Kraton Juga Mengedukasi Soal Kesederhanaan, “Kelumrahan” dan Perjuangan Hidup
IMNEWS.ID – MENURUT KP Budayaningrat, antara ritual “adang” di Tahun Dal (1959) dan ritual Sekaten Garebeg Mulud, “ada hubungannya”, yaitu keduanya digelar di bulan Mulud (kalender Jawa). Dan dua peristiwa adat, tradisi dan budaya besar yang digelar Kraton Mataram Surakarta itu, terjadi di tahun 2025 ini. Keduanya seakan berjalan beriringan dan berurutan, terkesan memperlihatkan dua dimensi.
Sama-sama punya unsur sifat “kerakyatan”, tetapi punya perbedaan mendasar yang bisa melukiskan wajah lembaga Kraton Mataram (Islam) Surakarta, atau lembaga yang mendahuluinya. Dalam konteks keteladanan dan pusat edukasi nilai-nilai kehidupan berbasis Budaya Jawa, kraton mengajarkan nilai-nilai berbagi, nilai-nilai spiritual religi, nilai-nilai genetika penuh etika dan estetika dalam Sekaten Garebeg Mulud.

Nilai-nilai spiritual religi dilambangkan dalam ritual menabuh gamelan Sekaten atau “Sahadatain” yaitu Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari, gendhingnya Rambu dan Rangkung, lokasinya di dalam Kagungan-dalem Masjid Agung. Nilai-nilai spiritual kebatinannya didapat saat menikmati dua gendhing baku itu, dan sejumlah gendhing-gendhing pengisi di sela-selanya, yang semuanya ciptaan pada zaman Sinuhun PB V.
Nilai-nilai genetika, terletak pada sepasang Gunungan yang didoakan di Masjid Agung lalu dibagi-bagikan. Gunungan sepasang itu, adalah “gunungan pawestri” (perempuan) yang bentuknya gemuk melebar dan “gunungan kakung” (lelaki) yang bentuknya panjang meninggi. Keduanya adalah simbol kehidupan dan genetika yang menjadi kodrat kehidupan manusia di masa hidupnya, yang ditampilkan begitu rapi, indah dan jelas.

Sedangkan nilai-nilai kerakyatannya, tampak saat dibagi-bagikan kepada masyarakat pengunjung yang “ngalab berkah”. Berkah karena telah didoakan dalam “donga wilujengan” di Masjid Agung. “Dialap” (ngalab) atau didapat dan “dinikmati” atau dimanfaatkan dalam kehidupannya. “Ngalab berkah” hajad-dalem Gunungan Sekaten Garebeg Mulud atau jenis ritual lain di kraton, pasti didahului dengan “kalimat bijak”.
Kalimat bijak itu, terdapat pada bunyi “ujub dhawuh” yang diberikan “tindhih utusan-dalem” kepada abdi-dalem juru-suranata” yang memimpin doa. Bunyinya, “Yen uwis kadonganan, nuli kabage kang warata”. Yang artinya, setelah didoakan, lalu bagi-bagikanlah dengan merata. Konsep membagi-bagikan ini adalah nilai-nilai sedekah yang bersifat kerakyatan, simbol kraton (dulu negara) yang berkewajiban menghidupi rakyat.

Siimbol-simbol dari konsep itu memang sudah berubah rupa dan tata-laksana begitu besar, karena dari yang idealnya menerima dengan santun tetapi praktiknya dengan beringas menjarah. Perkembangan sosial kemasyarakatan di luar kraton memang luar biasa, keberingasan massa yang sudah mengalami “cedera psikis”, bisa mengulang kebiasaan buruk itu di mana saja tanpa mengenal di mana batas wilayah etika dan estetika.
Pada beberapa unsur yang bersentuhan langsung dengan perilaku “ngalab berkah” itulah, menjadi letak beda yang sangat menonjol ketika dibandingkan dengan ritual “adang” di Tahun Dal, yang sama-sama punya sifat unsur kerakyatan. Karena, hampir semua tahapan tatacara ritual “mbethak” atau menanak nasi dengan “dandang” Kiai Dhudha dan tiga “dandang pendhereknya” itu, utuh diangkat dari kebiasaan “rakyat petani”.

Padang ritual “adang”, nilai-nilai kesederhanaan, “kelumrahan” dan sekaligus perjuangan hidup lebih tampak menonjol sebagai edukasi untuk diteladani dalam kehidupan masyarakat adat, juga publik secara luas. Pada sisi ini yang menjadi pembeda jelas dengan ritual Sekaten Garebeg Mulud, ketika menjadi urutan event yang berdekatan digelar Kraton Mataram Surakarta, karena waktunya sama, di bulan Mulud.
Dalam kemasan upacara adat, ritual “adang” yang diperlihatkan menggunakan “dandang”, meskipun pusaka, esensi penggunaan segala perabot perlengkapan dan tahapan prosesnya, benar-benar sama yang dilakukan rakyat atau para kawula di zaman Ki Ageng Tarub dan setelahnya, yaitu zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma jumeneng nata di Kraton Mataram Islam yang berIbu Kota di Kutha Gedhe.

“Jadi, dari “Babad Ila-ila” Ki Ageng Sela yang juga bernama Kyai Abdul Rahman itu, bisa dikaji bahwa pada zaman Kraton Demak, ritual adang ini belum menjadi agenda di kraton. Demikian pula saat berganti Kraton Pajang. Saat Panembahan Senapati dan Prabu Hanyakrawati merintis Mataram Islam, kami belum menemukan data yang menyebut ritual ‘adang’ itu. Tetapi di zaman Sultan Agung, sudah jelas ada”.
“Karena, Sultan Agung yang menyatukan kalender Saka, Islam dan Masehi ke dalam Tahun Jawa. Beliau yang mengangkat ritual ‘adang’ menjadi agenda upacara adat di kraton dan menentukan waktunya tiap sewindu. Dalam Babad Sala, tradisi adang dan Sekaten dilakukan Sinuhun PB X (1893-1939) secara besar-besaran. Karena, di beliau jumeneng, Kraton Mataram Surakarta kaya-raya,” jelas KP Budayaningrat. (Won Poerwono – bersambung/i1)