Ketika Politik Kepentingan Masuk ke Dalam Proses Pergantian Tahta
IMNEWS.ID – “PERSAINGAN” dalam proses alih kepemimpinan di Ktaron Mataram Surakarta tampaknya akan berlangsung panjang. Meskipun sudah jelas ada garis pembatas yang bisa ditimbang-timbang secara rasional dan muncul pilihan yang tepat, tetapi dalam kancah “persaingan” ini rupanya sudah tidak menggunakan akal sehat dan pertimbangan rasional. Karena, ada pihak yang ingin pragmatis, bahkan “ampyak awur-awur”.
“Ampyak awur-awur” adalah terminologi suasana perang yang terjadi dalam dunia seni pedalangan (wayang kulit). Perang model ini sudah tidak mengindahkan tatacara dan aturan perang. Mungkin tidak dengan mata gelap atau “mana-hadap” di medan laga, tetapi rekasaya dan siasat di “luar ring” atau di luar medan laga pasti dilakukan dengan tujuan untuk mendapat kemenangan atau mengalahkan pesaing atau musuhnya.

Mudah-mudahan tidak sampai “menghalalkan segala cara” atau seperti penganut “machiavellian”, tetapi sekelompok pesaing yang terbiasa menggunakan cara pragmatis, garis batasnya tipis sekali dibanding kelompok “machiavellism”. Beberapa indikator yang menunjukkan fakta-fakta itu sudah terbukti dijalankan, dalam rangkaian peristiwa yang sudah dipersiapkan dan dilakukan dari waktu ke waktu sejak lama.
Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 4 – bersambung)
Karena terbentur oleh keterbatasannya sendiri, maka tahap yang dijalankan pada Sabtu (15/11) di Pendapa Sitinggil Lor itu, tentu tak terarah. Sebagai ekspresi protesnya, akan menempuh jalur hukum. Padahal, sejak awal KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS), lebih dulu berencana menempuh jalur hukum atas hal-hal yang dianggap memenuhi perbuatan melawan hukum.

Bila benar akan menempuh jalur hukum, melihat kemungkinannya akan menempuh waktu panjang. Dan itu belum tentu dimaksudkan sebagai bentuk penyelesaian atas masalah yang sedang dihadapi, yaitu siapa yang berhasil “memenangkan pertarungan” melalui proses hukum dan dibenarkan secara hukum sebagai Sinuhun PB XIV. Kalau benar proses hukum menjadi “penentu” tahta, berarti sudah tidak membutuhkan “paugeran adat”.
Meski begitu, perlu dirunut riwayat dalam perjalanan pergantian tahta yang pernah terjadi di tahun 2004. Menurut KPH Raditya Lintang Sasangka memang tidak berulang unsur tokohnya, karena memang sudah bukan “orang lama” yang bersaing. Tetapi akibat Sinuhun PB XIII wafat, peristiwa pergantian tahta berulang dan kembali menampilkan “Raja Kembar” antara Sinuhun PB XIV Hangabehi dan KGPH Purubaya (adiknya).
Pada pergantian tahta di tahun 2004 yang diwarnai “ontran-ontran” Raja Kembar, menempatkan “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng sebagai pihak yang menghadapi “pesaing”. Karena dukungan yang diberikan kepada KGPH Hangabehi sebagai Sinuhun PB XIII waktu itu semata-mata untuk menjalankan konstitusi Dinasti Mataram, “tata-nilai paugeran adat”, maka tempat untuk itu jelas ada di dalam kraton.
Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 3 – bersambung)
Sementara, pesaingnya yang menobatkan diri sebagai Sinuhun PB XIII di luar kraton, tentu sulit disebut punya komitmen menjalankan pranatan-adat peninggalan leluhur, Dinasti Mataram. Gagasan mencalonkan diri di luar haknya, jelas tabu dan melanggar paugeran adat. Apalgi, ide itu datang dari anak lelaki urutan kesekian, padahal aturannya putra lelaki pertama, yaitu KGPH Hangabehi, karena tidak ada “prameswari”.

