Kirim Bregada Prajurit Tamtama untuk Pimpin Kirab Peringatan “Boyong” Ibu Kota Kabupaten Nganjuk
SURAKARTA, iMMNews.id – “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta akan menerima rombongan tamu sekitar 60-an perempuan penggiat tradisi bersanggul, yang pernah menjadi cirikhas kelengkapan penampilan busana resmi nasional kalangan perempuan NKRI antara menjelang tahun 1950 hingga tahun 1980-an.
Kehadiran rombongan yang berasal dari berbagai daerah itu, akan diterima GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA di dalam kraton dengan jamuan. Salah satu acaranya, adalah memberi penjelasan soal macam dan ragam sanggul yang menjadi bagian dari penampilan wajib secara adat di kraton, dan maknanya.
Pengageng Sasana Wilapa yang juga penasihat Sanggar Tata-Busana dan Paes Pengantin Kraton Mataram Surakarta yang akrab disapa Gusti Moeng itu, menyebutkan bahwa rencana kehadiran rombongan tamunya untuk pertemuan hari Minggu siang (2/6), dinilai langka. Karena, bagi kalangan wanita Jawa khususnya, berbusana kebaya dengan bersanggul itu sudah sangat langka.
“La wong di kalangan masyarakat Jawa yang jelas-jelas dilahirkan dari lingkungan budaya Jawa saja sudah sangat langka, apalagi kalangan perempuan di luar Jawa. Kalau di Bali, banyak yang masih konsisten memegang teguh budayanya. Termasuk dalam berbusana dan bersanggul. Tetapi kalau di Jawa, yaitu Jateng, DIY dan Jatim, jangan tanya”.
“Hampir semua perempuan Jawa sudah melupakan budayanya, termasuk cara berbusana yang khas menjadi ciri budayanya. Di kraton, berbusana Jawa bagi perempuan, wajib berkebaya dan bersanggul. Bahkan sebetulnya, berbusana dan bersanggul itu sudah menjadi kepakatan sebagai busana resmi yang bercirikhas dan berkepribadian nasional”.
“Artinya, kala para lelaki atau bapak-bapaknya mengenakan stelan jas dan berpeci sebagai busana dan penampilan resmi secara nasional, kaum perempuan atau ibu-ibunya mengenakan kebaya dan bersanggul. Oleh sebab itu, ketika saya mendengar akan ada rombongan tamu para perempuan penggiat bersanggul akan ke kraton, saya senang sekali,” ujar Gusti Moeng.
Gusti Moeng menjelaskan tentang rencana kedatangan tamu rombongan para perempuan penggiat bersanggul kepada iMNews.id, saat memimpin dan menunggui ritual “ngisis ringgit” Kiai Dagelan di “gedhong” Sasana Handrawina, Selasa Kliwon (28/5). Saat itu (iMNews.id, 28/5), dirinya juga menyempatkan menerima wawancara dua mahasiswa Undip, sebelum “gladen” Bedhaya Ketawang.
Saat wawancara berlangsung, Gusti Moeng justru sempat mengarahkan penjelasannya kepada iMNews.id yang juga menunggui proses wawancara itu. Karena, materi pertanyaan yang disampaikan adalah “hal-hal yang menonjol” dari Kraton Mataram Surakarta. Mendengar pertanyaan itu Gusti Moeng balik bertanya, :”Yang diinginkan atau dimaksudkan soal apa?”.
“Karena, hampir dalam segala hal kraton itu punya kelebihan yang menonjol. Mengingat, Kraton Mataram Surakarta sampai berusia 200 tahun. Usia NKRI belum ada separonya. Itu belum dihitung lamanya Mataram Kartasura, atau dihitung dari Ibu Kota Plered dan Kutha Gedhe dan sejak Kraton Mataram serta Dinasti Mataram didirikan Sinuhun Panembahan Senapati”.
“Jadi, karena proses terjadinya hingga pencapaian tertinggi dan disebut menonjol itu, karena sudah melewati waktu lebih dari 200 tahun. Sebab itu, semua potensi kekayaan dalam berbagai bidang yang dimiliki Kraton Mataram menonjol. Dalam bidang seni, budaya, sastra, etika, estetika, pengetahuan ekonomi, pemerintahan dan lainnya, semua menonjol,” ujar Gusti Moeng.
Sementara itu, Kraton Mataram Surakarta disebutkan akan mengirim sekitar 20 orang abdi-dalem prajurit Bregada Tamtama dan Korsik Drumband ke Kabupaten Nganjuk (Jatim), Rabu (5/5). Karena, salah satu kabupaten yang dikenal dengan sebutan “wilayah Mataraman” karena pernah menjadi wilayah kedaulatan Kraton Mataram Surakarta itu, akan menggelar sebuah event.
