Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 14, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Gelar Kekerabatan Bisa Dipersoalkan Dalam Administrasi Kependudukan Jika tak Ada Landasan Hukumnya (seri 1 – bersambung)
HAK ADAT : Pengageng Parentah Kraton Mataram Surakarta, KP Wiradiningrat saat menerima "gelar kekerabatan" dari Sinuhun PB XII sebelum tahun 2004, sebagai hak secara adat yang diberikan lembaga kraton. Salah satu alasannya, sentana-garap itu adalah pejabat internal di kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dulu Hak Adat yang Melekat Sejak Lahir dan Karena Jabatan, Kini Jadi Fenomena Sosial Menarik

IMNEWS.ID – KEBERADAAN lembaga masyarakat adat kraton di manapun berada di wilayah Nusantara sampai saat ini, memang sudah menjadi keniscayaan telah menjadi bagian sebuah negara dan bangsa yang bernama NKRI. Meskipun, sebelum 17 Agustus tahun 1945, mereka itu adalah satuan-satuan masyarakat adat yang menurut catatan FKIKN dan MAKN berjumlah 250-an.

Tetapi jumlah itu berkurang banyak sekali, hingga tinggal 59 yang tercatat sebagai anggota Forum Komunikasi dan Informasi Kraton Nusantara (FKIN), dan di antara jumlah itu hanya sekitar 50 yang tercatat sebagai anggota DPP Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi selaku ketua umumnya. Itu terjadi setelah 17 Agustus 1945.

Eksistensi sejumlah lembaga masyarakat adat yang berupa kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat, tentu memiliki sistem strata sosial di dalamnya sebagai bagian sari sistem tata nilai atau konstitusinya. Termasuk lembaga Kraton Mataram Surakarta, sebagai penerus kraton-kraton yang pernah ada di Jawa dan salah satu di antara yang kini masih eksis.

DIANGGAP BERJASA : “Gelar kekerabatan” juga pernah diberikan Sinuhun PB XII kepada Jendral (Purn) Wiranto saat masih aktif sebagai pejabat di pemerintahan pusat sebelum 2004. Dia dianggap sebagai tokoh yang berjasa terhadap negara. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di dalam sistem sosial kelembagaan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, terdapat strata adat dalam struktur keluarga maupun sistem pemerintahan monarki yang disebut gelar, pangkat dan sesebutan. Karena lembaga masyarakat adat itu telah berada di alam republik, ada perubahan besar sebagai konsekuensi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi baru.

Perubahan itu baru benar-benar terjadi dan dirasakan pada era tahun 1990-an, sejak Sinuhun PB XII memutuskan untuk memberikan gelar, pangkat dan sesebutan itu “secara terbatas” kepada masyarakat di luar kraton yang dianggap “berjasa”  bagi kehidupan peradaban secara luas. “Terbatas” di sini, bisa dimaknai hanya tokoh-tokoh tertentu.

Kata “tebatas”, dengan mencermati yang sudah pernah diberikan Sinuhun PB XII, juga dimaknai sebagai “anugerah” atau pemberian yang dalam terminologi paugeran adat disebut gelar “anon-anon”. Dalam pengertian “terbatas” itu, gelar, pangkat dan sesebutan yang diberikan mutlak sebagai “penghargaan”, bukan hak secara adat yang melekat pada diri penerimanya.

KETUA MPR RI : Semasa menjabat sebagai Ketua MPR RI di era pemerintahan Presiden KH Gus Dur, H Amin Rais juga pernah mendapat “gelar kekerabatan” dari Sinuhun PB XII karena dianggap berjasa kepada bangsa dan negara. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penghargaan yang dimaksud, juga bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa seseorang di berbagai bidang, sehingga pantas dianggap menjadi bagian dari “kerabat” masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Sebab itu, gelar, pangkat dan sesebutan juga disebut “gelar kekerabatan”, karena masyarakat adat punya sifat hubungan kekerabatan.

