Fenomena “Sisi Lain” Profesi Dalang Wayang Kulit “Gagrag Surakarta” (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 31, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Fenomena “Sisi Lain” Profesi Dalang Wayang Kulit “Gagrag Surakarta” (seri 2 – bersambung)
MEMULAI POSITIF : Dalang muda Ki Amar Pradopo (20), sudah memulai perjalanan profesinya sebagai dalang tetap berada pada jalurnya dari mana asal-mula "kawruh" seni pedalangan yang dimiliki berasal. Apakah dia akan selalu konsisten pada kesadaran asal-mula "kawruh" yang dimilikinya secara "cuma-cuma" itu?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ki Panut Darmoko Memahami Konsekuensi “Nggawa Jeneng Kraton” dan “Gawe Ngerti Liyan”

IMNEWS.ID – SEPANJANG pengamatan iMNews.id mengikuti perjalanan Kraton Mataram Surakarta di satu sisi dan perkembangan dunia seni pedalangan di sisi lain dalam 3-4 dekade sampai awal tahun 2020-an, bisa melihat dengan jelas bagaimana posisi masing-masing. Kemudian, juga bisa dilihat dengan jelas bagaimana hubungan antara kedua “wilayah” tersebut dalam konteks pengetahuan atau “kawruh”.  

Seniman dalang Ki Panut Darmoko (Madiun-Jatim), adalah contoh figur tokoh dalang profesional yang konsisten pada “piwulang luhur”, yang sering diucapkan saat menjalankan profesinya di depan “kelir” atau mendalang. “Kacang Ora Ninggal Lanjaran” dan “Titah Ora Lali Marang Purwa-duksinane”, adalah adagium bijak yang sangat dipahami dan sudah diwujudkannya secara konsisten”

“Piwulang luhur” yang sudah diwujudkan secara konsisten oleh Ki Panut Darmoko, adalah “gawa-gawe” dan “labuh-labet” baik sebagai abdi-dalem Kraton Mataram Surakarta, maupun sebagai seseorang yang merasa mendapatkan “rezeki” dari “kawruh” yang berasal dari kraton. Bahkan, yang didapat selama menjadi dalang profesional sampai akhir hayatnya beberapa tahun silam, lebih dari sekadar rezeki.

SAAT DIWISUDA : Ki Warseno Slenk (alm), semasa hidupnya juga “pernah” datang ke Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya Budaya Jawa, termasuk “kawruh” seni pedalangan “gagrag” Surakarta itu. Misalnya, saat mendapatkan gelar kekerabatan yang diserahkan Sinuhun PB XII secara langsung, sebelum 2004. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Caranya “memperlakukan kawruh” seni pedalangan dalam profesi yang dijalankan, jelas memperlihatkan bagaimana Ki Panut Darmoko sangat menjunjung tinggi kaidah estetika dan etika seni pedalangan. Lebih dari itu, dia adalah dalang yang benar-benar bisa mewujudkan segala jenis “piwulang luhur” yang berada di balik seni pertunjukan wayang kulit, dalam kehidupan kesehariannya sebagai wong “Jawa”.

Ilustrasi dalam pendekatan salah satu sisi biografi Ki KRT Panut Darmoko ini, bisa menjadi contoh bagi kalangan seniman dalang lain yang punya keinginan menjadi “Dalang Sejati”. Dan karena dedikasi serta kesetiaannya sebagai abdi-dalem dalang yang suwita di kraton sampai akhir hayat, bisa menjadi “kaca brenggala” bagi kalangan seniman dalang muda untuk meneladani keluhurannya.

Mungkin karena berbagai alasan itu, Ki KRT Panut Darmoko menjadi satu-satunya dalang yang dipilih dan dipercaya menggelar pentas wayang “ruwatan” bagi Sinuhun PB XII dan semua putra-putrinya, beberapa tahun 2004. Media iMNews.id yang waktu itu masih bergabung di harian Suara Merdeka, menyaksikan bagaimana Ki Panut Darmoko menjalankan tugasnya menggelar pentas wayang untuk “ngluwari sengkala”.  

FENOMENA DALANG : Beberapa figur di atas, dua di antaranya adalah tokoh dalang terkenal sebelum tahun 2004, ketika diundang saat ada penyerahan gelar kekerabatan. Mungkin karena kesibukan profesi dan kondisi lainnya, setelah itu mereka nyaris tak pernah kelihatan di kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tugas menggelar wayang “ruwatan” dengan lakon “Murwakala” terhadap Sinuhun PB XII dan semua putra-putrinya, berlangsung di “gedhong” Sasana Handrawina. Sangat mungkin, “ruwatan” itu juga sekaligus untuk “menghilangkan/menyingkirkan sengkala” dari bangunan Sasana Handrawina, yang paling akhir dibangun kembali jauh setelah Pendapa Sasana Sewaka, yang sama-sama kena musibah kebakaran di tahun 1985.

