Selama 200 Tahun Surakarta Menjadi Ibu Kota “Negara” Mataram (6-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 18, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Banyak Daerah Penyangga, Penghasil Aneka Produk untuk Lokal dan Ekspor

IMNEWS.ID – SEBAGAI ”nagari”, Mataram Surakarta (1745-1945) yang mengambil keputusan dan menentukan letak Ibu Kotanya di Surakarta, ternyata sangat beralasan. Dengan berbagai pertimbangan teknis dan nonteknis serta segala persyaratannya, Ibu Kota ini bisa terbangun nyaris sempurna sebagai pusat peradaban dan berumur panjang sampai 200 tahun, sesuai ramalan Prabu Jayabaya (Raja Kediri-abad 12-Red). Letak dan posisinya sangat mendukung panjangnya usia itu, meski berada jauh di pedalaman.

Meski Surakarta sudah terbentuk layaknya sebagai Ibu Kota negara Mataram, tuntas dan lengkap untuk ukuran waktu itu, bukan berarti semua yang sudah dicapai hingga saat harus berakhir (17 Agustus 1945), mencerminkan karya luar biasa segenap komponen dan elemen peradaban bangsa Jawa pada waktu itu. Bangunan paripurna Ibu Kota waktu itu, disangga oleh jaringan yang sudah tertata sejak lama oleh wilayah-wilayah kabupaten di sekitarnya, dari yang terdekat (eks Karesidenan Surakarta-Red) sampai yang berada di ujung terjauh ”negara” Mataram.

Dalam buku-buku sejarah berdirinya kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur eks wilayah kedaulatan ”negara” Mataram yang disusun Dr Purwadi (Lokantara-Jogja), wilayah-wilayah kabupaten yang sangat jauh dari Ibu Kota Surakarta, ternyata sangat besar andilnya. Wilayah-wilayah kabupaten yang berada di bawah kedaulatan ”nagari” Mataram ini, sudah berjasa menjadi ”hinterland” dan sebagai pemasok kebutuhan Ibu Kota sejak Mataram masih beribukota di Kartasura, bahkan jauh ke belakang lagi sejak Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sebagai raja Mataram (Islam) yang beribukota di Kutha Gede.

Sebagai contoh, kampung Laweyan yang kini menjadi nama kelurahan dan kecamatan, sudah sejak lama tumbuh sebagai kampung/desa yang masyarakatnya memiliki ”home industry” batik. Industri sandang dengan bahan-bahan dan proses produksi secara tradisional itu, adalah bentuk pengembangan pengetahuan dan ketrampilan dari kultur kerajinan batik yang berasal dari Keraton Majapahit, melalui Demak, Pajang hingga Mataram.

Sebuah potensi industri sandang yang terus berkembang memperkuat aktivitas ekonomi Ibu Kota ”nagari” Mataram Surakarta, yang memanfaatkan Kali Sala dan Bengawan Sala dengan tiga pelabuhannya, Beton, Nusupan dan Bathangan, desa/kampung Laweyan makin membentuk diri hingga dikenal dengan ”Kota Saudagar” (Syarikat Dagang Islam-Red). Lahirnya kerajinan batik di desa Laweyan, nyaris sama dengan keberadaan kerajinan perak di Kutha Gede (kini DIY-Red), yang terus didukung pengembangannya oleh tokoh-tokoh Sinuhun Amangkurat saat beribukota di Kartasura.

WILAYAH KEDAULATAN : Bangunan ”kroon” dan gardu bertuliskan ”Kedoe – Soerakarta” dulu merupakan bagian kompleks perkantoran Kabupaten Kedu, kini menjadi bagian keindahan Kota Magelang. Wilayah itu dulu adalah bagian dari kedaulatan ”negara” Mataram yang beribukota di Surakarta (1745-1945). (foto : iMNews.id/dok)

Industri Kuliner dan Kerajinan

Keberadaan kawasan industri ukir kayu di Serenan (kini masuk Kabupaten Sukoharjo-Red), jelas karena jasa-jasa dan peran Sinuhun Amangkurat yang mendukung ekspansi sentra industri ukir dari Jepara di masa kejayaan Ratu Kalinyamat. Kawasan sentra ukir Serenan, hanya berjarak sekitar 10 KM di selatan Ibu Kota negara di Kartasura maupun setelah pindah ke Surakarta, yang kemudian berkembang ke arah barat (Klaten) menjadi ketrampilan teknik pertukangan kayu untuk struktur bangunan.

Di bidang kuliner, terkenalnya aneka masakan atau kuliner seperti nasi liwet dari wilayah (Kecamatan) Baki (Sukoharjo), banyak lagi jenis kuliner yang berbahan beras ketan seperti yang kini dikenal dengan nama ”krasikan”, telah berkembang pesat di wilayah yang dikenal Kabupaten Sukoharjo. Dari sejarah Keraton Mataram Kartasura yang disusun Dr Purwadi, dua contoh kuliner itu disebut secara jelas karena jasa-jasa dan dukungan Sinuhun Amangkurat.

Lahirnya industri kerajinan berbagai macam kuliner yang masih dikenal di wilayah Kabupaten Sukoharjo khususnya, karena banyak warga setempat yang diberi kursus ketrampilan, karena Sinuhun Amangkurat mengundang guru dari luar negeri di antaranya China. Selain kuliner, Keraton Mataram dengan Ibu Kota Kartasura, sangat dikenal dalam membangun fondasi ekonomi kerakyatan di bidang seni kerajinan, mulai dari senjata terutama keris dan tombak, instrumen gamelan, anak wayang kulit dan sebagainya.

