Ada Sisi Positif “Lawyer” Sinuhun PB XIII, Bisa Hentikan Posisi “Kondhang”
SURAKARTA, iMNews.id – Beredarnya berita di beberapa media mainstream dalam sepekan terakhir, kembali menghangatkan polemik soal sisa masalah di Kraton Mataram Surakarta. Senin (19/5) siang tadi, Sigit Nugroho Sudibyanto SH MH selaku “lawyer” Lembaga Dewan Adat dan Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta, menggelar konferensi pers untuk menanggapinya.
Konferensi pers yang digelar “lawyer” LDA dan LHKS untuk seluruh proses gugatan penyalahgunaan SK Kemendagri No. 430-2933 tahun 2017 di sebuah rumah makan, siang tadi, juga dihadiri KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Eksekutif LHKS. Ada sekitar 10 awak media yang hadir melakukan tanya-jawab, baik kepada “lawyer” soal sisi hukumnya maupun KPH Edy soal lembaga kraton.
Sigit Nugroho pada intinya menegaskan, bahwa putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) RI No.1006/PK/Pdt/2022 yang dieksekusi pada 8 Agustus 2024, telah mengembalikan Lembaga Dewan Adat (LDA) secara penuh, final, tetap dan mengikat. Oleh sebab itu, semua produk hasil “penyalahgunaan” SK Kemendagri No.430-2933 tahun 2017, dinyatakan sudah tidak berlaku.

“Kalau pihak lawyer (Sinuhun PB XIII-Red) tetap menyatakan bahwa perjanjian perdamaian tahun 2017 sah dan mengikat, itu sudah dibatalkan semua oleh putusan PK MA itu. Terlebih, banyak yang mencabut diri dari perjanjian damai itu, karena draf yang sudah diparaf tidak sama dengan yang dijadikan pertimbangan hukum pada gugatan SK Kemendagri itu,” ujar Sigit.
Menurut Sigit, dengan keluarnya putusan PK MA itu seluruh proses hukum atas gugatan penyalahgunaan SK Kemendagri itu sudah final dan mengikat. Pihak tergugat sudah dinyatakan sebagai “terhukum” atau pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum (PHM), yang konsekuensinya harus menjalankan putusan itu. Di sisi lain, posisi dan status LDA kembali seperti 2004.
Sementara itu, KPH Edy Wirabhumi juga berkesempatan memberi penjelasan khusus soal upaya-upaya di luar proses dan putusan hukum tertinggi itu. Yaitu melakukan pendekatan secara pribadi kepada beberapa figur yang berkait dengan gugatan itu, yaitu Sinuhun PB XIII dan dua tokoh pejabat “Pengageng” versi “penyalahgunaan” SK Kemendagri yang sudah tidak berlaku.

“Sejak awal saya sudah bilang, dan selalu saya ulang tiap ada kesempatan berdialog dengan rekan-rekan wartawan. Bahwa kemenangan atas gugatan ini dengan keluarnya putusan MA ini, bukan berarti kemenangan bagi Gusti Moeng atau sepihak saja. Tetapi kami jadikan sebagai kemenangan untuk semuanya, termasuk bagi Sinuhun PB XIII, untuk kembali merukunkan semuanya”.
“Secara pribadi, kami baik-baik saja hubungannya dengan Sinuhun, juga dengan dua figur yang disebut tadi, bahkan dengan putra/putri (Sinuhun PB XII-Red) lainnya. Tetapi, ya begitulah sisi lain lawyer-nya Sinuhun. Teman-teman semua sudah tahu yang saya maksud. Tetapi, saya justru melihat sisi positifnya, yaitu menghentikan/mengakhiri posisi ‘kondhang'”.
“Saya sempat matur kepada Sinuhun, bahwa putra beliau hanya ada dua. Kami matur, karena faktanya demikian saya berharap keduanya diajak untuk belajar bekerjasama demi masa depan kraton yang lebih baik. Ketika saya matur demikian, Sinuhun juga manggut-manggut, kesannya setuju. Tetapi sebenarnya bisa saja saya keliru, karena yang dimaksud bukan itu,” ujar KPH Edy.

Dalam sesi tanya-jawab itu, selain menanyakan soal bagaimana proses ke arah rekonsiliasi di luar proses hukum untuk menindaklanjuti putusan MA itu, juga diungkapkan soal “hak jawab”. Di antara beberapa wartawan itu menyebut, hak jawab yang diterima dari LDA, sebenarnya agak keluar dari materi pemberitaan, tetapi tetap dipasang karena ada tanggapan pihak “lawan”.
Berkait dengan penjelasannya di atas pula, KPH Edy menegaskan bahwa eksekusi putusan PK MA yang dilaksanakan tim eksekusi Panitera Pengadilan Negeri (PN) Surakarta pada 8 Agustus 2024, memang sangat beda dibanding eksekusi pada berbagai perkara sngketa hukum lainnya. Misalnya sengketa soal hak atas sebidang tanah, yang dilakukan dengan penjagaan super ketat.
“Memang tidak seperti eksekusi pada putusan hukum atas sengketa tanah atau yang lain misalnya, yang harus dikawal berbagai aparat kemanan secara ketat dengan menggunakan alat berat. Yang terjadi di kraton ini, adalah sengketa penyalahgunaan wewenang, wujudnya produk kebijakan. Apalagi, eksekusi dilakukan setelah Bebadan Kabinet 2004 sudah di dalam kraton”.

“Artinya, kondisi dan situasinya memang tidak mungkin dilakukan eksekusi yang bisa mengundang perhatian publik dan persepsi yang salah. Maka, saya justru yang minta, pelaksanaan eksekusi tidak perlu dikawal semua elemen aparat keamanan. Kami minta yang berseragam menunggu di Polsek Pasarkliwon dan yang masuk kraton berbaju batik saja,” sebut KPH Edy.
Situasi dan kondisi yang dinilai memang sudah tidak memungkinkan dilakukan eksekusi “versi sebenarnya” yang dikawal berbagai aparat keamanan berseagam lengkap pada 8 Agustus 2024 itu, karena objek yang dieksekusi memang berbeda. Yang digugat adalah penyalahgunaan SK Kemendagri, termasuk penutupan seluruh akses pintu keluar-masuk ke kraton mulai April 2017.
Bebadan Kabinet 2017 yang dipimpin Gusti Moeng bisa masuk kraton pada 17 Desember 2022 dan bisa bekerja kembali di dalam mulai 1 Januari 2023, tetapi sudah tidak ada lagi simbol untuk melukiskan peristiwa eksekusi. Menurut KPH Edy, Eksekusi “gaya kraton” yang santun ini, untuk menghindari “rasa malu”, tetapi justru dianggap tidak serius atau hanya iseng. (won-i1)