Ki KRT Panut Darmoko adalah dalang yang usianya beberapa tahun lebih tua dari generasi dalang Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono dan beberapa dalang lain seusia yang terkenal dan laris pada 3-4 dekade lalu. Namun, dia tidak berada dalam “satu arus” trend seni pedalangan yang “menghalalkan segala cara” agar sajian pakelirannya bisa disebut “sesuai tuntutan zaman” dalam arti “selera pasar”.

Almarhum dalang yang murah senyum itu diberi umur panjang sampai bisa hadir di setiap kraton menggelar berbagai upacara adat. Bahkan, sampai periode kepemimpinan di kraton berganti mulai 2004, hingga akhir hayat sebelum pandemi Corona di usia 70-an tahun. Ki Panut selalu tampak tidak canggung untuk berbaur para abdi-dalem lain, ketika mengikuti prosesi ritual hajad-dalem Sekaten di Masjid Agung.

DI ANTARA SEDIKIT : Nyi MT Rumiyati Anjangmas adalah wanita dalang satu-satunya yang diundang ke kraton untuk menggelar pentas wayang “ruwatan” di kraton mulai periode 2004 hingga kini. Tetapi mungkin karena kesibukan dan kondisi kesehatannya, sudah jarang kelihatan di kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penulis sering mendapati Ki Panut Darmoko sedang berjalan kaki melewati Jalan Supit Urang Wetan, saat  hendak “sowan” ke kraton di saat ada ritual “Ngisis Ringgit” atau pisowanan upacara adat seperti Garebeg Mulud misalnya, sebelum tahun 2020. Dia tidak turun dari mobil sedan atau minibus mewah seperti beberapa tokoh dalang “sezaman”, yang sukses secara ekonomi dan “kasta sosialnya” karena “berani”.

Karena Ki KRT Panut Darmoko mungkin “tidak berani” menerjang “etika dan estetika” seni pedalangan dan sisi lain yang berkait dengan sikap spiritual religi dan kebatinannya, maka dia justru dipilih dan dipercaya menggelar wayang “ruwatan” oleh Sinuhun PB XII. Dialah satu-satunya dalang sepuh spesialis “ruwatan” yang diundang pentas di dalam lingkungan sakral kraton.

Dalam perjalanan sejarah Kraton Mataram Surakarta menjadi pusat dan sumbernya “kawruh” Budaya Jawa sampai Sinuhun PB XII, memang baru ada nama Ki KRT Panut Darmoko seorang yang mendapat kehormatan pentas wayang ruwatan keluarga “Raja” di dalam kraton. Nama-nama abdi-dalem dalang “ruwat” untuk keperluan di luar, ada sendiri dan dulu banyak terdapat di sekitar hutan Cagar Alam Danalaya.

SADAR DAN KONSISTEN : Mungkin hanya Ki KRT Panut Darmoko (alm), satu-satunya dalang yang dipercaya menggelar wayang “ruwatan” keluarga besar “Raja” di kraton, sebelum 2004. Abdi-dalem dalang ini terkesan konsisten pada pengabdiannya dan sadar asal-usul “kawruh” pedalangan yang dimiliki. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika dianalisis lebih lanjut, cara Ki Panut Darmoko “memperlakukan kawruh” seni pedalangan dan cara menempatkan kraton sebagai sumber peradabannya, jelas sangat beda dibanding sejumlah banyak figur dan tokoh dalang “gagrag” Surakarta. Karena, sampai akhir hayat almarhum tetap setia pada “estetika dan etika profesi” dan “estetika dan etika” kehidupan seorang seniman yang juga abdi-dalem dalang.  

Dia jelas tidak terpengaruh arus yang “menghalalkan segala cara” untuk mendapatkan kekayaan dan kasta sosial dari “kawruh” seni pedalangan yang dimiliki dan dijalankan oleh para dalang kebanyakan. Dia tetap “humble” dan menjunjung tinggi kewibawan kraton, sebagai sarana mendapatkan faktor “X” yang bisa memberi kehidupan dan ketenteraman lahir-batin dalam kehidupannya, bukan kekayaan materi dan kasta sosial.

Dia tidak “menghilang” setelah sukses karena “kawruh” seni pedalangan dari “kawruh Budaya Jawa” yang sumbernya dari Kraton Mataram Surakarta. Dia tidak pernah tampak dan tak terkesan diselimuti ego kasta sosial, seperti dalang lain yang merasa sukses secara ekonomi dari profesinya. Sampai akhir hayat, dia tetap “nggawa jeneng kraton”, “gawe ngerti liyan” dan konsisten pada keluhuran seni Budaya Jawa. (Won Poerwono – bersambung/i1)