Alun-alun Kidul Juga Tidak Bisa, Karena Kedua Alun-alun Sedang Finalisasi Proyek Revitalisasi
SURAKARTA, iMNews.id – “Sekaten Garebeg Mulud 2024” yang terlaksana “serba darurat” karena kekurangan ruang untuk menampung kegiatan keramaian pasar pendukung ritualnya, sejak awal sudah ditegaskan KPH Edy Wirabhumi (penyelenggara) dalam rapat, bahwa semua itu terjadi akibat kini sedang mengalami masa transisi tahap finalisasi proyek revitalisasi.
Hal tersebut dijelaskannya bersama kalangan panitia lain, yaitu KGPH Hangabehi dan GKR Ayu Koes Indriyah, di depan peserta rapat koordinasi dengan berbagai pihak dan elemen terkait dengan pelaksanaan upacara adat Sekaten Garebeg Mulud 2024. Karena, selain kagungan-dalem Masjid Agung sebagai pusat kegiatan ritual religinya, ada sejumlah tempat lain.
Sejumlah tempat lain itu, di antaranya kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang kini justru menjadi lokasi pemusatan kegiatan keramaian pasar pendukung Sekaten. Karena, di sejumlah ruang lain termasuk di kompleks Masjid Agung sendiri, secara keseluruhan porsinya di bawah 50 persen dibanding daya tampung kompleks Pendapa Pagelaran.
Oleh sebab itu, walau kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa menjadi lokasi pemusatan aneka jenis produk yang disajikan sebagai keramaian pasar atau “Maleman Sekaten”, ketersediaan ruang yang ada disebut serba darurat. Mengingat dua alun-alun di selatan dan utara, kini sedang dalam finalisasi proyek revitalisasi, bahkan termasuk di Masjid Agung.
Karena “serba darurat” akibat ruangnya menciut akibat Alun-alun Lor masih ditutup, stan-stan hiburan yang memerlukan ruang besar seperti seni pertunjukan musik dangdut untuk Sekaten Garebeg Mulud 2024 ini tidak mendapat bagian. Ika Puspowinahyu selaku pengelola kegiatan “Maleman Sekaten” menegaskan, tahun ini tidak ada stan dangdut.
“Juragan” pertunjukan asal Klaten berbendera “Berkah Ria Grup”, yang biasanya mengisi keramaian Sekaten dan pasra malam di tempat lain, pada Sekaten Garebeg Mulud tahun 2024 ini hanya mendapat tempat di ruang parkir depan pagar Masjid Agung sayap kanan (selatan). Alun-alun Kidul sebenarnya bisa menjadi alternatif, tetapi juga sedang direvitalisasi.
Dari pemantauan iMNews.id sampai Jumat (6/9) siang tadi, jalan dari pintu masuk Gladag menuju Alun-alun Lor, terlihat masih steril yang dibatasi pita kuning mirip “police line”. Suasana itu apakah bisa dipertahankan hingga pembukaan ritual Sekaten, Senin siang (9/9), karena rapat koordinasi sudah memutuskan zona harus itu steril dari kegiatan dagang.
Tahapan-tahapan tatacara upacara adat Sekaten Garebeg Mulud, Kamis pagi (5/9) kemarin sudah dilangsungkan jamasan semua bagian dari beberapa gamelan Kiai Sekati yang terdiri dari gamelan Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu. Ritual yang didahului dengan donga wilujengan, dilakukan di gedhong Langen Katong dan ditunggi para pejabat kantor Mandra Budaya.
Dalam ritual itu, hadir pula KRAT Saptonodiningrat yang sebelum 2017 mendapat tugas “Bebadan Kabinet 2004” untuk menjadi “tindhih karawitan” penabuh gamelan Sekaten. Ia datang dengan istrinya, Prof Fumiko Tamura, seorang dosen di sebuah universitas di Jepang. Dalam ritual jamasan itu, seperangkat gamelan Monggang Kiai Kancil Belik juga dibersihkan.
Agenda tatacara rangkaian ritual “Sekaten Garebeg Mulud” berikutnya adalah donga wilujengan midodareni menjelang miyosipun gangsa Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu yang akan digelar di Bangsal Bale Bang, Minggu (8/9). KRMH Suryo Kusumo Wibowo selaku Wakil Pengageng Sasana Prabu menyebutkan, baru esok paginya, Senin (9/9) gamelan “miyos”.
“Miyosipun” (Keluarnya) gamelan Sekaten dari “gedhong Langen Katong”, akan dipikul berarak-arak sekitar seratusan abdi-dalem. Setelah melewati Kori Sri Manganti Lor dan Kori Kamandungan, gamelan diusung melewati Kori Brajanala Lor lalu masuk pintu kompleks Pendapa Sitinggil Lor dan Pendapa Pagelaran, melewati Alun-alun Lor baru masuk Masjid Agung.
Setelah ditata di Bangsal Pradangga (Pagongan) “Lor” (utara) dan “Kidul” (selatan) pagi itu, sesuai dhawuh Pengageng Sasana Wilapa, baru pada pukul 13.30 WIB gamelan ditabuh kali pertama. Gamelan yang ditabuh sebagai tanda ritual Sekaten dimulai, menjadi aba-aba semua yang hadir untuk “nginang”, termasuk para pengurus Pakasa cabang yang diharapkan “sowan”.
Dari “serat dhawuh” yang ditandatangani GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa disebutkan, jamasan dilakukan untuk gamelan yang akan dipasang sebagai “gamelan pakurmatan”. Yaitu gamelan Monggang di Bangsal Pradangga, Gamelan Monggang Patalon di Bangsal Angun-angun dan Gamelan Cara Balen untuk mengiringi prosesi Gunungan Garebeg Mulud.
Dalam arak-arakan barisa prosesi Gunungan sebagai puncak Sekaten, selalu ikut-serta prajurit “Canthang-Balung” yang kini menjadi ikon event “Sekaten Garebeg Mulud 2024”. Menurut abdi-dalem dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara, KP Budayaningrat, “Canthang-Balung” adalah simbol dua dewa yang “ngurung-urung” (mengawal) Gunungan yang sudah ada pada zaman Majapahit.
“Pada zaman Kraton Majapahit (abad 14), Canthang-Balung dianggap dewa dari Kahyangan yang turun untuk mengawal Garebeg Murwa Warsa. Simbol tolak-balak itu, bisa masuk dalam ritual kraton dan terangkai dengan baik dalam prosesi ritual. Ini akulturasi yang luar biasa. Fungsinya sama dengan ‘Edan-edanan’,” tutur KP Budayaningrat. (won-i1)