Mencoba Kembalikan Tingalan Jumenengan Sesuai Paugeran Adat
SURAKARTA, iMNews.id – Mulai momentum upacara adat tingalan jumengandalem Sinuhun PB XIII, Kamis, 16 Februari ini, Kraton Mataram Surakarta akan menjadikan tonggak untuk mengembalikan pelaksanaan ritual sakral itu sesuai paugeran adat yang sudah disepakati dan berjalan turun-temurun. Upaya yang sedang diperjuangkan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa bersama seluruh bebadan dan elemen masyarakat adat itu, karena ada penyimpangan dalam tatalaksana upacara itu yang dianggap telah mengacaukan sistem tata-nilai adat yang berlaku.
“Tidak bisa kita tutupi, selama lima tahun kami di luar, ternyata tatalaksana upacara tingalan jumenengan tidak dijaga sesuai paugeran adat yang benar. Tetapi justru dibiarkan melenceng dan mengacaukan sistem tata nilai yang berlaku dalam upacara sakral itu. Kraton adalah kumpulan masyarakat adat, yang sudah sepakat berjalan sesuai paugeran peninggalan para leluhur Dinasti, yang sudah berjalan turun-temurun. Menjalankan tugas dan kewajiban sesuai paugeran adat serta berusaha menegakkannya secara konsisten, menjadi ciri masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta.”
“Maka, di situlah letak kehormatan, harkat dan martabat kraton. Kalau paugeran adat sudah tidak digunakan, terus bagaimana? Apa masih bisa disebut masyarakat adat? Apa bedanya dengan masyarakat di luar kraton?,” jelas Gusti Moeng dalam berbagai kesempatan memberi sambutan di lingkungan internal masyarakat, hingga saat menunggui latihan protokoler prajurit untuk penghormatan tingalan jumenengan di halaman Pendapa Sasana Sewaka, Minggu kemarin.
Dalam diskusi dengan beberapa sentana garap seperti KPP Bambang Kartiko, KRMH Saptonojati, KRMRAP Sinawung Waluyoputro dan beberapa yang lain termasuk KPH Edy Wirabhumi ditegaskan GKR Wandansari Koes Moertiyah itu, bahwa ruang Pendapa Sasana Sewaka yang tengah harus kosong, tidak diizinkan menjadi tempat duduk siapapun yang “sowan”. Ruang di tengah itu akan menjadi “panggung” untuk menyajikan tarian sakral Bedaya Ketawang, yang sudah dilatih lebih seminggu sejak Senin (6/2) lalu hingga Selasa (14/2) malam besok.
Sedang ruang tengah sisa yang tidak digunakan boleh menjadi tempat duduk yang sowan khusus bagi para sederekdalem (KGPH/GPH) dan sentanadalem yang punya silsilah asal-usul adat secara jelas, misalnya yang bergelar KPH, KPP, KPA, KP, KRMH dan sebagainya. Bila sudah penuh bisa turun ke teras Paningrat dan Maligi, yang bisa bergabung dengan kerabat yang bergelar di bawahnya, misalnya para ketua Pakasa cabang yang bergelar KRRA. Mereka yang boleh duduk di situ, selain sesuai dengan gelar dan kepangkatannya, juga mengenakan stelan busana adat yang sesuai dengan dengan gelar dan kepangkatannya.
“Jadi, tolong saat mulai masuk dan menuliskan identitasnya di buku tamu, bisa diseleksi identitas diri dan kesesuaian busana adatnya. Dari situ, yang among tamu bisa menunjukkan tempat yang sesuai dengan identitas dan busana adatnya. Intinya, yang bergelar Kanjeng Pangeran Anon-anon, tidak boleh duduk di ruang pendapa. Dari meja resepsionis, juga sudah harus diberi penjelasan, saat sudah berada di tempat masing-masing, sudah tidak boleh mondar-mandir, dilarang ngobrol, gojeg, merokok dan bermain HP. Handphone harus dimatikan. Ini upacara asakral,” tandas Gusti Moeng di hadapan para sentana garap yang akan ikut bertugas menjadi among tamu.
Di depan para prajurit saat menutup latihan, baik Gusti Moeng maupun KPH Edy Wirabhumi juga menegaskan bahwa undangan dan semua yang punya kewajiban mengikuti pisowanan agung tingalan jumenengan, pukul 08.00 WIB sudah harus masuk kraton. Sedangkan para prajurit yang harus berdandan mengenakan kostum seragamnya, disarankan datang di kompleks Pendapa Magangan pukul 06.00 WIB, agar bisa mempersiapkan diri dan memantas diri secara benar dan tepat waktu.
Mengenai soal gelar setinggi Kanjeng Pangeran yang selama 5 tahun lebih sejak 2017 terkesan diobral kepada sembarang orang atau pihak yang tidak jelas asal-usulnya secara adat itu, Gusti Moeng menegaskan mulai momentum tingalan jumenengan kali ini harus ditertibkan. Selain sudah menyimpang dalam tatalaksana pisowanan khususnya tingalan jumenengan, gelar pemberian atau “Anon-anon” yang tidak didukung silsilah alur keturunannya, juga sering digunakan secara tidak tepat alias hanya untuk mendukung sikap yang terkesan arogan.
Dalam beberapa kali wawancara dengan iMNews.id, menurut KP Budayaningrat selaku dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, seharusnya siapapun yang memiliki gelar kekerabatan dari Mataram Surakarta juga memiliki kapasitas yang sesuai dengan gelar dan pangkat yang disandang. Karena, gelar sesebutan yang diberikan kraton kepada siapa saja, di dalamnya melekat konsekuensi tuntutan terhadap kewajiban dan tanggung-jawab sesuai “apa kang dadi gawa-gawene”.
“Gawa-gawene itu adalah tuntutan untuk mencintai, mengembangkan dan terus menggunakan dalam kehidupannya, di lingkungan terkecil rumah tangga, hingga lingkungan kehidupan bermasyarakat. Sesudah mencintai, tentunya harus memahami dan menguasai. Soal apa?, soal budaya Jawa yang bersumber dari Kraton mataram Surakarta. Setidaknya bisa berbicara krama inggil dengan benar. Selalu menggunakan unggah-ungguh, tata krama, tata susila, udanegara dan juga tata busana secara benar ketika ada pisowanan di kraton. Syukur bage, paham betul soal sejarah kraton,” tunjuk Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu dengan tegas. (won-i1)