“Sinyal” Penting Dilempar, Ultah “Istana Mataram” Sebagai Refleksi Sejarah
IMNEWS.ID – KALAU serangkaian “peristiwa hukum” yang selama ini terjadi berkesan “sengaja dibuat buntu demi hukum”, maka sebenarnya “aksi duplikasi sumbangan” seperti ritual Malem Selikuran itu, jelas menjadi contoh buruk penguasa yang tidak menjalankan amanat konstitusi. Jadi, sejak awal NKRI sudah ada daftar panjang soal pelanggaran konstitusi oleh penguasa.
Pelanggaran konstitusi penguasa terhadap pasal 18 UUD 45 dan beberapa aturan turunannya khususnya yang menjadikan kraton sebagai korbannya, tidak salah kalau disebut “didiamkan” tanpa ada reaksi publik sedikitpun. Ini menjadi persoalan menarik dan aneh di republik ini, yang sangat berkebalikan ketika ada kasus korupsi, pengoplosan Pertamax dan sebagainya.
Perbedaan suasana reaksi publik yang terkesan bertolak-belakang itu memang bisa dipahami dan dimaklumi, karena pasal-pasal peraturan yang dilanggar itu, tidak populer atau tidak berkait dengan hajad-hidup rakyat jelata atau kelas bawah. Sementara, kasus pelanggaran konstitusi dan beberapa aturan turunannya, lebih dipahami sebagai kepentingan “masa lalu”.
Jadi, wilayah yang pernah disebut eks Karesidenan Surakarta yang di dalam ayat 2 Pasal 18 UUD 45 sebagai satu Daerah Istimewa dari 8 provinsi yang menjadi wilayah NKRI (waktu itu), hanya dianggap sebagai “kasus masa lalu”. Kemudian, Perpres No. 29 Tahun 1964 yang turunannya berupa SKB Tiga Menteri, apakah juga dianggap “masa lalu” yang tidak penting?.

Kalau benar demikian, berarti kalangan penguasa memang sengaja “mebiasakan diri” untuk mengelola negara ini dengan melanggar konstitusi. Dan itu adalah fakta yang sudah terjadi dari dulu hingga kini, mulai dari pusat kekuasaan NKRI hingga penguasa di Kota Surakarta. Dan contohnya, adalah “aksi duplikasi sumbangan” untuk ritual Malem Selikuran.
Kebiasaan menjalankan pemerintahan dengan cara-cara “inkonstitusional” seperti itu memang terkesan tendensius, karena ada tujuan tertentu atau skenario besar untuk Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, pelanggaran konstitusi yang merampas rasa keadilan bagi kraton itu, nyaris tak mendapat perhatian publik, karena dianggap tidak “menyangkut kepentingannya”.
Hal terakhir yang disebut “tidak menyangkut kepentingan” publik secara luas itu, mungkin yang dimaksud adalah kepentingan atau kebutuhan “perut” semata. Memang, persoalan kebutuhan kemakmuran di bidang pangan yang berkait dengan tingginya tingkat kemiskinan di Tanah Air, hingga NKRI berusi 80 tahun ini memang masih menjadi masalah serius soal “rasa keadilan” itu.
Suasana haus rasa keadilan dalam bentuk kemakmuran di bidang pangan yang menjadi masalah serius hampir seusia republik ini, terkesan malah menjadi objek (alasan politik) oleh kalangan penguasa. Maka tidak aneh, di saat menjelang Pemilu-Pilpres, selalu muncul “propaganda” tentang alasan menggelontorkan berbagai bentuk bansos besar-besaran, terutama pangan.

