berkebalikan dengan suasana pengunjung saat upacara adat Sekaten resmi dibuka dengan “ungeling gangsa” atau kali pertama gamelan ditabuh, di Bangsal Pradangga Masjid Agung, Kamis (21/9) siang.
Jumlah pengunjung atau penonton kali pertama gamelan ditabuh, Kamis siang itu, sangat mungkin karena saat itu bukan hari libur alias masih jam kerja, karena berlangsung sekitar pukul 13.00 WIB. Yang banyak terlihat justru sejumlah siswa sekolah setingkat SMA/SMK, yang sedang menjalankan kunjungan lapangan sebagai penugasan dari sekolahnya. Meski begitu, secara umum kunjungan masyarakat di saat kali pertama gamelan Sekaten ditabuh, termasuk menurun drastis dibanding antara 5 sampai 7 tahun lalu, apalagi sebelum ada pandemi Corona.
“Kalau benar seperti itu suasana yang tampak saat gamelan Sekaten kali pertama ditabuh, ini berarti penyelenggaraan upacara adat Sekaten butuh perhatian serius. Pentas-pentas seni budaya juga perlu perhatian serius. Di satu sisi, ini memprihatinkan. Di sisi lain, ini adalah ‘keberhasilan gerakan’ memutus memori publik dari budaya dan sejarah masa lalu. Karena, kegiatan-kegiatan di kalangan komunitas-komunitas tertentu dalam masyarakat, semakin diintensifkan. Untuk segala umur, terutama usia anak-anak. Ini jelas memberi dampak pada upacara adat dan kegiatan seni budaya seperti Sekaten,” papar Dr Purwadi menunjukkan sebuah kausalitas berpijak dari suasana di arena Sekaten 2023 itu.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja itu menyatakan prihatin, karena pengunjung gamelan Sekaten ditabuh kali pertama yang tidak banyak itu, sudah tidak kelihatan kalangan ibu-ibu, nenek-nenek dan usia lain yang biasanya berjejal-jejal padat di sekitar Bangsal Pradangga, untuk mendengarkan kali pertama gamelan ditabuh “jenggleng”. Tetapi, dugaan sedikitnya pengunjung Sekaten karena berlangsung pada jam kerja/belajar dna bukan hari libur itu tak sepenuhnya benar, karena Sabtu (23/9) malam nanti mulai pukul 19.00 WIB, Pendapa Sitinggil Lor akan kembali menyajikan pentas tari malam kedua, yang akan disuguhkan oleh Sanggar BSAJ dan Sanggar Pelangi Ngesti Budaya. (won-i1).