“Seandainya KGPH Purubaya “Benar-benar Sebagai “Putra Mahkota”, Maka…”
IMNEWS.ID – DALAM seri artikel sebelumnya (iMNews.id, 12/11/2025), bahkan sebelumnya, sudah ada penjelasan dari beberapa pihak yang layak dipahami “dalil-dalil” yang disampaikan perihal proses untuk mencapai “tahta” di Kraton Mataram Surakarta. Bahkan, dicontohkan bagaimana seseorang para tokoh leluhur Dinasti Mataram ketika disiapkan hendak menuju “tahta” tertinggi itu, banyak persyaratan harus dimiliki.
Kalau sebelumnya ada aspek konsep “bangunan” kraton yang harus dipahami, memang menjadi bekal seorang calon pemimpin atau Sinuhun Paku Buwana (PB) dalam dalam memaknai dan memuliakan sebagai pusaka yang harus dirawat semua generasi keturunannya. Sedang konsep “tahta” dan “Ratu”, lebih terarah pada kualitas (bibit, bobot, bebet) dan kesiapan figur tokoh calon bersangkutan yang akan tampil menjadi pemimpin.

Beberapa hal penting di atas itulah yang belakangan ramai diperbincangkan khalayak, karena berbagai informasi soal itu diunggah melalui platform pribadi media sosial. Dari sana, dilukiskan “pertarungan” antara dua kandidat Sinuhun Paku Buwana (PB) XIV sedang terjadi. Termasuk, tahapan-tahapan peristiwa adat yang mereka lalui, misalnya “jumenengan” di Sitinggil Lor yang dilanjutkan kirab sore hari ini.
Baca Juga : Sinuhun PB XIV Langsung Jumatan di Masjid Agung, Sampai Genap 7 Jumat Mendatang
Tetapi, upacara “jumenengan” Sinuhun PB XIV itu dilakukan KGPH Purubaya. Tokoh yang disebut-sebut sebagai “putra mahkota” yang mendahului dinobatkan sebagai “Adipati Anom” di bulan Februari 2025, lalu menobatkan diri sebagai PB XIV di depan peti jenazah “ayahnya” (PB XIII), 5 November 2025 (iMNews.id, 5/11). Sabtu (15/11) hari ini tadi, adalah upacara “jumenengan” di Pendapa Sitinggil Lor, lalu kirab.

Dalam upacara adat “jumenengan” itu, sempat “disaksikan” Gusti Moeng dan banyak pejabat jajaran Bebadan Kabinet 2004 yang siang itu berkumpul “ngobrol” di tempat biasanya, Bangsal Smarakata. Berlangsungnya upacara itu, hanya disaksikan kalangan keluarga dekat pendukung KGPH Purubaya. Ada KGPH Dipokusumo yang mengaku “Pengageng Parentah Kraton”, KGPH Benowo dan “sang ibu” yang mengaku “GKR”, Asih Winarni.
Kalangan suadara dekat tokoh menobatkan diri, tentu ada, mulai GKR Timoer Rumbai, GRAy Devi Lelyana Dewi, GRAy Ratih. Sementara GRAy Putri Purnaningrum yang masih seibu dengan KGPH Hangabehi, sekilas juga tampak di situ. Seperti yang dijelaskan di kraton sebelumnya (13/11), Maha Menteri KGPH Tedjowulan tidak akan hadir, karena punya agenda ke Hongkong. “Maka”, kalangan pejabat pemerintahpun tak ada yang hadir.

Sementara itu, setelah KGPH Hangabehi menjalani upacara adat menjadi calon Sinuhun PB XIV dan mendapat restu dari kalangan “sesepuh” seperti Maha Menteri KGPH Tedjowulan dan GPH Suryo Wicaksono (iMNews.id, Kamis (13/11), langsung menjalani syarat shalat Jumatan di Masjid Agung. Setelah shalat kali pertama dari syarat sampai 7 Jumat dijalani Jumat (14/11) untuk kali pertama, tak ada agenda KGPH Hangabehi.
Hal penting sudah dijalani KGPH Hangabehi dalam upacara adat dan “musyawarah agung” disaksikan kalangan “sesepuh” dan “pinisepuh”, (Kamis, 13/11) itu, dimaknai kalangan yang hadir sudah sah sebagai Sinuhun PB XIV. Walau KGPH Tedjowulan menerbitkan klarifikasi pada konferensi pers yang digelar di Sekretariat Maha Menteri, Kamis malam (13/11), tetapi peristiwa Sasana Handrawina adalah “restu” untuk Sinuhun PB XIV.

