Ditandai Dengan Penetapan GKR Ayu Sebagai Ketua Sanggar Menggantikan yang Lama
SURAKARTA, iMNews.id – Dinamika perjalanan “Sanggar Pawiyatan Paes & Tata-Busana Pengantin Jawa” gagrag Kraton Mataram Surakarta, sudah terasa membuat goncangan walau baru empat tahun berjalan sejak tahun 2021. Goncangan itu bahkan sampai berujung keluarnya keputusan untuk mengganti ketua sanggar yang lama, karena diduga melanggar etika kategori berat.
Melalui momentum upacara wisuda lulusan sanggar “babaran” (angkatan) ke-4 tahun 2024, GKR Ayu Koes Indriyah ditetapkan sebagai “Pangarsa” sanggar yang baru untuk menggantikan yang lama. Penetapan itu diumumkan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, di Bangsal Smarakata, Senin (7/10) siang tadi.

Dalam pidato sambutan tunggal Gusti Moeng selaku Pangarsa Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan di acara itu, siang tadi, tidak dijelaskan alasan penonaktifan ketua sanggar yang lama. Tetapi data yang diperoleh iMNews.id menyebutkan, tindakan itu diduga akibat pelanggaran kode etik kategori berat, sebagai akumulasi sejumlah pelanggaran yang terjadi sebelumnya.
Gusti Moeng hanya menyebutkan, bahwa di dalam lembaga sanggar telah terjadi masalah internal. Tetapi, masalah itu tidak segera diselesaikan dengan baik di lingkungan internal saja, melainkan bisa keluar di ruang publik sehingga menjadi konsumsi publik. Cara penyelesaian masalah seperti ini, tidak baik dan bisa mengganggu kinerja maupun nama baik lembaga.

“Oleh sebab itu, mulai saat ini, GKR Ayu Koes Indriyah kami tetapkan sebagai Pangarsa sanggar yang baru, untuk menggantikan yang lama. Saya titip agar sanggar ini dirawat dengan baik, tujuan utama bisa berjalan lancar dan semakin memberi manfaat lebih besar kepada masyarakat luas. Kalau ada permasalahan, sebaiknya cepat diselesaikan di internal”.
“Sekarang, kita sudah bisa memenuhi harapan masyarakat yang ingin belajar ketrampilan dan pengetahuan paes dan tata-busana pengantin Jawa gagrag Surakarta. Ini berarti, kraton sudah bertambah lembaga sanggarnya yang tidak semata-mata untuk pelestarian budaya Jawa. Tetapi juga bisa memberi manfaat secara ekonomi,” ujar Gusti Moeng dalam sambutannya.

Dalam sambutan itu, juga diungkapkan Gusti Moeng bagaimana dirinya merintis Sanggar Pawiyatan Beksa mulai tahun 1970-an, karena di saat itu kraton benar-benar mengalami krisis penari Bedhaya Ketawang. Kemudian disusul dengan lahirnya Sanggar Pasinaon Pambiwara di tahun 1993, yang kini sudah menghasilkan lulusan 4 ribuan pada “babaran” (angkatan) ke-41.
Menyinggung soal paes dan tata-busana pengantin Jawa gagrag Surakarta, menurutnya memang hanya ada di gaya Surakarta tempatnya dan di Kraton Mataram Surakarta asalnya. Karena, pengantin yang dimaksud gagrag Surakarta mengenakan “paes” dan “dodot basahan”, itu sebenarnya berasal dari persyaratan bagi para penari Bedahaya Ketawang yang hanya ada di kraton.

“Jadi, gaya Mangkunegaran itu sebenarnya tidak ada. La wong sama dengan asalnya, yaitu paes penari Bedhaya Ketawang. Begitu juga dodot basahan yang dikenakan. Karena semua itu asalnya dari penari Bedhaya Ketawang, padahal hanya ada di Kraton Mataram Surakarta, maka memang betul sebenarnya pengantin Jawa itu sumbernya dari kraton,” papar Gusti Moeng.
Dalam kesempatan wisuda saat itu, jalannya penyerahan sertifikat dan pengalungan samir masing-masing oleh Gusti Moeng dan Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah), berlangsung singkat, karena jumlah lulusan hanya 14 orang. Upacara itu, diawali dengan sajian tari “Adaninggar-Kelaswara” dan ditutup dengan foto bersama, termasuk dengan para “dwija” sanggar. (won-i1)