Nasi Matang “Sempurna”, 400-an Warga Masyarakat Adat “Ngalab Berkah” Siang Tadi
SURAKARTA, iMNews.id – Serangkaian panjang peristiwa bersejarah yang hanya terjadi 8 tahun atau sewindu sekali di Kraton Mataram Surakarta, berakhir dengan “melegakan”, Senin (8/9) siang tadi. Peristiwa itu adalah upacara adat “adang sega” (menanak nasi) dengan “dandang” pusaka Kiai Dhdudha dan 3 “dandang pendherek”. Ritual berlangsung di beberapa tempat di dalam kraton, terutama “Pawon Gandarasan”.
Peristiwa “mbethak” dengan “dandang” atau alat memasak tradisional yang terbuat dari “tembaga” tebal itu, langka dan tak banyak diokenal publik atau kurang populer, karena hanya dilakukan kraton pada Tahun Dal yang kini berada di bulan Mulud 1959 (kalender Jawa). Rangkaian tatacara yang banyak dan waktunya panjang, membuat peristiwa bersejarah ini istimewa dan menarik, bahkan berkait dengan kosmologi Jawa.

“Betul. Jadi, sebenarnya inti dari tradisi ‘adang’ di Tahun Dal itu, adalah keteladanan menjalankan hidup sederhana kepada seluruh masyarakat Jawa dan generasi keturunannya. Dan tradisi ‘adang” adalah tradisi yang dilakukan kalangan petani. Mengingat, Ki Ageng Tarub yang memberi teladan dari kehidupannya adalah petani sederhana di desa (kini bernama Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan-Red)”.
“Karena proses ‘adang’ dilakukan dengan kekuatan doa para abdi-dalem ulama, maka tradisi ini menjadi upacara adat yang memancarkan kekuatan spiritual, dan menjadi simbol suasana kebatinan di saat ‘adang’ dilakukan. Apalagi, alat yang digunakan adalah ‘dandang’ pusaka (Kiai Dhdudha) dan semua elemen uba-rampe yang digunakan barang dari tempat terpilih yang jelas memberi kekuatan,” ujar KP Budayaningrat.

KP Budayaningrat, “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta yang dimintai pandangannya menegaskan kepada iMNews.id, Babadan Ila-ila Ki Ageng Sela yang dijadikan referensinya, melukiskan bagaimana Ki Ageng Tarub (ayah Ki Ageng Sela) memulai tradisi ‘adang’ di Tahun Dal. Tradisi itu lalu diteladani para leluhur yang menurunkan Dinasti Mataram, yang menyempurnakan dan memaknai sebagai ritual.
Penyempurnaan dan kekayaan makna tradisi “adang” sebagai upacara adat, karena Kraton Mataram Surakarta punya banyak Pujangga yang mampu memadukan kekuatan memandang jauh ke depan dengan doa para abdi-dalem ulama dari zaman ke zaman sejak nenek-moyang menurunkan Dinasti Mataram, dari generasi ke generasi. Ritual berbasis kesederhanan hidup itu, bahkan bisa menyentuh dimensi kosmologi kehidupan wong Jawa.

Kosmologi Jawa yang bisa diisyaratkan jalannya tahapan tatacara upacara adat “adang” dengan “dandang” Kiai Dhudha itu, sempat disinggung Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) saat menggelar “donga wilujengan” di awal dimulainya tatacara pertama, sekitar dua bulan lalu. Menurutnya, proses tahapan tatacara “adang”, jika dilakukan dengan taat pada paugeran adat, akan menghasilkan nasi yang “sempurna”.
Nasi yang sempurna dari ritual “mbethak”, akan memberi kekuatan dan banyak manfaat bagi yang meyakininya. Salah satu pantangan dalam proses “adang” itu, tidak boleh nasinya tersentuh tangan secara langsung saat ada upaya mencicipi tingkat kemasakannya, tidak “nglethis” atau “tanak”. Untuk itu, dalam setiap ritual ini digelar, selalu disediakan “enthong” pengaduk bertangkai panjang untuk keperluan itu.

“Maka, saya yang ikut mencicipi bisa menyatakan ‘tanak’, atau matang sempurna. Kalau hasil ritual ‘adang’ di tahun Dal sampai ‘nglethis’ atau nasi berwarna cokelat gelap dan mudah busuk, berarti ada sesuatu yang sifatnya teknis dan juga non-teknis. yang non-teknis ini, yang bersentuhan dengan kosmologi kehidupan itu. Tetapi, ‘adang’ yang ini saya merasakan berhasil,” ujar KGPH Puger di depan para wartawan.
Kakak kandung Gusti Moeng yang bernama KGPH Puger itu, dalam beberapa tahun terakhir mulai aktif hadir dalam berbagai upacara adat penting di kraton. Minggu malam (7/9), dia bersama jajaran Bebadan Kabinet 2004 ikut menunggui jalannya ‘adang’ di Pawon Gandarasan. Ditandai dengan penyerahan kayu bakar oleh Gusti Moeng, dilakukan “cetihk geni” dan mulai menanak pukul 20.00 WIB lebih, pukul 04.00 WIB baru selesai.

KGPH Puger, adalah satu di antara beberapa gelintir putra/-putri-dalem Sinuhun PB XII yang hadir dalam pisowanan ritual “adang” Tahun Dal 1959, Senin (8/9) siang tadi. Tetapi, ada sekitar 400-an kerabat sentana dan abdi-dalem serta warga masyarakat adat dari berbagai elemen yang juga hadir, sesuai prediksi. Karena, Bebadan Kabinet 2004 memutuskan beras “Raja Lele” yang “diadang” sebanyak 60 Kg.
Beras 60 Kg yang dimasak dengan 4 “dandang” di antaranya Kiai Dhudha, Kiai Rezeki dan Kiai Tambur, menurut KRMH Suryo Kusumo Wibowo sudah diperkirakan cukup untuk dicicipi sekitar 500 orang. Selesai didoakan dalam pisowanan di Bangsal Parasedya itu, nasi yang dikemas dalam ‘kap” kecil lalu dibagi-bagikan kepada semua yang sowan, agar dikeringkan dan bulirnya dicampurkan dengan beras yang ditanak. (won-i1)