Pakasa “Reborn” Menjadi Pelopor Pelestari Budaya di Manapun Berada (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 13, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Pakasa “Reborn” Menjadi Pelopor Pelestari Budaya di Manapun Berada (seri 2 – bersambung)
PANGARSA PUNJER : KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer Pakasa melempar sinyal bahwa Pakasa cabang masa kini adalah pelestari budaya lokal di manapun tinggal. Sinyalemen ini seiring dengan keberadaan 58 keraton se-Nusantara anggota MAKN yang dia pimpin, kini sedang berjuang untuk berkembang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Memperkuat Basis Fundamental Menjadi Prioritas Kesadaran Paling Awal

IMNEWS.ID – BERKACA dari arah tujuan eksistensi organisasi Pakasa “reborn” atau “new Pakasa” di zaman yang sudah jauh berubah kini, maka perlu disadari ada beberapa kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi. Karena, Pakasa cabang di manapun berada diharapkan mampu melestarikan “budaya lokal” tetapi juga harus  menjaga lestarinya Budaya Jawa yang bersumber dari kraton, maka perlu penguatan modal secara mendasar.

Penguatan modal yang dimaksud, adalah hal-hal yang menyangkut penguasaan basis fundamental budayanya, yaitu Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Proses inilah yang justru menjadi prioritas kesiapan warga Pakasa cabang secara individu maupun secara kelembagaan. Karena perubahan zaman dan tuntutan tugas pengembangan organisasi, maka proses kelahiran dan pendewasaan Pakasa perlu “serius”.

Yaitu, keseriusan dalam pembekalan hal-hal yang menyangkut syarat pasuwitan dan penguasaan berbagai “kawruh” mendasar tentang Budaya Jawa, sejarah dan sebagainya. Baik secara individu maupun secara kelembagaan, melalui program pendidikan dan latihan serta forum-forum diskusi/sarasehan atau melalui sanggar-sanggar pasinaon/pawiyatan yang ada di kraton, atau kombinasi antara keduanya.

KEARIFAN LOKAL : Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta dan ratusan tahun berkembang di wilayah Kota Pekalongan, tentu melahirkan kearifan lokal yang bisa menjadi modal ketahanan budaya nasional. Pengurus Pakasa Cabang Kota pekalongan yang baru lahir, menghadapi tantangan pelestariannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seperti dijelaskan di seri tulisan sebelumnya (iMNews.id, 10/10), KPH Edy Wirabhumi baik saat memimpin rapat koordinasi (rakor) dengan para pimpinan cabang (iMNews.id, 4/1) dan saat memberi sambutan dalam pelantikan Pakasa Cabang Boyolali (iMNews, 11/10), Pakasa cabang akan mendapat tugas dan kewajiban menjaga lestarinya budaya lokal. Karena, Pakasa cabang akan berkembang semakin luas sampai ke luar Jawa.

Perkembangan organisasi Pakasa cabang, akan menjadi keniscayaan terwujud sampai jauh di luar wilayah eks “nagari” Mataram Surakarta, bahkan jauh di luar sebaran Budaya Jawa. Bahkan, sejak sebelum hingga migrasi resmi menjadi program transmigrasi pemerintah NKRI tahun 1960-1970-an, masyarakat Jawa sudah menyebar di wilayah yang sangat luas. Termasuk yang ada di negara Suriname, Belanda dan sebagainya.

Keniscayaan itu kini sudah terwujud dalam contoh nyatanya, yaitu terbentuknya pengurus Pakasa Cabang di Kota Bekasi yang berada di Provinsi Jawa Barat (Jabar), yang nota-bene berada di luar sebaran Budaya Jawa. Pakasa Cabang Kota Bekasi itu terbentuk sekitar setahun lalu, dipimpin KRA Joko Murdianto Bintoro Adiningrat, dan punya anggota sekitar 30-an orang. Begitu pula, lahirnya Pakasa Cabang Denpasar (Bali).

TARI SEGA MEGANA : Tari “Sega Megana” adalah karya kearifan lokal yang lahir dari Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Pakasa Cabang Kota Pekalongan yang baru saja lahir, harus menjadi agen pelestari pelopor terdepan dan menguasai modal mendasar lainnya dibanding orang lain. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lahirnya Pakasa Cabang Kota Bekasi yang hampir bersamaan dengan Pakasa Cabang Denpasar (Bali), menjadi bukti sebaran Budaya Jawa semakin luas karena terjadi migrasi penduduk dalam rangka menggunakan kebebasannya mencari “penghidupan” yang layak. Namun di sisi lain, sejarawan Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Ki Dr Purwadi menyebutkan, menjelang 1945 banyak sastrawan Sunda (Jabar) belajar Budaya Jawa.

