Ada Dugaan Dijarah Lebih Dulu Sebelum Dihancurkan

  • Post author:
  • Post published:April 17, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:5 mins read

Banyak Dokumen Bermunculan, Terutama yang Menyangkut Status Aset Tanah

SOLO, iMNews.id – Sejak peristiwa terbakarnya kompleks pusat pemerintahan Keraton Mataram Surakarta di Kepatihan tahun 1949, pihak otoritas setempat yang dipimpin Sinuhun PB XII sampai akhir hayat (2004) belum pernah memberi pernyataan untuk mengadakan investigasi untuk mengungkap secara pasti penyebab hancurnya pusat kegiatan eksekutif Keraton Surakarta Hadiningrat itu. Begitu pula, situasinya seakan menjadi buntu hingga nyaris tak ada kalangan intelektual kampus yang berinisiatif untuk menulis dan menyusun buku secara khusus tentang eksistensi pusat pemerintahan itu, yang bisa disajikan dalam komparasi sebelum dan sesudah memasuki masa republik (NKRI)

”Ya, kesannya kita semua seakan dilupakan. Dan lenyapnya eksistensi kepatihan yang pernah menjadi bagian penting perjalanan sejarah Keraton Mataram Surakarta dari 1745 hingga 1949, seakan lewat begitu saja. Publik secara luas dan termasuk masyarakat adat mulai generasi kedua setelah Sinuhun PB XII, rata-rata terkesan tidak tahu/paham bahwa ada bagian penting dari bekas negara atau ”nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat ini telah hilang,” ujar Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.

Meski kesadaran tentang hilangnya bagian penting dari satu-kesatuan lembaga negara/nagari itu mulai bermunculan di kalangan masyarakat, namun diakui pihaknya tidak punya berencana untuk mengagendakan bentuk-bentuk upaya ke arah pengungkapan secara lengkap tentang latarbelakang penyebab hancurnya kompleks Kepatihan. LDA baru sebatas mencatat, bahwa ada aset-aset yang masih bisa diselamatkan dari kehancuran kompleks Kepatihan, di antaranya yang diyakini hingga kini masih tersimpan di Museum Radya Pustaka di kompleks Kebon Raja atau Taman Sriwedari.

Mengenai rincian aset-aset yang tersimpan di kompleks Kepatihan saat dihancurkan oleh berbagai dugaan di tahun 1949 itu, menurut Ketua LDA yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu secara lengkap belum mendapat data-datanya. Tetapi, ada sejumlah barang dari masing-masing jenis dari aset kompleks Kepatihan, yang dihibahkan Sinuhun PB XII kepada Presiden Soekarno sebelum kompleks Kepatihan ”dihancurkan” pihak-pihak yang hingga kini masih menjadi misteri dan menimbulkan berbagai spekulasi itu.


”Ya, seperti yang ada dalam daftar yang disebut dalam buku karya mas Dr Sri Juari Santosa itu. Artinya, di satu sisi kehancuran Kepatihan memang perlu diungkap sejelas-jelasnya. Di sisi lain, kami pengin tahu data-data aset di Kepatihan itu secara lengkap seperti apa? Dan di sisi lain lagi, Keraton Surakarta telah menghibahkan berbagai jenis barang untuk keperluan untuk kegiatan perkantoran Presiden, saat Ir Soekarno memulai tugasnya berdinas di Istana Negara. Itu fakta yang tidak bisa dihapus,” tandas Pengageng Sasana Wilapa Keraton Mataram Surakarta (tahun 2004-sekarang) itu.

NYARIS TERTUTUP : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito berdiri di depan kagungandalem Masjid Kepatihan yang nyaris tertutup dan tidak kelihatan jika dilihat dari jalan besar. Di depan dan sekitarnya sudah penuh bangunan baru, padahal tanah bekas kompleks Kepatihan belum pernah dihibahkan atau dilepas dari tanah adat kepada siapapun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sementara itu, sejarawan dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Jogja, Dr Purwadi di tempat terpisah menuturkan, kini sudah waktunya misteri-misteri sejarah masa lalu yang telah mengantar lahirnya NKRI perlu dibuka, salah satunya melalui penelitian ilmiah. Dan kehancuran kompleks perkantoran pusat pemerintahan Kepatihan perlu diteliti secara komprehensif, agar menjadi bahan edukasi bangsa ini dan demi kebaikan masa depan bangsa.

Menurut abdidalem Pakasa Cabang Jogja itu, eksistensi lembaga Kepatihan sebagai pusat pemerintahan eksekutif, merupakan tradisi pemisahan kekuasaan yang dimulai sejak Sinuhun PB II (1726-1749). Tradisi pemisahan kekuasaan yang dirintis PB II itu, ketika patihdalem dijabat KRA Pringgalaya. Hingga memasuki alam demokrasi, patihdalem yang berkantor di kompleks Kepatihan (kini Kelurahan Kepatihan Wetan-Red), sampai 17 nama, terakhir dijabat KRMT Wuryaningrat (1946-1947).

Dalam buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” yang ditulis seorang intelektual UGM, Dr Sri Juari Santosa (tahun 2002), menyebut patihdalem Drs KRMA Sasradiningrat V (1926-1945) pada 17 Oktober 1945 telah diculik gerombolan yang dipimpin Slamet Wirosoemitro, yang menurut Dr Purwadi adalah laskar perlawanan rakyat pimpinan Suradi Bledheg, pengikut Tan Malaka. Patihdalem Drs KRMA Sasradiningrat V, adalah saksi sejarah saat Keraton Surakarta ikut mendirikan NKRI pada 17/8/45.

”Jadi, keberadaan kompleks perkantoran Kepatihan Keraton Surakarta Hadiningrat, telah membuktikan banyak hal, andil dalam banyak hal, memberikan banyak hal positif bagi banyak pihak, khususnya NKRI. Jadi, peristiwa kehancurannya, saya lebih setuju dengan spekulasi akibat ulah Suradi Bledheg dkk dari Merapi-Merbabu Complex. Yang jelas, saya merasa dirugian sekali akibat lenyapnya kompleks pusat pemerintahan Kepatihan Surakarta,” papar Dr Purwadi. (won)