Ritual yang Meneladani Tradisi Para Leluhur, Sesuai Konsep Ilahiyah Budaya Jawa
SURAKARTA, iMNews.id – Setelah “dijamasi” bersih dan higienis, “dandang Kiai Dhdudha” malam mulai pkul 19.00 WIB ini diagendakan mulai digunakan untuk ritual “adang” atau “mbethak sepisanan” (kali pertama). Ritual menanak nasi dengan “dandang” pusaka peninggalan Sultan Agung itu, akan ditandai dengan penyerahan kayu bakar secara simbolis oleh Gusti Moeng kepada abdi-dalem yang bertugas “adang”.
“Jadi, acaranya nanti malam adalah ‘cethik geni’ pertama kali untuk ‘adang sepisanan’. Rencananya, Gusti Wandan (Gusti Moeng-Red) akan menyerahkan kayu bakar secara simbolis kepada abdi-dalem yang bertugas ‘adang’. Jadi, pisowanan untuk jajaran Bebadan Kabinet 2004 ya di Pawon Gandarasan itu. Tapi biasanya yang lebih dulu menunggu di Bangsal Smarakata, baru bersama-sama menuju Gandarasan,” ujar KPP Sinawung.

KPP Haryo Sinawung Waluyoputro (Wakil Pengageng Karti Praja) adalah trah darah-dalem Sinuhun PB IX, yang dalam beberapa tahun terakhir sangat diandalkan “keberaniannya” untuk mengawal upacara-upacara adat penting yang digelar kraton. Karena, dari usianya tergolong paling muda di antara para sentana darah-dalem yang duduk dalam jajaran Bebadan Kabinet 2004, sementara yang lain sudah di atas 60 tahun.
Saat dimintai konfirmasi iMNews.id Minggu (7/9) siang tadi dia membenarkan, dari rangkaian upacara adat “adang” di Tahun Dal 1959 ini, malam nanti hanya ada agenda tunggal, yaitu “cethik geni” untuk memulai “adang sepisanan”. “Cethik geni” atau membuat api dari kayu sebagai energi untuk menanak nasi, akan ditandai dengan penyerahan kayu bakar secara simbolis yang diagendakan akan dilakukan Gusti Moeng.

Kayu bakar itu, sebelumnya dituturkan Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), dikumpulkan dari beberapa tempat tertentu yang memiliki hubungan sejarah dengan Kraton Mataram Surakarta dan para leluhur Dinasti Mataram. Misalnya dari sekitar Masjid Demak, lingkungan makam Ki Ageng Sela dan sebagainya, mirip lokasi pengambilan air dan tanah.
Seperti diketahui, rangkaian tatacara ritual “mbethak” atau “adang” dengan “dandang Kiai Dhudha”, Sabtu pagi (6/9) sampai tahap prosesi membawa “dandang” dari tempat penyimpanan ke Pawon Gandarasan. Di samping dapur umum kraton itu, “dandang” lebih dulu dijamasi agar bersih dan higienis dalam sebuah ritual yang dipimpin Gusti Moeng. Para abdi-dalem ulama mengiringi dengan doa dan shalawat.

Begitu selesai dijamasi, “dandang Kiai Dhdudha” diseka dengan handuk, dibungkus mori putih dan diusung empat abdi-dalem menuju tempat “palereman”nya di ruang pusaka Pawon Gandarasan. Menurut Gusti Moeng yang dimintai konfirmasi, kemarin, tempat penyimpanan “dandang” pusaka ini sempat berpindah tiga kali hingga terakhir di kompleks Kraton Kulon. Sebelumnya, pernah di Bangsal Purwakanthi dan ndalem Tasikdulan.
“Dua tempat penyimpanan yang digunakan oleh Sinuhun PB X itu, mengalami musibah kebakaran. Semula di Bangsal Puwakanthi, bangunannya terbakar. Kemudian di kagungan-dalem eyang (prameswari) Tasikwulan, kok yang kobongan (terbakar) lagi. Saya yang merawat di salah satu ruang di Bangsal Keputren. Lalu Sinuhun bapak (PB XII-Red), dhawuh untuk menyimpan di kompleks Kraton Kulon sampai sekarang ini,” ujar Gusti Moeng.

Upacara adat “adang sega” atau menanak nasi dengan “dandang” pusaka saat jatuh bulan Mulud Tahun Dal 1959 ini, termasuk tradisi unik yang mungkin hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta. Ritual ini hanya dilakukan sewindu sekali di tahun kelima, yaitu “Dal” dari urutan tahun Jawa yang ada delapan. Menurut KP Budayaningrat, tradisi ini dilakukan sejak Panembahan Senapati merintis “negara” Mataram Islam.
Tradisi itu disempurnakan Raja ketiga “negara” (monarki) Mataram, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, terutama yang menyusun kalender hitungannya dengan merangkum kalender Hijriyah, Saka dan Masehi ke dalam Tahun Jawa. yang diteladani dalam ritual itu, adalah Ki Ageng Tarub saat menggelar ritual “mantu” Dewi Nawangsih, melakukan “mbethak sepisanan”, pasang “tuwuhan” dan menaikkan “bleketepe”.

“Keluarga besar Kraton Mataram Surakarta dan masyarakat Jawa menjalankan tradisi itu, untuk meneladani piwulang luhur yang dicontohkan. Yaitu menghormati dan memuliakan para leluhurnya yang sering disebut ‘Mikul dhuwur, mendhem jero’. Yang artinya, selalu ingat dan meneladani kebaikan para leluhur, dan berusaha menghapus atau menyingkirkan jauh-jauh hal-hal buruk para pepundhen dan leluhurnya”.
“Budaya Jawa yang selalu dipegang masyarakatnya, karena ada konsep dasarnya. Dalam konsep Budaya Jawa yang Ilahiyah, yaitu menghormati para leluhur mulai dari orang-tua kita. Wong Jawa meyakini, Tuhan YME tidak akan menerima siapa saja, sebelum menghormati para leluhur, mulai dari orang-tuanya, yang lebih dulu diutus ke dunia. Titik penting konsep ini adalah teladan kesederhanaan,” tandas KP Budayaningrat. (won-i1)