Melalui proses yang hampir sama, kantong-kantong warga keturunan Jawa yang menyebar jauh di luar Jawa dan Bali, sudah sejak lama menunjukkan niat yang sama. Yaitu keinginan untuk menjadi pelestari Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, dengan berserikat dalam organisasi Pakasa cabang. Provinsi Lampung, merupakan wilayah yang warganya mulai bangkit dari “tidur” dan kini mengedukasi diri.

Ketika dianalisis lebih lanjut, kebangkitan untuk “mencari” dan “peduli” pada budaya asli yang dimiliki secara fundamental masyarakat Jawa yang tinggal di berbagai wilayah sangat luas di luar “habitat”, bisa dilihat ada tiga kemungkinan. Yang pertama adalah kesadaran melakukan segala bentuk isi budaya mendasar yang mereka warisi dari para leluhurnya, untuk eksistensi diri/kelompok di tempat lain (perantauan).

BOYOLALI ISTIMEWA : Kabupaten Boyolali menjadi tempat lahirnya Pakasa cabang yang cukup istimewa dibanding yang lain. Karena, riwayat daerah ini lekat dan erat dengan Kraton Mataram Surakarta, bahkan sejak zaman Kraton Demak sudah melahirkan banyak hal istimewa, seperti deretan nama Pujangga Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam porsi penguasaan dan pemahaman sampai level tertentu, masyarakat Jawa perantau itu ingin menjaga identitasnya dan menjalankan budayanya secara konsisten. Dengan arah pemahaman dan penguasaan seperti ini, berarti mereka memperkuat ketahanan budaya aslinya di tempat lain tetapi untuk keutuhan NKRI. Atau kemungkinan kedua, mereka sudah bermodal kuat tetapi membantu membangkitkan budaya lokal.

Budaya lokal dibantu agar eksis dan hidup berdampingan atau menjadi aset “multi kultur” secara pribadi atau kelompok untuk “Satu NKRI” atau terjaganya ketahanan budaya nasional. Kemungkinan ketiga, lahir formulasi baru yang sudah tidak lagi lengkap ciri-cirinya Budaya Jawanya, tetapi punya sikap, perilaku dan pola pikir yang diambil dari budaya lokal. Akulturasi inipun, juga untuk ketahanan budaya nasional.

Sampai di sini, peta tujuan dan kerangka dasar yang harus disiapkan warga Pakasa cabang menjadi jelas, materi kebutuhan, alur proses dan tahapan tatacaranya. Intinya, ke arah manapun yang dituju Pakasa cabang, akan menjadi normatif “bisa dibenarkan” asal memenuhi syarat “demi ketahanan budaya nasional”. Tetapi, jelas akan lebih ideal kalau punya pedoman, di manapun tinggalnya, Budaya Jawa menjadi “utama”.

HARUS MEWARISI : Sebagai generasi peradaban modern, pengurus baru Pakasa Cabang Boyolali dan masyarakat daerah setempat tidak boleh mengalami krisis identitas seperti sekarang. Tetapi harus kuat menguasai basis fundamental secara mendasar, yaitu Budaya Jawa dan menjadi pelopor terdepan pelestarinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Untuk mengutamakan Budaya Jawa dalam kehidupan di manapun tinggalnya, sudah tidak perlu diragukan lagi kualitas selaku pribadi, anggota keluarga maupun menjadi anggota kelompok sebesar apapun. Karena, dalam Budaya Jawa mengajarkan semua kebutuhan hidup yang bisa memenuhi berbagai strata sosial, secara lahir dan batin. “Kawruh” tentang Budaya Jawa, sangat lengkap dan tuntas, baik secara duniawi dan teologis.

Meski sudah 80 tahun berlalu para tokoh pendiri bangsa menggagas terwujudnya “Budaya Nasional” atau “Budaya Indoneasia”, faktanya memang belum pernah sedikitpun terbentuk atau terwujud. Identitas budaya lokal tetap menjadi “panglima” di masing-masing wilayah etnik atau lebih luas lagi, dan di sanalah Budaya Jawa tampak lebih menonjol dalam segala bidang kehidupan, karena sudah tuntas menjadi peradaban.

Dalam perjalanan masing-masing budaya lokal berproses menjadi berkembang, bertahan atau terdesak dan terhimpit lalu tersisih, selama itulah pengaruh budaya asing “menggempur” kuat dengan anasir-anasir negatif terutama “intolerance”. Dalam 2-3 dekade anasir budaya asing masuk ke Tanah Air bersamaan dengan angin kebebasan yang dibawa, terbukti banyak yang tersisih dan rata-rata mengalami krisis identitas. (Won Poerwono – bersambung/i1)