”Saya yakin, selain di Desa Wirun (kini masuk Kabupaten Sukoharjo) sebagai sentra industri (instrumen) gamelan, pasti ada ‘besalen’ atau bengkel kerajinan keris. Baik saat Mataram masih di Kartasura, maupun sesudah pindah di Surakarta. Selain sebagai komoditas ekonomi, industri gamelan dan anak wayang di zaman Kartasura juga sangat dikenal pengembangannya dalam seni pertunjukan wayang kulit sangat pesat,” jelas KPP Wijoyo Adiningrat menjawab pertanyaan iMNews.id saat menyaksikan pembukaan event ”Greget Kartasura 2021” di situs eks Keraton Kartasura, beberapa waktu lalu.

Kemudahan industri pangan yang bisa didapat secara melimpah saat Surakarta menjadi Ibu Kota negara Mataram, juga karena semasa Sinuhun Amangkurat (I-IV) di Kartasura, menginisiasi terwujudnya tata air (jasa tirta) untuk memanfaatkan sumber daya alam melimpah berupa sumber air di Pengging (kini Kabupaten Boyolali) dan Tjakra Toeloeng (Cokro Tulung, kini Kabupaten Klaten-Red). Dua sumber air ini, selain dimanfaatkan secara bijak untuk industri pertanian, juga untuk kebutuhan konsumsi (minum) manusia dan segala keperluan turunannya untuk kemakmuran bersama, yaitu dialirkan ke arah timur mulanya ke Ibu Kota Kartasura, kemudian Ibu Kota Surakarta, yang kontur tanahnya memang lebih rendah.

KELENGKAPAN IBU KOTA : Jaringan rel yang tampak terputus itu, sebenarnya terhubung ke gudang tembakau di Gembongan (Kartasura) dari Stasiun KA Purwosari, sebagai sarana transportasi kelengkapan Surakarta Ibu Kota negara Mataram (1745-1945). Tetapi sudah ”dihilangkan” pada rezim Orde Baru.  (foto :iMNews.id/Won Poerwono)

Sarana KA Dinikmati Surakarta

Di wilayah yang kini dikenal dengan Kabupaten Klaten dan memiliki data angka kemiskinan tergolong tinggi sampai tahun 2000-an, bertolakbelakang dengan saat Sinuhun Amangkurat (I-IV) jumeneng di Ibu Kota Kartasura. Karena, dilayah itu dirintis sebagai lumbung beras berkualitas tinggi yang bernama ”Raja Lele”. Produk pangan yang melimpah ini, jelas memanfaatkan kemudahan mendapatkan pasokan pengairan yang benar-benar tertata, hingga kemudian mampu menyuplai pangan secara melimpah ketika Ibu Kota negara pindah ke Surakarta sampai berusia 200 tahun (1745-1945).

Melihat berbagai potensi di sejumlah wilayah yang pernah menjadi wilayah kedaulatan ”nagari” Mataram dan beribukota di Surakarta itu, seakan sudah dirancang tertata untuk menyediakan segala kebutuhan guna memperkokoh dan mengembangkan negara dan Ibu Kotanya, menyongsong perubahan zaman. Maka, tidak aneh ketika rezim pemerintahan Orde Baru selalu ”menghibur” Surakarta dengan sebutan sebagai Kota Budaya dan Kota Bengawan yang ditopang enam daerah ”hinterland” yaitu Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sragen dan Karanganyar dengan segala potensi yang dimiliki.  

Sebagai Ibu Kota negara, Surakarta sudah memiliki organ pemerintahan yang lengkap, misalnya adanya sejumlah banyak pasar yang tersebar di hampir semua wilayah Ibu Kota dan di wilayah luar Ibu Kota. Sampai kini, ada sekitar 200 pasar (tradisional) yang menjadi urat-nadi pergerakan ekonomi ”kerakyatan” masih banyak berfungsi, misalnya Pasar Gede atau Pasar Hardjanagara, termasuk pasar-pasar yang kemudian berada di dalam otoritas Kadipaten Mangkunegaran seperti Pasar Legi.

Untuk lalu-lintas berbagai komoditas terutama pangan dan hasil bumi lainnya dari berbagai wilayah ke Ibu Kota, jelas memanfaatkan aliran sejumlah sungai misalnya Kali Sala dan Pepe (Gajah Putih) yang bertemu ke Bengawan Sala dengan tiga pelabuhannya. Dalam perkembangan, Surakarta sebagai ”Ibu Kota” negara juga dilengkapi sarana transportasi darat yaitu kereta api (KA), yang mulai diinisiasi dan diresmikan oleh Sinuhun PB IX (1861-1893) yang sejak 1945 dinikmati NKRI, terutama warga Surakarta.

Sarana transportasi KA yang menjadi bagian badan usaha negara Mataram, dari Ibu Kota Surakarta terhubung ke berbagai wilayah kedaulatannya (kini di Jateng-Red) hingga jauh ke barat, yaitu di Batavia (Jakarta), dan ke timur (Jatim) sampai ke Surabaya dan Malang, bahkan lebih. Selain untuk mobilitas orang, terutama VOC dan pemerintah kolonial serta sarana koordinasi antara pemerintah negara Mataram dengan wilayah kedaulatannya, jelas dimanfaatkan untuk keperluan lalu-lintas perekonomian.

Meski ditangani sebuah badan usaha swasta, lalu-lintas komoditas tembakau yang dikumpulkan dan diolah setengah jadi di gudang Gembongan (Kartasura), adalah bukti manfaat jaringan sarana transportasi KA yang dimiliki Ibu Kota untuk mengekspor produk tembakau itu ke Bremen, Jerman. Demikian pula, ketika hendak mendistribusikan dan mengekspor gula produk dari PG Tasikmadu (Karanganyar) dan PG Gondang Legi-Klaten), karung goni produk pabrik serat Delanggu dan sebagainya. (Won Poerwono-bersambung)