Pengalaman Gusti Moeng bersama segenap jajaran Bebadan Kabinet 2004 dan semua elemen masyarakat adat konsisten “ngrungkebi” paugeran adat, jelas didukung oleh berbagai pihak internal dan eksternal yang masih punya penalaran waras. Yaitu bernalar waras untuk bisa membeadakan antara yang benar-benar berjalan sesuai tatanan “paugeran adat”, dengan yang mengandalkan ambisi nekat dan dukungan “kekuasaan”.
Tetapi, memang tidak selamanya sikap konsisten dan punya komitmen untuk selalu berjalan lurus sesuai aturan, selalu mendapat semua yang diharapkan dan keenakan. Sebuah kekuatan yang bisa disebut “musibah” (cobaan) dari Sang Khalik, bisa menimpa siapa saja, walau tidur lelap di dalam rumah berdinding beton. Cobaan “insiden mirip operasi militer 2017” itulah, yang pernah “menjebol” dinding “pertahanan adat”.
Hanya kekuatan yang bersekutu dengan “pengkhianatan” di antaranya 2 ribu personel polisi dan 4 ratus personel tentara, pada April 2017 yang “berani” dan “bisa” menjebol tembok pertahanan “paugeran adat”. Sungguh kekuatan yang luar biasa dan pantas disebut “sedang kesetanan” bila tidak boleh disebut “tidak beradab”, yang mampu dan tega “menginjak-injak” segala kemuliaan yang ditinggal para leluhur di kraton.
Kini, peristiwa pergantian tahta sedang berulang dan kebetulan muncul pula gagasan bersaing dari seorang adik, untuk merebutnya. Di luar kawasan sakral inti kraton, jumenengan Sinuhun PB XIV sudah dilaksanakan dan dilanjutkan kirab keliling rute lingkar luar kraton, untuk “mendapatkan dukungan”. Pendapa Sitinggil Lor jelas bukan Pendapa Sasana Sewaka, yang selalu menjadi syarat munculnya seorang raja “beradab”.

Dalam peristiwa pergantian tahta yang diwarnai wujud dinamika yang kurang lebih hampir sama, Gusti Moeng dan semua jajarannya yang dipimpin kembali mendapat ujian. Posisinya juga masih sama, Bebadan Kabinet 2004 dan semua elemennya menjaga “pertahanan adat” di dalam kraton. Walau komposisi potensi kekuatan agak berbeda, tetapi potensi ancaman pesaingnya hampir sama, ingin menjebol “pertahanan adat” dari luar.
Baca Juga : Sinuhun PB XIV Langsung Jumatan di Masjid Agung, Sampai Genap 7 Jumat Mendatang
Dengan mencermati peta kekuatan para pendukung “paugeran adat” yang sedang “menjaga” tahta di dalam kraton di satu sisi, lalu bagi pihak pesaing yang hendak “berkhianat” dan “menginjak-injak” paugeran adat di sisi lain, kini semakin jelas posisinya. Inilah pengalaman yang patut didalami bagi masyarakat adat yang pernah terlibat di tahun 2004, dan menjadi pengalaman baru bagi yang belum lama bergabung.

Bagi masyarakat adat yang baru beberapa tahun bergabung di elemen Pakasa cabang dan Putri Narpa Wandawa cabang di berbagai daerah, tak perlu menjadikan peristiwa yang muncul di sekitar pergantian tahta di Kraton Mataram Surakarta, sebagai sebuah cacat adat dan sosial yang memalukan. Terimalah peristiwa yang sedang terjadi ini sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan, yang kapan saja bisa muncul dan biasa.
Karena dalam wajah kehidupan apa saja, bahkan dalam organisasi yang bercirikan religi, sebuah persaingan untuk mendapatkan “kekuasaan” pasti terjadi. Terlebih, ketika berbagai kepentingan dilatarbelakangi unsur politik atau sebaliknya, bercampur-aduk di dalam persaingan itu, pasti akan ada yang menghalalkan segala cara untuk memenangkannya. Hal seperti itulah yang kembali terjadi dalam pergantian tahta, kini. (Won Poerwono – bersambung/i1)





