Kerajinan Gamelan dan Unsur Nilai Ekonomis
IMNEWS.ID – DI balik unsur tak (bukan-Red) benda atau sesuatu yang tidak bisa diraba (intangable) musik etnik gamelan, masyarakat peradaban di Indonesia khususnya Jawa, punya sudut pandang lain ketika melihat gamelan. Sudut pandang ini tentu berbeda dengan Unesco atau bangsa-bangsa di dunia yang mulai menyukai gamelan sebagai musik universal, kemudian ingin mempelajari dan memiliki wujud bendanya.
Memang ada perubahan seiring perkembangan zaman, yang menempatkan gamelan sebagai alat atau sarana bahkan bagian penting dari upacara adat pada zaman Kraton Mataram Surakarta (1745-1945) bahkan hingga kini, atau pada zaman Mataram sebelumnya. Sudut pandang itu dari sisi pemakai dan pemiliknya, yaitu lembaga masyarakat kraton, yang tentu tidak menggunakan pendekatan disiplin ilmu/pengetahuan musik dengan segala kaidah persyaratannya ketika menggunakan.
Musik etnik gamelan lambat-laun melahirkan nilai manfaat sebagai ilmu/pengetahuan, ketika lahir lembaga pendidikan formal hingga perguruan tinggi seni semisal Institut Seni Surakarta (sejak STSI-Red), yang memang banyak mengurusi gamelan dari sudut ilmu dan disiplin pengetahuan. Dari situlah, secara tidak langsung ikut menegaskan adanya unsur lain selain “intangable”, yaitu nilai ekonomis yang masuk ranah unsur “tangable” gamelan.
Diproduksi Massal
Meski ada unsur nilai ekonomis dalam seni musik gamelan, tetapi unsur “intangable” yang berupa nilai estetis tetap melekat di situ, bahkan menjadi bagian yang menentukan tinggi-rendahnya nilai ekonomis. Berdasar unsur nilai estetik fisik kebendaannya yang melahirkan nilai ekonomis, gamelan punya kedudukan yang sama dengan keris dan produk tosan aji lain, batik, wayang (kulit) dan reog (Ponorogo) yang sudah lebih dulu diakui Unesco, termasuk juga Candi Borobudur yang letak nilai ekonomis jauh berbeda.
Sama-sama sebagai produk budaya Jawa, secara kebendaan gamelan memiliki karakter estetik yang mirip dengan keris dan karya kriya tosan aji lainnya, juga wayang kulit. Topeng sebenarnya memiliki ciri keragaman khas Indonesia yang punya karakter estetik dan nilai ekonomis, tetapi mungkin ada bangsa lain yang juga memiliki kekhasannya, sedangkan batik bila merujuk ke patron-patron asli sesuai ciri kekhasan sejumlah daerah di Indonesia, sangat layak diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia yang ada di Indonesia.
Dalam perkembangannya, produk seni melukis bermotif batik bisa berkembang menjadi industri masal karena konotasinya identik dengan busana, apalagi ketika dikembangkan dengan sentuhan fashion, bangsa-bangsa di dunia berlomba-lomba untuk memiliki dan mengenakan tiap trend fashion batik baru diciptakan. Sangat berbeda dengan keris yang lebih dekat konotasinya dengan pelengkap busana adat atau barang berharga bersifat pribadi, apalagi dengan gamelan yang terdiri dari beberapa bagian dalam satu unit atau satu kesatuannya, bahkan punya multi fungsi melekat.
Spesialis Plencon
Karena sifat-sifat, karakter dan keterbatasannya dalam wujud benda (tangable), gamelan punya kemiripan pada rumitnya proses pembuatan hingga tidak bisa diproduksi secara massal, seperti keris atau bahkan batik. Sejak zaman Mataram sampai Surakarta sekalipun, apalagi sejak kraton-raton di Jawa sebelum Mataram, sangat sedikit pusat kerajinan atau “besalen” yang memproduksi gamelan. Rata-rata, diproduksi “besalen” yang atas nama tokoh perorangan, tetapi di bawah otoritas “negara”, mirip BUMN.
