Mengapa Terlalu Mudah Menetapkan yang Gugur “Dalam Suasana Perang” Jadi Pahlawan? (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:May 13, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Mengapa Terlalu Mudah Menetapkan yang Gugur “Dalam Suasana Perang” Jadi Pahlawan? (seri 4 – habis)
SINUHUN PB X : SISKS Paku Buwana X (1893-1939) adalah raja yang paling beruntung dalam sejarah Mataram Surakarta. Semua kontrak sewa tanah dibayar Belanda pada zamannya, yang membuatnya "kaya-raya" tetapi kekayaannya "dimanfaatkan" untuk membangun berbagai fasilitas publik yang masih banyak tersisa hingga kini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penguasa Keliru Mengedukasi Warganya, Kota Surakarta Malah Dipenuhi Nama Pahlawan “tak Dikenal”

IMNEWS.ID – BILA mencermati liku-liku proses mekanisme prosedur pengusulan nama seseorang untuk mendapatkan gelar “Pahlawan Nasional” seperti yang sedang ditangani Senat FT UST (Unsarwi) Jogja, sebenarnya sulit untuk lolos dari seleksi ketat itu. Apalagi tokoh yang ditakar banyak jasanya, setidaknya berkapasitas pribadi selengkap milik Sinuhun PB XII.

Karena kaya dan besar jasa-jasanya bagi republik termasuk TNI, juga bagi peradaban secara luas di republik ini, ditambah kapasitas pribadi penuh, maka wajar kalau tim pengusul yang dipimpin Dekan FT UST, Dr Iskandar Yasin “kagum”. Karena, “segala persyaratan” mendasar yang “ditakar” lebih dari cukup, tim terkesan “heran”, mengapa selama ini tak ada yang peduli?.

Pertanyaan itu sudah lama muncul, setidaknya beberapa waktu setelah Sinuhun PB XII wafat di tahun 2004. Mungkin saja di antara publik merasa malu/takut mengungkapkan tasa herannya, sehingga terkesan cocok dengan sebutan “tak ada yang peduli”. Mungkin saja, publik sudah “teracuni” oleh sikap “apriori” beberapa gelintir tokoh yang “mengatasnamakan” kekuasaan.

STADION SRIWEDARI : Stadion Sriwedari dibangun Sinuhun PB X (1893-1939) di tahun 1930-an pada zaman Kraton Mataram Surakarta, tetapi di zaman republik justru dinamakan orang asing yang tak dikenal warga Kota Surakarta, bukan nama besar Pahlawan Nasional itu. Aneh sekali ‘kan?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hanya beberapa gelintir tokoh yang selalu mengekspresikan sikap pribadinya sebagai sikap “penguasa”, selalu menebarkan sikap apriori dan sentimen pribadi terhadap Kraton Mataram Surakarta dan para tokoh pemimpinnya. Karena seperti Sinuhun PB XII misalnya, dituduh “pro-Belanda” dan “antek Belanda”, padahal saat jumeneng nata Nusantara dijajah Jepang (1943-1945).

Ketika menakar bobot “Pahlawan Nasional” pada ketokohan dan jasa-jasa Sinuhun PB XII, justru banyak memunculkan pertanyaan. Misalnya, siapa jati diri sebenarnya nama-nama tokoh yang dijadikan nama jalan besar, utama dan jalan penting yang ada di dalam Kota Surakarta?. Seberapa bobot ketokohan dan apa jasa-jasanya terhadap republik dan Kota Surakarta?

Faktanya bisa dilihat di berbagai sudut dan jalan kota, siapa saja nama mereka yang menjadi nama jalan dan patung yang menghiasi Kota Pujangga ini?. Mereka pernah berjasa di bidang apa? Kapasitas pribadinya sebesar apa dan di bidang apa? Mengapa begitu mudah mereka menghiasi ruang Kota Surakarta, padahal banyak yang lebih layak, rasional dan “berhak”.

PAHLAWAN NASIONAL : Sinuhun PB VI (1823-1830) lebih pantas menghiasi Kota Surakarta sebagai nama-nama jalan penting atau berupa monumen, dibanding nama-nama “pahlawan tak dikenal” dan tak jelas jasa-jasanya. Pahlawan Nasional ini ditangkap dan ditembak mati Belanda, karena “membiayai” perang Pangeran Diponegoro. (foto : iMNews.id/Dok)

Kalau yang dijadikan takaran karena gugur di medan peperangan mengusir atau melawan penjajah, sebenarnya masih bisa dievaluasi. Karena, tidak semua tokoh yang meninggal dalam “suasana perang” layak disebut/dinobatkan sebagai pahlawan. Jauh berbeda konteksnya, setelah “perang Diponegoro”, Sinuhun PB VI wafat ditembak kepalanya oleh Belanda saat keluar dari pengasingan.

