Juga Tidak Mungkin Ada UNS dan ISI, Malah Dipinjami Kampus dan Rektornya
IMNEWS.ID – RASA keadilan yang selama ini diperjuangkan dan dituntut Kraton Mataram Surakarta, tidak mungkin mengada-ada. Jauh dari niat meminta lebih, melewati takaran hingga disebut “serakah”. Karena, yang diminta hanya rasa keadilan, yang selama ini memang “dirampas” habis mirip korban “kalah perang”, padahal kraton tidak pernah berperang dengan siapapun.
Sinuhun PB XII yang selama masa jumenengnya (1945-2004) terkesan hanya bersikap “pasrah” karena rasa keadilan “dirampas” dan “dijarah”, telah diperjuangkan dengan gigih oleh Gusti Moeng. Dia ikut tampil dalam aksi demo bersama para aktivis mahasiswa menggulingkan rezim pemerintahan Orde Baru, tetapi alasan penting ekspresinya adalah menuntut rasa keadilan.
Dua peristiwa menuntut rasa keadilan yang dilakukan Gusti Moeng selaku pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” dan Lembaga Dewan Adat (LDA), adalah upaya uji materi UU No 10/1950 ke Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 dan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN Ska (29/8/2022) atas “penyalahgunaan” SK Kemendagri No.430-2933/2017 (21/2/2017).
Walau upaya menuntut rasa keadilan untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) setingkat provinsi sesuai pasal 18 UUD 45, “gagal”, tetapi itulah gaya “perjuangan” ciri kraton yang “terhormat dan bermartabat”. Masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta memang harus menjaga “cirikhasnya”, sebagai masyarakat yang mengedepankan estetika dan etikanya.

Rasa keadilan paling berharga yang “dirampas” begitu saja, terjadi di ajang perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, Belanda, Desember tahun 1949. Di forum itu Wapres RI Moh Hatta memberi penegasan “manipulatif”, bahwa Sinuhun PB XII adalah pejabat “Menteri Sosial” dalam kabinetnya, dan status Surakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi.
Delegasi RI berjumlah 300-an orang yang dipimpin Wapres Moh Hatta dan sepenuhnya dibiayai Sinuhun PB XII hampir selama 3 bulan di Denhaag, Belanda (September-Desember 1949), merupakan peristiwa penuh “misteri” di balik lenyapnya rasa keadilan dari kraton. Karena, bersamaan dengan KMB itu, di Kota Surakarta terjadi “clash” kedua di balik “penghancuran” Kepatihan.
Penghancuran yang disertai “penjarahan” di kompleks perkantoran pusat pemerintahan eksekutif Kraton Mataram Surakarta di Kepatihan, merupakan peristiwa “perampasan” rasa keadilan penting kedua selain peristiwa KMB. Dua peristiwa penting itu sungguh memilukan, karena menempatkan kraton seperti pihak yang harus menerima perlakuan seperti korban kalah perang.
Beberapa catatan penting di atas, sangat jelas membuktikan bahwa posisi Kraton Mataram Surakarta dengan segala “stigma dan nasib” buruknya tetap menjadi penentu eksistensi NKRI. Catatan-catatan itu semakin menegaskan kebenaran pemeo konklusif, “Kalau tak ada kraton, tak (mungkin) akan ada NKRI”. Dan, turunan dari pemeo ini juga banyak dan ada faktanya.

Turunan dari pemeo itu, di antaranya “Tak ada kraton, sangat mungkin tak ada UNS”. Itu adalah fakta dan data sejarah yang tidak mungkin terbantahkan atau “undebatable”. Karena, Sinuhun PB XII merelakan kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, menjadi kantor/kampus pusat dan kegiatan perkuliahan beberapa fakultas Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS).
Bahkan, proses penggabungan beberapa perguruan tinggi di Surakarta, termasuk Akademi Saraswati, Sekolah Tinggi Olahraga (STO) dan sebuah sekolah tinggi kedokteran menjadi Universitas Gabungan Surakarta (UGS) pada tahun 1975, Pendapa Pagelaran Sasanasumewa dan notabene Kraton Mataram Surakarta menjadi “saksi bisu” kelahirannya, sebelum berubah nama menjadi UNS.
Bahkan tak hanya itu, begitu berubah menjadi UNS pada tahun 1976, Sinuhun PB XII juga merelakan seorang “pepundennya”, putra Sinuhun PB X yaitu Prof GPH Haryo Mataram ditunjuk menjadi Rektor pertama UNS. Sampai sebegitu besar pengorbanan “rasa keadilan” Sinuhun PB XII dan Kraton Mataram Surakarta yang masih saja “diminta” NKRI walau sudah 30-an tahun NKRI lahir.
Tetapi memang, periode 30-an tahun setelah 1945, NKRI memang belum bisa “berbuat banyak” bagi rakyatnya, seperti yang diamanatkan dalam pasal-pasal di UUD 45. Karena, memang republik ini lahir dari nol besar, sedangkan yang memiliki aset-aset ekonomi dan perangkat kelengkapan sebagai negara, adalah Kraton Mataram Surakarta dan 50-an kraton anggota (MAKN) dan FKIKN.

Oleh sebab itu, bantuan Kraton Mataram Surakarta saat melahirkan UNS dan “pinjaman” berupa pejabat Rektor pertama itu, menjadi bukti bahwa di usianya 30-an pada tahun 1975, NKRI masih terus bergantung pada kraton. Padahal, seharusnya saat itu NKRI mulai memberi “jaminan hidup” bagi kraton dan keluarga besar Sinuhun PB XII sebagai hak konstitusional sesuai pasal 18 UUD 45.
“Jaminan hidup” bagi kraton dan keluarga besar Sinuhun PB XII yang sudah rela melepas semua kedaulatannya pada 17/8/1945, seharusnya sudah diberikan NKRI setelah 1945 sebagai bentuk tanggungjawabnya untuk memenuhi rasa keadilan yang hak konstitusional kraton. Karena, pasal 18 UUD 45 sudah jelas dan tegas mengamanatkan dan memerintahkan pemenuhan rasa keadilan itu.

Pengelolaan pemerintahan negara RI, memang banyak dikritik berbagai pihak, karena arah perjalanan bangsa ini tak sesuai cita-cita awal kemerdekaan dicapai. Maka menjadi benar, sampai usia 30-an tahun NKRI masih bergantung pada kraton. Dan di usianya 80-an di tahun 2025 ini, NKRI masih banyak bergantung dari negara lain, padahal sudah waktunya “membayar utang”.
Hutang “rasa keadilan”, adalah hutang NKRI kepada Kraton Mataram Surakarta serta 50-an kraton lain anggota MAKN dan FKIKN yang paling besar dan paling mendasar. Itu baru sebagian yang bisa diungkap, karena diyakini masih banyak yang “sengaja disembunyikan” dari berita acara “Teks Proklamasi”. “La wong ASKI yang menjadi embriyo ISI Surakarta, lahirnya dari kraton”. (Won Poerwono – bersambung/i1)