Para Sentana Sepuh Sangat Berharap, Suksesi Kali Ini tak Mengulang Friksi 2004
SURAKARTA, iMNews.id – Peti jenazah Sinuhun PB XIII dipindahkan dari Masjid Pudyasana kompleks kediaman Sinuhun di Sasana Putra ke Bangsal Parasedya, Minggu sore pukul 17.00 WIB kemarin, setelah mendapat kunjungan layat Wapres Gibran Rakabuming. Mulai semalam hingga Senin (3/11) siang tadi, para pelayat dari termasuk dari kalangan tokoh di pemerintahan, terus berdatangan, termasuk mantan Presiden Jokowi.
Siang tadi, tampak Bupati Sukoharjo Nyonya Etty Wardoyo bersama rombongan dari Pemkab juga datang melayat di bangsal Sasana Parasedya. Tempat persemayaman itu, adalah tempat khusus yang hanya dipakai untuk khusus kegiatan adat penting dan hanya para kerabat terbatas yang boleh berada di situ. Termasuk persemayaman jenazah “raja” dan ketika berlangsung ritual Kirab Pusaka” dan tingalan jumenengan.
Suasana di sekitar tempat persemayaman, hingga pukul 13.00 WIB siang tadi tampak biasa-biasa saja, para pelayat datang mengalir atau “mbanyu-mili”, tanpa terlihat ada lonjakan jumlah rombongan yang besar. Banyak di antara para pelayat memanfaatkan kesempatan masuk kawasan sakral inti kedhaton kraton untuk berfoto bersama atau selfi. Tetapi, semua yang melayat mengenakan busana adat selain seragam kantor.
Sementara, karangan bunga ucapan duka-cita yang datang dari berbagai pihak, sudah hampir memenuhi sisi lingkar halaman kamandungan hingga sampai depan kompleks Sasana Putra atau Pendapa Sasana Mulya. Banyak pihak yang belum diketahui prosesnya, melakukan ekspresi sikap duka-cita atas wafatnya Sinuhun PB XIII sejak kabar beredar luas, Minggu pagi (2/11), misalnya dari kalangan pedagang di luar Pasar Klewer.

Para pedagang sandang yang biasanya hiruk-pikuk di seputar jalan lingkar Alun-alun Lor dan dua Pasar Cinderamata serta halaman Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, mulai Senin (3/11) pagi sangat berkurang dan tergolong lengang. Karena para pedagangnya yang biasa berdagang dengan mobil yang diparkir, banyak sekali yang tidak terihat. Sikap hormat serupa juga diperlihatkan oleh keluarga besar Kraton Jogja.
“Selain disampaikan lewat televisi swasta dan berbagai media platform pribadi, saya juga mendengar sendiri dari kerabat kraton di Jogja. Sultan Hamengku Buwono X meminta para kerabat keraton untuk tidak melakukan aktivitas yang memberi efek suara, misalnya nabuh gamelan selama 3 hari berturut-turut sejak Senin (3/11) ini hingga Rabu (5/11). Untuk menghormati Kraton Mataram Surakarta yang sedang berduka”.
“Ya, kita sangat berterimakasih atas empati itu. Apalagi, sebagai sesama keluarga besar Dinasti Mataram. Kalau yang dari kalangan pedagang di luar Pasar Klewer. Kami sebagai bagian keluarga besar Kraton Mataram Surakarta juga berterima kasih. Ternyata masih punya empati terhadap kraton,” ujar KPP Wijoyo Adiningrat yang siang tadi sedang menunggu dimulainya rapat membahas upacara pelepasan jenazah.
Selain itu, ada hal penting yang diungkapkan “sentana darah-dalem sepuh ini. Yaitu harapan agar proses suksesi yang akan terjadi setelah 100 hari wafatnya Sinuhun PB XIII nanti, tidak mengulang peristiwa seperti yang terjadi di tahun 2004. Ia berdoa dan memohon kepada Tuhan YME, agar pergantian kepemimpinan yang akan terjadi, benar-benar dalam suasana nyaman dan jauh dari perselisihan seperti di tahun 2004.