Pengertian “jasa-jasa”-pun, yang dimaksud tentu jasa-jasa positif seseorang yang dianggap berhasil dan senantiasa   menjalankan dan memperjuangkan kebajikan secara langsung dan tidak langsung, seperti yang selama ini menjadi pedoman Kraton Mataram Surakarta. Yaitu selalu “hamemayu-hayuning bawana, mbrasta memalaning bumi” dan “karya naktyasing sasama”.

Jasa-jasa yang dilakukan dalam upaya selalu berusaha menjaga perdamaian dunia, ikut memberantas tindak kejahatan (penyimpangan, ketidakadilan dan seterusnya) dan selalu menjaga keindahan dan harmoni kehidupan. Oleh sebab itu, gelar kekerabatan tersebut pernah diberikan kepada sejumlah tokoh bangsa, pejabat tinggi negara dan tokoh adat dari Bali.

TOKOH POLITIK : Tokoh politik H Akbar Tandjung semasa masih aktif di partainya maupun dalam jabatan di pemerintahan pusat sebelum 2004, juga pernah mendapat “gelar kekerabatan” dari Sinuhun PB XII di akhir masa hidupnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam batas-batas pemaknaan dan terminologi seperti itu, gelar kekerabatan mulai diberikan Kraton Mataram Surakarta kepada pihak-pihak di luar, yang tidak termasuk keluarga besar Dinasti Mataram yang sudah punya hak secara adat. Dan keputusan Sinuhun PB XII itulah, yang menjadi salah satu pedoman “Bebadan Kabinet 2004” untuk meneladaninya hingga kini.

Bahkan tak sebatas itu yang dijadikan pedoman dan landasan, karena sejak Lembaga Dewan Adat (LDA) sebagai wadah perwakilan trah darah-dalem Sinuhun PB I hingga PB XIII terbentuk bersamaan dengan terbentuknya “Bebadan Kabinet 2004”, pemberian gelar kekerabatan kepada pihak-pihak di luar kraton yang dianggap berjasa, semakin meningkat intensitasnya.

“Jadi, beberapa hal itu yang mendasari pemberian anugerah kehormatan gelar kekerabatan kepada masyarakat di luar kraton. Tentu saja, semua ada batasan-batasannya. Di antaranya, tidak memberikan gelar di luar haknya. Juga disesuaikan dengan jasa-jasa dan peran ketokohan para penerima, baik di pemerintahan maupun dalam masyarakat,” ujar Gusti Moeng.

TOKOH ADAT : Seorang tokoh adat dan pelestari budaya asal Bali, juga pernah mendapat “gelar kekerabatan” dari Sinuhun PB XII. Kraton Mataram Surakarta menganggap tokoh adat ini berjasa dalam melestarikan adat dan budaya di lingkungannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penjelasan GKR Wandansari atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat soal gelar kekerabatan yang diberikan kepada masyarakat di luar kraton, sudah disampaikan di berbagai kesempatan memberi sambutan, terutama di lingkungan internal kraton. Berbagai penjelasan soal itu, bertujuan untuk mengedukasi semua pihak.

Selain untuk kalangan internal keluarga inti, keluarga besar masyarakat adat, jajaran Bebadan Kabinet 2004, edukasi juga ditujukan untuk anggota elemen-elemen seperti Pakasa cabang di berbagai daerah. Baik warga elemen yang sudah mendapatkan, maupun yang ingin mendapatkannya. Karena, elemen Pakasa adalah wadah masyarakat luas, tempat para “sutresna” budaya.

Selain mengedukasi soal batasan-batasan yang diukur dari instrumen paugeran adat atau “konstitusi”, Gusti Moeng juga menjelaskan adanya realitas lain selain yang tersebut di atas. Yaitu, keniscayaan adanya tata nilai sosial yang lahir dari tata-laksana dalam sistem administrasi kependudukan, terutama yang menyangkut soal nilai-nilai keluarga ideal. (Won Poerwono – bersambung/i1).