Event kirab budaya yang sudah disusun rangkaian acara dan isinya serta melibatkan Kraton Mataram Surakarta itu, berupa ekspresi mengenang “Boyong Natapraja” atau pindahan Ibu Kota Kabupaten dari lokasi lama bernama “Berbek” ke lokasi baru bernama “Nganjuk”, yang pernah terjadi pada bulan Juni tahun 1800-an silam.
Kirab budaya yang akan melibatkan seluruh jajaran Pemkab dan Kecamatan Berbek dan desa terdekat, akan diekspresikan dengan penyanggaran pusaka keris dan tombak. Kedua jenis pusaka itu, dulu selalu menjadi simbol jabatan “Bupati Manca”, sebagai aparat daerah “nagari” Mataram Surakarta. Kirab nanti, prosesinya dari bedhol pusaka dan mengantar ke Ibu Kota baru.
Dalam sistem pemerintahan “monarki” Mataram Surakarta, dikenal memiliki aparat dengan jabatan “Bupati” yang bertugas di lingkungan dalam kraton atau “nagari” yang disebut “Bupati nJero”. Sedangkan pejabat sejajar dengan itu yang ditugasi untuk memimpin sebuah wilayah di luar “nagari”, disebut “Bupati Njaba” atau “Bupati Manca”, dengan gelar sangat bervariasi.
Selama 200 tahun “nagari” Mataram Surakarta berdaulat di berbagai bidang (1745-1945), memiliki wilayah luas atau setidaknya 2/3 luas wilayah pulau Jawa. Hampir semua wilayah kota dan kabupaten di 2/3 pulau Jawa itu, terdapat aparat pemerintahan yang disebut “Bupati Manca” yang dilestarikan atau diwarisi pemerintahan NKRI hingga sekarang ini.
“Jadi, istilah ‘Kabupaten’ dan nama pejabatnya yaitu ‘Bupati’, mewarisi atau meneruskan yang pernah diciptakan Mataram terutama Surakarta. Sinuhun PB II adalah ahli dalam mendesain tata-kelola lembaga pemerintahan. Dan Sinuhun PB III, yang meneruskan dan mengembangkan itu. Termasuk, menciptakan lahan sawah besar-besaran pada zamannya di setiap kabupaten”.
“Dan hebatnya, jarak antara tiap ibu kota kabupaten terdekat, rata-rata sekitar 30 KM. Setelah saya pelajari dan saya kaji, penentuan jarak rata-rata antara kabupaten dengan kabupaten terdekat, berpedoman dari daya tahan maksimal kuda setelah menempuh jarak maksimal, yaitu sekitar 30-an KM. Karena, setelah jarak itu, kuda harus istirahat,” ujar Dr Purwadi.
Dr Purwadi adalah peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, yang juga banyak mengkaji hasil-hasil penelitiannya khusus tentang Mataram Surakarta. Dia yangkini sedang mengkaji disertasi dua intelektual UGM, yaitu (Rama) Dr Kuntoro Wiryomartono tahun 1987 dan Dr Subali Dinoto (1966), karena keduanya pernah meneliti secara khusus Sinuhun PB III.
Dari dua disertasi itu, Dr Purwadi mendapatkan data sejarah dan kajiannya yang mendalam tentang ketokohan Sinuhun PB III (1749-1788). Menurutnya, dalam rentang waktu jumeneng nata yang panjang sampai 39 tahun, diyakini pasti Raja tersebut memiliki prestasi dan karya yang luar biasa, terutama dari sisi jumlah, ragam, jenis dan kualitasnya.
“Kanjeng Ratu Beruk adalah garwa prameswari, wanita kuat di balik sukses sang suami, yaitu Sinuhun PB III. Beruk adalah alat takar beras dari batok kelapa, yang menjadi simbol kemakmuran di bidang pangan atau hasil bumi, terutama padi. Dia bukan wanita sembarangan. Tetapi wanita kuat, trah Sunan Ampel yang terpilih tanpa rekayasa,” tunjuk tegas Dr Purwadi.
Sementara itu, “weton pasaran” Anggara Kasih kemarin, juga ada sisi pemandangan yang tergolong istimewa. Selain dua ritual berjalan bergantian, banyak kelompok mahasiswa silih-berganti datang untuk meneliti. Gladen tari Bedaya Ketawang di Sasana Sewaka juga istimewa, karena ada lagi latihan “gabungan” antara penari sanggar pawiyatan dengan penari “proyek APBD”. (won-i1).