Dulu, Para Pedagang Klewer Ikut Meratakan Rezekinya
IMNEWS.ID – DIMENSI sosial ekonomi berupa pemerataan rezeki kepada publik secara luas tak terbatas, yang selalu menjadi semangat Kraton Mataram Surakarta dalam menyelenggarakan setiap upacara adatnya, terutama Garebeg Mulud atau Sekaten. Karena, event adat bernafaskan religi untuk memperingati hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW ini, sudah sejak lama disertai keramaian pasar malam yang ditempatkan mulai dari halaman kagungan dalem Masjid Agung hingga kawasan Alun-alun Lor.
Semangat seperti itu, menjadi komitmen kraton sejak statusnya sebagai “nagari” atau “negara” Mataram, baik saat berIbu Kota di Surakarta, Kartasura maupun berIbu Kota di Plered, atau bahkan sejak Islam mewarnai lingkungan kraton kali pertama di zaman Demak (abad 14). Tak hanya itu, upacara adat lain yang sejak dulu populer menjadi ajang hiburan rakyat, juga memiliki dimensi sosial ekonomi terutama skala mikro, seperti Garebeg Pasa atau Lebaran/Idhul Fitri, Garebeg Besar atau Idhul Adha, jumenengan nata/tingalan dan sebagainya.
Dalam perspektif pemerintah pusat kekuasaan kraton banyak disebut sering meminta upeti atas “asok bulu-bhekti glondhong pengareng-areng” dari para “Bupati Manca” atau pejabat di luar pusat pemerintahan sebagai model atau cara untuk menggali sumber-sumber income “negara”, memang perkembangan pengetahuan pengelolaan pendapatan negara pada abad 14 atau sebelumnya, hingga abad 18, baru sebatas itu. Dan itupun banyak mendapat pengaruh kerajaan-kerajaan di belahan bumi barat seperti Eropa, yang sebenarnya juga masih banyak menggunakan model ekonomi tradisional.
Semangat Kekeluargaan
Walaupun ada pengaruh dari negara-negara barat, tetapi perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara khususnya di Jawa, banyak yang melakukan aktivitas perekonomiannya sesuai kekhasan budaya dan kearifan lokalnya, mulai dari tingkat kebijakan penguasa sampai yang dilakukan di kalangan rakyatnya. Maka tidak aneh, apabila beberapa waktu sering terdengar pemeo “tuna sathak, bathi sanak”, “golek bathi, mbok-e keri” dan sebagainya yang melukiskan semangat kekeluargaan, seduluran dan penuh sifat gotong-royong yang mewarnai aktivitas perekonomian, serta jauh sekali dari praktik-praktik yang liberalistik.
Berkaca dari itu, diselenggarakannya ritual religi seperti yang terlukis dalam tiga jenis “Garebeg” di kraton, menjadi sangat jelas salah satu tujuannya untuk mewujudkan dimensi sosial ekonomi berupa pemerataan rezeki melalui hajad dalem gunungan yang “dibagi-bagikan”. Bersamaan dengan itu, pemerataan rezeki melalui aktivitas ekonomi perdagangan dan jasa yang digelar di keramaian pasar malam (Maleman Sekaten dan Maleman Pasa), mulai dari halaman Masjid Agung, kawasan Alun-alun Lor yang sejak beberapa waktu lalu sebelum 2017, dikembangkan sampai di kompleks Pendapa Pagelaran dan kawasan Alun-alun Kidul seperti yang sekarang tampak.
Menjelang rezim pemerintahan berganti dari Orba sampai awal reformasi, ada keterlibatan beberapa pihak antara lain Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) dan Pemda seperti Pemkot Surakarta dan Pemkab Wonogiri mendukung penyelenggaraan ritual “Garebeg” terutama “Garebeg Mulud” dan “Garebeg Pasa”. Dukungan beberapa pihak itu, di permukaan sering ditafsirkan sebagai “asok bulu bhekti glondhong pengareng-areng” atau upeti, padahal dukungan dari APBD masing-masing itu diwujudkan dalam gunungan “yang dibagi-bagikan” kepada pengunjung yang “ngalab berkah” yang berasal dari berbagai daerah, bahkan jauh luar provinsi.