“Restu” memang tak bisa berdiri sendiri atau mewakili dari segala syarat yang harus dipenuhi seorang calon Sinuhun Paku Buwana, terutama dalam konteks saat ini. Karena selain Maha Menteri Tedjowulan, ada beberapa tokoh dari putra/putri-dalem Sinuhun PB XII yang memberi restu. Dan yang melengkapi serta menentukan sebagai calon Sinuhun PB XIV, adalah syarat keputusan “musyawarah agung” dan upacara adatnya.
Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 2 – bersambung)
Walau sudah bisa disebut (dimaknai) sebagai Sinuhun PB XIV, KGPH Hangabehi belum sah menjadi SIKS Paku Buwana XIV jika belum menjalani upacara adat “jumenengan nata” di Pendapa Sasana Sewaka. Upacara adat ini harus dilengkapi dengan sajian tarian sakral “Bedhaya Ketawang”, sebagai syarat baku yang harus dijalani setiap pemimpin Kraton Mataram Islam. Paugeran adat Mataram, menggariskan tegas demikian.
“Saya termasuk sudah lega mendengar peristiwa di Sasana Handrawina itu. Saya juga melihat dari publikasi di medsos, juga di iMNews.id. Tetapi, proses lanjutan untuk pengesahan sebagai SISKS Paku Buwana XIV yang harus dijalani masih ada, yaitu upacara adat jumenengan nata di Pendapa Sasana Sewaka. Itu menunggu setelah 40 hari atau setelah 100 hari. Bukan di depan jenazah seperti itu,” tunjuk tegas KPP Nanang.
Penegasan KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, sentana trah darah-dalem Sinuhun PB V dan X ini melengkapi ekspresi lega beberapa tokoh sentana anggota Lembaga Dewan Adat (LDA) lainnya (iMNews.id, 14/11/2025). Dia menegaskan, di antara berbagai syarat yang dimiliki dan dijalani seorang calon Sinuhun PB, adalah pengukuhan sebagai “Adipati Anom” (Kamis, 13/11) itu dan tinggal “jumenengan nata”.

“Karena tinggal upacara adat jumenengan nata atau pengesahannya saja, ya sabar. Ditunggu saja. Sekarang ‘kan masih dalam suasana berkabung. Jangan nggege mangsa. Itu tidak baik. Karena tidak sesuai paugeran adat,” pinta sentana-dalem itu. Mengenai berbagai syarat terutama upacara adat “jumenengan nata” sebagai pengesahannya, sudah dipahami benar KGPH Hangabehi dalam pernyataannya saat diwawancara para wartawan.
Sampai pada tahap peristiwa riil di lapangan dan penjelasan tulisan ini, maka menjadi semakin jelas antara posisi para tokoh yang sedang bersaing, dalam kapasitas sebutan masing-masing, dengan sejumlah syarat dan konsep-konsep yang dipahami dan akan diwujudkannya. Dari posisi masing-masing tokohnya, akhirnya bisa tampak jelas siapa layak dan memenuhi berdasar syarat ideal, konseptual dan faktual itu.

Walau kini berada dalam suasana modern di alam digital, tetapi penentuan seseorang menjadi calon raja dan raja di lingkungan Kraton Mataram Surakarta, tidak bisa berdasar dari jajak pendapat yang dilakukan publik secara luas di luar kraton. Karena, kraton memiliki tata-nilai konstitusi tidak tertulis yang disebut “paugeran adat”, yang dipatuhi keturunan Dinasti Mataram, dari Panembahan Senapati hingga kini.
Baca Juga : Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 1 – bersambung)
Oleh sebab itu, jika ada jajak pendapat muncul di medsos yang memunculkan angka 60 (persen) lebih stuju KGPH Hangabehi menjadi Sinuhun PB XIV dan bukan KGPH Purubaya, itu sama sekali bukan dasar acuan penentu proses alih kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta. Kraton adalah lembaga masyarakat adat yang punya adat dan tradisi yang dihormati dan dijalankan secara patuh turun-temurun, yang menjadi pedomannya.
Walau angka persentasi menunjukkan KGPH Hangabehi unggul, itu belum tentu mencerminkan situasi dan kondisi riil yang menyangkut pribadinya. Bahkan sama sekali bukan hasil penilaian dari latar-belakang pribadinya, khususnya yang menyangkut bagaimana kehidupannya sebagai seorang kerabat, pekerja adat, calon raja, tokoh masyarakat adat, tokoh yang banyak bergaul dengan elemen Pakasa dan sebagainya.
Singkat kata, publik secara luas tak mungkin bisa memotret kehidupan pribadinya di tengah habitat adat, masyarakat adat dan elemen-elemennya dalam keseharian. Padahal, intensitas hubungan di dalam internal masyarakat adat ini yang lebih penting dan sangat menentukan, selain “bibit, bobot’ bebet”. Juga ketika ditakar dengan “Ratu tanpa laku”, “Nata tanpa labuh karya” dan “Narendra kang ora weruh kawula”.

KGPH Hangabehi “pasti lolos” ketika ditakar dengan konsep “ratu” yang bisa berkait dengan konsep “bibit, bobot, bebet” itu. Karena, dia adalah tokoh yang berkualitas dan memiliki kapasitas pribadi cukup. Dia adalah putra tertua dari Sinuhun PB XIII, dengan DNA yang sudah tidak perlu diragukan lagi. Pengageng Kusuma Wandawa sekaligus Pengageng Museum/Pagelaran/Alun-alun Lor itu, punya pribadi yang “andhap-asor”.
Kehidupan pribadinya tak banyak diketahui publik di luar kraton, karena dia banyak menghabiskan waktu di “habitatnya” (kraton) dan “masyarakat adatnya”, di cabang-cabang Pakasa yang tersebar di berbagai daerah. Sebab itu, KGPH Hangabehi lebih cocok disebut pribadi yang tahu adat. Ia bukan tipe pemuda yang suka “dugem” dan pribadi yang tercela, karena mabuk dan menjadi pelaku kasus tabrak lari di Gladag. (Won Poerwono – bersambung/i1)