Walau doa dan harapan begitu besar proses alih kepemimpinan itu berlangsung sesuai nilai-nilai paugeran adat yang berlaku dalam suasana aman dan nyaman serta teduh, tetapi KPP Wijoyo Adiningrat tidak mengelak sudah ada gejala yang menurutnya “menyimpang” dari nilai-nilai paugeran adat. Penyimpangan inilah yang dikhawatirkan akan menjadi pemicu terjadinya perselisihan dan friksi seperti yang terjadi di tahun 2004.
Dia mengakui, dirinya menjadi salah seorang sentana yang berani “pasang badan” untuk menghadapi upaya merebut “tahta” yang terjadi saat KGPH Hangabehi hendak jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII. Karena, salah seorang adiknya yang selisih dua atau tiga orang dari urutan usia yang bernama KGPH Tedjowulan, menjadi “Raja Kembar” dan pesaing yang ingin merebut tahta sebagai Sinuhun PB XIII.
Namun, karena banyak kerabat dan elemen masyarakat adat (Pakasa) mendukung KGPH Hangabehi, maka dialah yang sah jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII. Dia dinobatkan para perwakilan trah darah-dalem yang bergabung dalam Lembaga Dewan Adat (LDA), 10 September 2004. Tetapi, kalangan pendukung harus menerima kenyataan pahit, karena akhirnya tokoh yang didukung memilih bergabung dengan semua yang semula menolak.
Di sisi lain, dari peristiwa friksi “Raja Kembar” di tahun 2004 itu, berakhir dengan berlangsungnya upacara jumenengan nata KGPH Tedjowulan di luar kraton. Pengageng Keputren, Pengageng Kusuma Wandawa dan Pengageng Parentah Kraton, bersekutu untuk menggelar jumenengan nata Sinuhun PB XIII di gedung Pertemuan bernama Sasana Purnomo, di Kota Barat, Mangkubumen di bulan Agustus, sebelum 10 September 2004.

“Semalam, saat datang melayat dan bertemu Gusti Wandan (GKR Wandansari Koes Moertiyah), juga sempat bertemu saya. Karena saya bersama para sentana lain juga standby mendampingi beliau. Saat bersalaman dengan, beliau menyatakan bahwa hanya ‘Jeng Moeng’ (Gusti Moeng) yang tahu dan mau mengurusi kraton. Tetapi saya tegaskan, apa (sukses) kali ini bisa (dibantu) dijaga berjalan lancar dan aman?,” katanya.
Menurutnya, pertanyaan yang disampaikan kepada KGPH Tedjowulan itu, ada beberapa makna yang salah satunya harapan/permintaan agar yang bersangkutan ikut menjaga proses suksesi ini berjalan sesuai “nilai-nilai paugeran adat”. Namun KPP Wijoyo Adiningrat mengaku juga melihat, bahwa ada realitas lain yaitu munculnya bentuk-bentuk “penyimpangan” yang dilakukan sebagai persiapan untuk keperluan suksesi.
Bentuk penyimpangan yang dimaksud adalah, pengangkatan diri menjadi “Gusti Kanjeng Ratu” (GKR) melalui cara-cara menyimpang dari nilai-nilai paugeran adat. Bahkan menurut hampir semua kerabat di jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, yang terjadi bukan sekadar penyimpangan prosedur dalam paugeran adat, melainkan menggunakan hak secara adat yang bukan miliknya atau disebut tidak memiliki “nazab” sebagai trah.
“Karena, yang berhak menjadi ‘GKR’ pada posisi garwa prameswari itu harus memenuhi syarat beberapa hal. Di antaranya ‘nazab’dan prosedur misalnya melalui upacara adat ‘Bhayangkari’. Seorang prameswari harus punya hak adat dari trah. Karena, itu menjadi salah satu bentuk seleksi yang rasional, sebagai tuntutan jaminan kualitas keturunannya nanti. Karena, keturunannya dituntut menjadi pemimpin,” ujarnya lagi.

Dari penyimpangan itu, lanjutnya menurunkan penyimpangan berikutnya yaitu lahirnya gelar hasil penobatan yang disebut “Adipati Anom”, calon raja atau putra mahkota. KPP Wijoyo Adiningrat merasa geram sekaligus prihatin, karena ada pihak-pihak yang mulai memunculkan persoalan itu melalui platform media sosial pribadinya. Menurutnya, bentuk-bentuk penyebaran informasi seperti ini, lebih banyak bertujuan negatif.
Sementara itu, ekspresi keprihatinan tentang munculnya beberapa ekspresi yang bisa menjadi bibit perselisihan atau “ontran-ontran” seri kesekian ini, juga datang dari KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro. Saat dimintai tanggapan iMNews.id, Senin (3/11) siang tadi, sentana trah darah-dalem PB V dan PB X itu berharap, proses pergantian pemimpin kali ini tidak mengulang kesalangan di tahun 2004.

Sementara itu, dari kalangan elemen Pakasa cabang tak henti-hentinya mendoakan “kepergian” Sinuhun PB XIII. Ketua Pakasa Cabang Kota Bekasi, KRA Joko Murdianto Bintoro Adiningrat misalnya, selain keluarga besar Pakasa Bekasi menyampaikan ungkapan duka-cita, dia mendoakan agar segala dosa-kesalahan Sinuhun PB XIII diampuni. Semua kerabat besar yang ditinggalkan, didoakan agar diberi sabar dan tawakal.
Hal serupa juga diungkapkan KP Bambang S Adiningrat, Ketua Pakasa Cabang Jepara. Atas nama pribadi dan keluarga besar Pakasa cabang, dirinya memohon kepada Tuhan YME, agar Sinuhun PB XIII mendapatkan “swarga langgeng”. Sebagai bentuk ungkapan “bela-sungkawa” dan penghormatan terakhir, warga Pakasa Jepara akan menggelar doa dan tahlil. Dia juga mengajak Pakasa cabang lain untuk melakukan hal yang sama. (won-i1)