Dianggap “Makani Setan”
“Semangat bergotong-royongnya memang baik dan sudah pas. Karena, tujuannya adalah pemerataan. Tetapi, banyak yang mengartikan lain, dan rata-rata negatif. Misalnya, ada yang mengatakan warganya belum tentu ikut ngalab berkah. Itu sama saja memelihara tradisi upeti/pungutan. Ada juga yang mengatakan, kraton sekarang sudah bukan kraton sebelum republik. Ada lagi yang mengatakan, membiayai upacara adat di kraton sama halnya sia-sia dan syirik, karena hanya untuk ‘makani setan’. Tetapi, seiring perjalanan waktu, pihak-pihak yang bersuara sumbang itu mulai tampak di antara barisan yang membawa anasir radikalisme dan intoleransi. Mereka inilah potensi yang akan menghapus ciri kebhinekaan bangsa, ketahanan budaya NKRI ini,” jelas GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang juga Pengageng Sasana Wilapa.
Suara-suara sumbang itu sudah muncul sayup-sayup di masa Orde Baru, dan semakin lantang bersuara di awal reformasi dan belakangan sudah menjadi kekuatan yang selalu menghembus-hembuskan anasir radikalisme dan intoleransi. Ini jelas bertolak belakang dengan semangat kebhinekaan dan realitas bangsa yang hidup berdampingan dalam perbedaan, seperti terlukis dalam ritual Sekaten. Meski Sekaten yang berasal dari kata “syahadatein” dan mengusung nafas religi, tetapi Kraton Mataram Islam sebagai sumber budaya/peradaban Jawa menyajikan Sekaten Garebeg Mulud dengan semangat Islam yang “rahmatan lil ‘alamin” atau Islam yang sayang terhadap semua makhluk hidup.
Menyimak penjelasan KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I soal sisi-sisi wilayah religi dalam setiap upacara adat yang digelar Kraton Mataram Islam, juga penjelasan KPH Edy Wirabhumi soal Kraton Mataram Surakarta penerus Mataram Islam yang menggunakan kalender Jawa, itu sangat menegaskan bahwa sekalipun Kraton Mataram Surakarta meneruskan tradisi kraton Islam yang bahkan sudah dimulai dari zaman Demak, tetapi tetap mengedepankan wajah Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. Oleh sebab itu, karya-karya para leluhur pendahulu terutama para Wali Sanga yang diartikulasi oleh Pujangga Surakarta RNg Ranggawarsita dalam karya-karyanya yang banyak menampilkan simbol-simbol yang mudah dimengerti wong Jawa, karena menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam kehidupannya tiap hari.
Promo Event Cerdas
Dengan menampilkan sebuah ritual religi tetapi tak ketinggalan juga menampilkan simbol-simbol kebiasaan masyarakat Jawa dalam wujud aneka macam bunga yang harum dan berwarna-warni, jelas memudahkan proses komunikasinya dalam menyampaikan pesan. Bersamaan dalam rangka peningkatan ketaqwaan itulah, sekaligus dilakukan aktivitas ekonomi perdagangan dan jasa agar kesejahteraan rakyat meningkat, juga pemerataan rezeki secara langsung dari gunungan yang dibagi-bagikan. Apalagi, secara spesifik, gunungan Garebeg Mulud Sekaten atau dua garebeg lainnya, sudah memiliki daya tarik yang tinggi.
Dalam rangka perputaran aktivitas ekonomi perdagangan dan pemerataan rezeki itu, maka di halaman Masjid Agung, kawasan Alun-alun Lor yang biasanya sampai meluber ke arah Gladag, Kedunglumbu dan kompleks Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, selalu tampak menjadi ajang aktivitas ekonomi kerakyatan. Bahkan, sejak beberapa tahun sampai 2017, kawasan Alun-alun Kidul juga disediakan sebagai ajang kegiatan ekonomi untuk zona khusus seperti tobong musik dangdut, yang dinilai tidak tepat berada satu zona di Alun-alun Lor yang menyajikan komoditas untuk usia anak-anak dan religi.
Dalam situasi dan kondisi yang belum lepas dari bayang-bayang pandemi Corona, penyelenggaraan Maleman Sekaten kali pertama sejak libur dua tahun (2020-2021) memang masih berat, karena terbawa situasi dan kondisi ekonomi secara makro yang sudah terlanjur “pingsan” atau bahkan “mati separo”. Upaya Gusti Moeng mendayagunakan Pendapa Pagelaran untuk stan bazar Maleman Sekaten sekaligus pentas seni tari kalangan sanggar, menjadi titik semangat kebangkitan ekonomi dan seni budaya, sekaligus lahir bentuk promo event yang cerdas dan menarik ketika pemerhati Budaya Jawa dan kraton KRAT Hendri Rosyad menggelar ultahnya secara simbolik di arena bazar bersama semua anak-cucunya, tepat di depan Bangsal Pangrawit. (Won Poerwono-bersambung/i1)