Selain di Madiun (Jatim) dan Wirun, Mojolaban (Sukoharjo/Jateng) yang hingga kini masih terus berproduksi, sepertinya sudah tidak ada lagi “besalen” gamelan Jawa di wilayah yang sangat luas di Jateng, Jatim dan DIY, karena gamelan Sunda semacam Degung ada “besalennya” sendiri di wilayah Jawa Barat (Jabar). Besalen di Wirun dan Madiun, hingga kini masih beroperasi, bahkan tergolong tak pernah sepi dari pesanan, mengingat gamelan Jawa sudah menjadi musik universal yang dimiliki bangsa-bangsa di Eropa, Amerika, Australia dan Jepang.
“Sampai Sinuhun PB X, Kraton Mataram Surakarta punya besalen gamelan sendiri di kampung (kini Kelurahan-Red) Kemlayan (Kecamatan Serengan). Empu gamelan yang terkenal di situ bernama RL Sastrawidata. Jejak tempat ‘pandhe gangsa’ di kampung itu sudah tidak ada, karena kini menjadi pemukiman. Di Kampung Nonongan (Kecamatan Pasarkliwon-Red), dulu ada ‘pandhe gangsa’ bernama Ki Demang Nongnong, abdidalem spesialis pembuat gamelan yang punya ‘plencon’ seperti kenong dan bonang. Dalam data manuskrip disebutkan, besalen Nonongan itu yang membuat gong Kanjeng Kiai Kumitir, atas permintaan Sinuhun PB IV,” jelas Dr Joko Daryanto yang diwawancarai iMNews.id, kemarin.
Pandhe Gangsa
Bengkel kerajinan gamelan atau “besalen” yang di ada dibawah otoritas Kraton Mataram Surakarta dengan sebutan abdidalem “pandhe gangsa” tentu tidak seberuntung sekarang, ketika dunia memasuki zaman industrialisasi yang menjalankan kaidah-kaidah ekonomi semakin maju. Keberadaannya tidak termasuk menjadi pertimbangan Unesco ketika menetapkan gamelan sebagai warisan budaya dunia tak benda yang ada di Indonesia, tetapi secara riil ikut terangkat atau terlibat hingga kalangan pengrajinnya ikut menikmati rezeki akibat adanya nilai ekonomis yang terbawa dalam musik etnik gamelan.
Tak hanya para pengrajinnya yang mendapatkan rezeki akibat gamelan menjadi musik universal, kalangan seniman secara individu juga ikut menikmatinya, seperti halnya seniman dalang terkenal semisal Ki Manteb Soedarsono (alm), Ki Purbo Asmoro, Ki Anom Suroto dan sebagainya. Tokoh-tokoh dalang wayang kulit purwa yang menonjol itu, memang terkenal luas nama besarnya dan sukses secara ekonomi karena profesinya sebagai dalang wayang kulit, tetapi sukses yang didapat terutama secara ekonomi, karena ada unsur penyerta musik etnik gamelan.
“Ya, saya mengakui, gamelan bisa menjadi musik dunia, itu luar biasa. Kalau melihat nilai kekaryaan, manfaat dan ekseklusivitasnya serta riwayat gamelan yang sudah lama sekali mendunia, memang harus begitu. Harus diakui dunia (Unesco-Red). Karena saya sudah lama mendengar gamelan diusulkan ke Unesco, maka tahun lalu saya menciptakan lakon wayang kulit ‘Dumadine Gamelan’. Lakon itu saya pentaskan di rumah (Sanggar Mayangkara-Red), melibatkan 100 seniman karawitan. Kolaborasi antara gamelan Jawa, Bali dan Telempong (Minang-Sumbar). Itu bisa dipandang sebagai dorongan sekaligus ungkapan rasa syukur saya atas pengakuan Unesco,” jelas Ki Purbo Asmoro, yang dihubungi iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung/i1)