Masyarakatnya yang Heterogen dan Pluralitas Sudah Ada Sejak Kartasura
IMNEWS.ID – MESKIPUN Surakarta menjadi Ibu Kota negara pindahan dari Kartasura di tahun 1745 berada di pedalaman yang jangkauannya sangat jauh ketika lalu-lintas mobilisasi antar pulau dan benua hanya tersedia di perairan utamanya samudera/laut (iMNews, 9/6), tetapi dari sisi komposisi masyarakatnya sudah heterogen dan latarbelakang sosial budayanya juga sudah plural. Meski ”bangsa” Jawa sudah sangat matang sebagai warga peradaban yang diatur oleh sistem ketatanegaraan Mataram, tetapi bukan berarti homogen sebagai bangsa yang steril dan tidak ada pengaruh dari budaya lain.
Berbagai sumber terutama dari karya penulisan sejarah Dr Purwadi dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Jogja yang mencapai ratusan judul, baik yang sudah dibukukan maupun belum, menyebutkan bahwa sejak Mataram beribukota di Kartasura (1703-1742), datanglah laskar China, orang-orang Persia da n laskar dari Makasar yang dipimpin Kraeng Galengsong, yang sebagian di antaranya berniaga. Di antara mereka sampai juga ke Kartasura dan dalam kurun waktu 40-an tahun itu, dalam waktu terpisah membuat keributan bahkan kudeta, termasuk prajurit yang dipimpin Trunajaya dari ”brang wetan” (Jawa Timur/Madura).
Selepas mejalankan tugas misinya, banyak pihak termasuk sejarawan Dr Purwadi meyakini tidak semua laskar dan prajurit dari berbagai wilayah bahkan lintas benua itu kembali tanpa tersisa. Bahkan, fakta sejarah menunjukkan laskar China yang paling banyak tinggal dan sisanya malah menyebar ke berbagai wilayah terdekat hingga yang sangat luas, untuk mencari penghidupan atau misi ekonomis (perdagangan).
Orang-orang yang tersisa dari bangsa-bangsa yang memiliki kultur sosial berbeda ini, kemudian berinteraksi dengan ”bangsa” Jawa sebagai bangsa asli. Banyak ahli dan sejarawan bahkan para pujangga Jawa menyebut, kelompok masyarakat Jawa bukanlah sekadar suku bangsa, melainkan sudah menjadi satu bangsa berperadaban tinggi yang mapan, punya sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan negara Mataram yang lengkap dan maju untuk ukuran waktu itu. Bahkan punya ”Ibu Kota” negara walau berpindah-pindah dari Plered (Mataram Hindu), ke Kutha Gede (Mataram Islam, bukan Mataram Hindu-Red), kemudian Kartasura dan terakhir pindah ke Surakarta hingga berusia 200 tahun lamanya sampai NKRI lahir di tahun 1945.
Sebab itu, meski Surakarta dijadikan Ibu Kota negara Mataram oleh Sinuhun PB II setelah melakukan persiapan di Ibu Kota ”sementara” selama 3 tahun di Ponorogo (1742-1745), tetapi ciri-ciri masyarakatnya sudah menjadi plural dan heterogen walau letaknya lebih masuk ke dalam sekitar 10-an KM dari Kartasura. Jadi, tidak aneh apabila ada kawasan etnik keturunan Arab di Kecamatan Pasarkliwon, kawasan keturunan China di sekitar Kreteg Gantung yang semula mendominasi kawasan sekitar Pelabuhan Beton, Nusupan dan Bathangan.
Mengutip penjelasan seorang ”dwija” di Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, KRRA Budayaningrat yang juga Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Provinsi Jateng tentang eksistensi tiga pelabuhan di Bengawan Sala wilayah Sanasewu dan di ujung Kali Sala sampai tahun 1900-an itu, menjadi wajar apabila sejak saat Sinuhun PB II atau bahkan sejak zaman Keraton Pajang, di antara masyarakat yang menjadi kawulanya memiliki latarbelakang sosial heterogen yang pluralistik.
Bahkan, selain sisa-sisa prajurit yang dipimpin Trunajaya seusai beraksi demo dengan membakar sebuah pasar di Ibu Kota ”nagari” Kartasura (Dr Purwadi/Lokantara), ada fakta sejarah lain yang mempertegas ciri geterogenitas dan pluralitas kawula di Ibu Kota nagari Surakarta. Karena, dua permaisuri Sinuhun PB IV yang bernama RA Handaya (GKR Kencana I) dan RA Sakaptinah (GKR Kencana II), adalah putri Adipati Tjakraningrat dari Kadipaten Sumenep (Madura) yang tentu punya ciri temperamen khas asalnya, ketika masing-masing datang ke nagari Mataram Surakarta, tentu disertai rombongan ”besan”.