Oleh sebab itu, sampai kapanpun masyarakat adat kraton berjuang untuk mendapatkan rasa keadilan di bidang seperti hak konstitusional yang tertulis dalam Pasal 18 UUD 45 dan berbagai peraturan turunnya itu, tak akan mendapat perhatian publik. Karena, publik sudah dibiasakan “haus” rasa keadilan di bidang kemakmuran pangan, sementara tidak untuk “budaya”.
Kalau kalangan guru bangsa dan para pemerhati budaya bangsa pernah menyampaikan aksi keprihatinan dan menegaskan bahwa rakyat butuh pembangunan akhlak dan kepribadian, bukan hanya soal materi (pangan), itulah fakta rasa keadilan yang hingga kini sebenarnya juga terampas. Dan rasa keadilan di bidang itulah, yang dalam tiga dekade ini diperjuangkan Gusti Moeng.
Karena, rasa keadilan di bidang kemakmuran “pangan” sesungguhnya juga menyangkut kebutuhan rohani dan batiniah, walau dikategorikan masuk bidang spiritual religi dan kebatinan untuk memelihara kebersihan akhlak dan kepribadian bangsa. Budaya Jawa telah dikenal peradaban masa lalu sebagai kebutuhan pemeliharaan mental, moral dan spiritual peradaban bangsa.
“Abuse of power” karena penyelenggaraan pemerintahan secara inskonstitusional, bisa diartikan mengabaikan kebutuhan rasa keadilan di bidang pemeliharaan mental, moral dan spiritual bangsa, seperti yang selama ini terjadi. Ini juga berarti, mengabaikan peran dan fungsi kraton sebagai sumber Budaya Jawa yang mengajarkan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan kepribadian.

Budaya Jawa yang telah membentuk karakter bangsa lambat-laun tak bisa merawat peradaban, karena urat-nadi yang mengalirkan berbagai nilai itu diputus dari lembaga yang menjadi sumbernya, oleh praktik-praktik dalam kekuasaan. Generasi demi generasi yang seharusnya mengalirkan nilai-nilai budaya itu, dibuat “kering” dan “awam” untuk keturunannya.
Memahami estafet perjalanan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan kepribadian dalam Budaya Jawa yang telah putus itu,
cukup dengan mencermati “aksi duplikasi sumbangan” Malem Selikuran itu. Di situlah mudah diidentifikasi adanya “abuse of power”, perampasan rasa keadilan terhadap nilai-nilai batiniah masyarakat adat dan pemerintahan yang inkonstitusional.
Berbagai hal di atas itu, sangat mungkin berkait dengan “sinyal penting” yang dilempar Gusti Moeng dalam sambutannya di acara hajad-dalem Malem Selikuran di Masjid Agung, Kamis malam (20/3) lalu. Sinyal tentang peringatan ultah “Istana Mataram” yang akan digelar 13 April, sebagai upaya merefleksi peristiwa “insiden mirip operasi militer”, 15 April 2017.
Gusti Moeng selaku pimpinan Bebadan Kabinet 2004 dan Pangarsa LDA, pasti akan menjelaskan berbagai hal berkait dengan peristiwa bersejarah lahirnya “skoci” yang diberi nama “Istana Mataram” itu. Karena, peristiwa itu telah memberi dampak yang luar biasa bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta dengan segala isi dan aset-asetnya, berkait dengan peradaban.

Sinyal mengenai rencana ultah itu memang sangat penting dan perlu, yang salah satunya agar menjadi pemacu semangat bagi keseluruhan masyarakat adat dan semua elemennya untuk melakukan konsolidasi dan evaluasi perjalanannya selama ini. Upaya ini sangat positif, karena masyarakat adat harus berjalan terarah untuk menyongsong masa depan demi kelangsungan kraton.
Masyarakat adat adalah modal pelestarian Budaya Jawa yang akan membuat kraton semakin “kuncara hanjayeng bawana”. Dua kakak kandung Gusti Moeng yaitu KGPH Puger dan GPH Madu Kusumonagoro, tentu diharapkan bisa ikut mempercepat kembalinya kewibawaan, harkat dan martabat kraton, yang menjadi kunci kelangsungan Mataram Surakarta ke depan sampai akhir zaman. (Won Poerwono – bersambung/i1)