Itu baru ditakar bobot ketokohan dan jasa-jasanya, bukan karena meninggal dalam suasana perang. Bagaimana seandainya ditakar menggunakan proses mekanisme prosedur seperti yang diberikan untuk Sinuhun PB XII itu?. Bisakah sejumlah tokoh yang “disebut pahlawan” dan namanya menghiasi ruang Kota Surakarta itu bisa memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah?.

Kalau syarat proses dan mekanisme prosedur yang ditentukan pemerintah pada 2-3 dekade terakhir juga diberlakukan bagi “sejumlah pahlawan” yang “terkesan asing” bagi warga Kota Bengawan khususnya itu, maka akan banyak melahirkan anggapan diskrimintif. Karena, terlalu mudah nama-nama yang tak jelas jatidirinya menjadi pahlawan, hanya karena meninggal dalam suasana perang.  

SIMPANG PB VI : Masyarakat Kabupaten Boyolali termasuk peduli pada tokoh yang dulu pernah singgah di wilayahnya, bersama Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang melawan Belanda. Hingga akhirnya, memuliakan nama Sinuhun PB VI sebagai nama jalan “Simpang PB VI” di objek wisata Selo itu, beberapa tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena, proses dan mekanisme prosedur yang digunakan pemerintah untuk menakar bobot dan jasa-jasa seseorang memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional beberapa dekade lalu “seringan” dan semudah” itu, maka mungkin perlu ditambah lagi persyaratannya. Yaitu perlunya kejujuran untuk menakar mana yang pantas atau layak menghiasi ruang publik Kota Surakarta?.

Karena, Sinuhun PB II adalah “Bapak Pendiri” Kota atau “Nagari” Surakarta Hadiningrat, Sinuhun PB IV dan SP MN IV beberapa nama “Pujangg Besar Surakarta”, adalah “Pelopor Literasi” kelas dunia untuk Kota Surakarta. Sinuhun PB VI sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Begitu pula Sinuhun PB X, yang membangun Stadion Sriwedari dan berbagai fasilitas publik lain.

Fasilitas publik yang banyak dibangun Sinuhun PB X khususnya di Kota Surakarta, kini masih banyak didapati seperti Taman Sriwedari yang “disengketakan” lalu dihibahkan menjadi masjid, Pasar Gedhe Hardjonagoro dan lainnya. Patih Sosrodiningrat V yang “diminta” Soekarno-Hatta merintis tata-kelola rumah-tangga “Istana Negara”, adalah salah satu korban penculikan PKI.

PENDIRI SURAKARTA : Sinuhun PB II yang sama sekali belum disebut pantas emndapat gelar pahlawan, tetapi jasa-jasa dan nama besarnya sebagai Pendiri Kota Surakarta pada 20 Februari 1745, sangat layak “dimuliakan” sebagai nama jalan atau monumen di pintu masuk kota di Kerten, misalnya. (foto : iMNews.id/Dok)

Bila mau menakar secara jujur dan objektif, masih banyak lagi nama-nama tokoh Mataram Surakarta yang pantas “dimuliakan” menjadi Pahlawan Nasional, jadi monumen penghias kota dan diabadikan menjadi nama-nama jalan penting di dalam kota. Monumen Sinuhun PB II atau Sinuhun PB X, lebih layak menghiasi perempatan Gladag dari pada “tentara” yang mengacungkan pistol.  

Nama Sinuhun PB X sangat layak/pantas menjadi nama stadion di kawasan Sriwedari yang dibangun zaman Mataram Surakarta tahun 1930-an itu. Dari pada monumen aktivitas membatik menghias pintu masuk Kota Surakarta di Kerten, nama-nama besar beberapa seperti Sinuhun PB II atau beberapa nama Pujangga Surakarta, lebih rasional, pantas dan layak dibangun di sana.

KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, seorang trah darah-dalem Sinuhun PB V dan PB X, yang banyak protes di media sosial dalam dua tahun terakhir. Dia merasa ada kekeliruan penguasa dalam mengedukasi warganya, karena Kota Surakarta justru dipenuhi nama-nama “pahlawan” tak dikenal, bukannya nama para leluhur Mataram Surakarta yang jelas besar jasanya. (Won Poerwono – habis/i1)