Dengan melihat profil mayarakatnya yang sudah heterogen dan sangat plural karena saling berinteraksi hingga terjadi perkawinan campuran, terlebih sejak awal ada tiga pelabuhan itu, ada sebuah kehidupan yang lahir dari aktivitas para pekerja di pelabuhan, kehidupan itu yang mendorong interaksi sosial dalam intensitas tinggi. Karena, selain ada sebuah kehidupan prostitusi Silir dan komunitas ”Mbarongan” yang dipersepsikan sebagai komunitas para ”kuli dan preman”, di seberang Bengawan Solo ada sebuah desa yang bernama Cangkol (Bekonang), yang dikenal memproduksi minuman (berkadar alkohol tinggi) bernama”ciu” (arak) untuk menyuplai permintaan komunitas ”Mbarongan” dan Silir.
Profil peta sosial seperti itu, tentu juga tidak lepas dari pengaruh budaya yang dibawa orang-orang VOC kemudian tentara Belanda dan aparatur pemerintahan kolonial Belanda, juga orang-orang India yang pernah menjadi anggota tentara Gurka, keturunan Pakistan dan mungkin masih banyak lagi. Profil sosial kemasyarakatan seperti itu, bisa menjadi cermin tentang berbagai peristiwa yang sering terjadi di Ibu Kota selama 200 tahun itu, dan kemudian menjadi pemicu ketika zaman berkembang dengan aneka ragam ideologi yang kemudian dijadikan sikap politik dan berpolitik, baik di masa-masa menjelang NKRI lahir, maupun setelah status ”Ibu Kota negara” itu tercerabut dan tereliminasi begitu saja.
Data-data di atas tentu akan mempermudah untuk mengidentifikasi ciri-ciri sosio-antropologis dan latarbelakang sosial masyarakat ”bangsa Jawa” di ”negara” Mataram Surakarta yang sudah eksis selama 200 tahun. Pendekatan ciri-ciri sosio-antropologis itu juga mempermudah untuk mengidentifikasi gejala dan peristiwa yang bisa mendijadi alasan lahirnya jargon Surakarta ”Kota Bersumbu Pendek”.
Sekaligus bisa untuk menjawab pertanyaan mengapa jargon itu selalu dimunculkan dan begitu mencuat di masa rezim Orde Baru?. Apalagi, ketika ideologi komunis dan aliran-aliran Islam garis keras, mulai masuk dan berkembang di Nusantara, merembes ke ”negara” Mataram Surakarta hingga NKRI lahir yang disertai banyaknya peristiwa (kejahatan kemanusiaan-Red) terjadi waktu itu. Apakah ciri-ciri sosio-antropologis berupa heterogenitas dan pluralitas kawula Mataram di Ibu Kota negara Surakarta itu ada hubungannya dengan jargon itu?
Namun sayangnya, contoh-contoh peristiwa yang mencerminkan ciri-ciri sosio-antropologis dan perkembangan sosial budaya yang dibawa para pendatang seperti itu, yang justru dijadikan stigma negatif oleh pihak-pihak tertentu terhadap kebesaran Surakarta sebagai Ibu Kota ”negara” Mataram Surakarta. Sehingga, berbagai potensi, berbagai sumber dan berbagai fakta yang menjadi keniscayaan sebuah kebesaran Ibu Kota ”negara” secara lengkap dan banyak juga sisi positifnya, seakan runtuh begitu saja dan hendap dihapus begitu saja hingga nyaris dianggap tak bermakna bagi kehidupan sesudah 17 Agustus 1945.
Padahal, ada sangat banyak fakta yang seharusnya bisa dijadikan modal untuk membangun stigma positif, sehingga warga bangsa di NKRI memiliki sebuah kebanggaan yang meyakinkan dan bisa dipamerkan kepada publik secara luas di dunia ini. Karena, negara Mataram Surakarta yang usianya sudah 200 tahun, termasuk Mataram-mataram sebelumnya terutama ketika menyebut Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, sudah lebih dulu dikenal dunia dan menjadi kiblat secara utuh, komplet dan komprehensif serta sangat fundamental bagi para penerusnya ketika mendirikan dan mengembangkan negara Mataram Kartasura, apalagi Mataram Surakarta yang beribukota di Surakarta Hadiningrat.
”Itulah perjalanan sejarah. Tak ada manusia yang bisa mengkreasi liku-liku perjalanan itu. Semua adalah kehendak Sang Pencipta. Kota Jogja ‘ndilalah’ dianggap berjasa karena dipilih sebagai Ibu Kota kedua setelah Jakarta oleh Presiden Soekarno. La kok Tan Malaka memilih Surakarta sebagai basis kekuatan gerakan oposisinya terhadap pemerintah. Itu ‘kan namanya juga ndilalah, yang menjadikan Surakarta kurang beruntung. Yang bikin tidak enak, stigmna-stigma negatif terhadap bekas Ibu Kota negara Mataram Surakarta yang lahir, terutama setelah 17 Agustus 1945. Tetapi, saya yakin tidak selamanya demikian. Apa yang menjadi kebenaran, kelak pasti akan muncul ke permukaan,” ujar Dr Purwadi ketika ngobrol dengan iMNews.id di Stasiun KA Balapan, Solo, menjelang kepulangannya ke Jogja, belum lama ini. (Won Poerwono-bersambung)