
Dari Panembahan Senapati Hingga PB II di Kartasura, Minim Jenis Media Penyimpannya
IMNEWS.ID – “PERJANJIAN Giyanti” (iMNews.id, 5/2/2025), walau sudah banyak data dan fakta sejarah yang terhitung modern saat itu, tetap saja masih membawa misteri, karena banyak sisi gelapnya. Berbeda dengan peristiwa-peristiwa lain dalam perjalanan sejarah Mataram, justru mudah dipahami walau tanpa prasasti dan tandatangan serta stempel secara tertulis.
Petunjuk data dan fakta sebagai bukti tertulis Perjanjian Giyanti yang terjadi pada 13 Februari 1755, termasuk bukti yang sudah modern pada zaman Sinuhun PB III (1749-1788). Unsur modern saat itu, tentu menjadi elemen penting yang langka bagi Kraton Mataram Surakarta yang masih berumur sekitar 10 tahun dari “kerja besar” pindah Ibu Kota dan sibuk membangun.
Waktu 10 tahun bagi Sinuhun PB III tentu sangat berarti, ketika merenungkan semua energi yang sudah dicurahkan sang ayah (Sinuhun PB II), saat memindahkan Ibu Kota Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta pada 20 Februari 1745 atau 17 Dura Tahun Je 1670. Proses perpindahan dan pembangunan berbagai infrastruktur, jelas butuh konsentrasi dan menguras energi.

Kanjeng Ratu Kentjana (Permaisuri Amangkurat IV) dan keluarga Adipati Tirtakusuma (Bupati Kudus), tentu tidak tinggal diam ketika sang anak, Sinuhun PB II, membangun Ibu Kota baru, bagi “negara” Mataram Islam yang habis dipindah dari Kartasura. Sebab itu sangat rasional ketika sang cucu, Sinuhun PB III bertahta, masih suasana berjuang dan “prihatin”.
Karena masih dalam suasana “berjuang” dan “ptihatin” untuk melanjutkan dan menuntaskan pembangunan semua infrastruktur Ibu Kota “negara” di Surakarta, menjadi rasional pula kalau ada peristiwa “Perjanjian Giyanti” atas kehendak pihak lain. Pangeran Mamngkubumi sebagai pihak lain, sedangkan Gubernur Jenderal Belanda di Semarang yang menyeponsori/membiayai.
Sebagai kaitan yang rasional pula, jika kemudian tatacara Perjanjian Giyanti hanya dilakukan dengan menggunakan teknologi modern, waktu itu, yaitu hanya ditulis dalam lembaran kertas perjanjian, distempel dan ditandatangani semua yang terlibat. Babad Giyanti boleh disebut sebagai bukti peristiwa itu, tetapi “sangat tidak lazim” untuk zaman di tahun 1755.

Analisis kritis lebih lanjut soal itu, juga ditujukan pada posisi semua pihak yang terlibat perjanjian, yang seharusnya masing-masing memiliki naskah perjanjian tersebut. Apakah sebagai salinan atau dibuat sebanyak pihak yang terlibat menandatangani perjanjian tersebut, atau turunan atau bentuk penggandaan secara syah dan legal yang dibuat waktu itu.
Analisis kritis ini berdasarkan teknologi modern tatacara menjalankan upacara resmi perjanjian yang diinisiasi dan disponsori Gubernur Jenderal Belanda, sebagai pihak yang dianggap memiliki teknologi modern, saat itu. Dengan asumsi itu, maka aneh apabila Kraton Mataram Surakarta ditegaskan Gusti Moeng tidak memiliki dokumen “Perjanjian Giyanti”.
Dengan asumsi itu pula, maka aneh apabila pihak-pihak lain yang terlibat dalam “Perjanjian Giyanti” selain Kraton Mataram Surakarta, juga tidak memiliki dokumen naskah “Perjanjian Giyanti”. Oleh sebab itu, “Perjanjian Giyanti” akan terus memiliki sisi gelap kalau hanya ada bukti naskah “Babad Giyanti” yang kini disimpan Museum Arsip Sejarah Nasional.

“Perjanjian Giyanti” akan terus menyimpan sisi gelap, karena selain naskah “Babad Giyanti” yang tersimpan di museum arsip itu, tidak ditemukan prasasti atau dokumentasi dalam bentuk lain. Kalau hanya naskah tanpa ada bukti pendukung lain yang meyakinkan, “Perjanjian Giyanti” selamanya akan menjadi pertanyaan besar dan misteri yang bisa melahirkan kecurigaan.
Berbagai kemungkinan yang meragukan itu, karena ada indikasi kuat ketidaklaziman terjadi pada zaman tahun “Perjanjian Giyanti” terjadi, yaitu 13 Februari 1755. Karena, pada zaman itu bahkan sampai zaman Sinuhun PB X bertahta (1893-1936), dokumen sejarah berupa prasasti dan karya seni banyak ditemukan selain naskah dan serat, walau zaman semakin modern.
Zaman Sinuhun PB III bertahta, adalah periode zaman yang memulai era teknologi dokumentasi segala bentuk peristiwa bersejarah bagi Kraton Mataram Surakarta khususnya, dalam berbagai jenis karya seni sebagai medianya. Sebagai contoh, “perjanjian” antara Kanjeng Ratu Kencanasari dengan Panembahan Senapati dalam karya tarian sakral “Bedhaya Ketawang”.

Karya tari, karya seni karawitan dan gamelan, karya sastra, karya kriya tatah sungging (wayang kulit) dan seni pedalangannya, kemudian prasasti dan juga karya seni Tosan Aji selain naskah-naskah manuskrip lain, adalah contoh-contoh keragaman media dokumentasi atau alat/sarana untuk mengabadikan sebuah perisitwa yang lazim dilakukan di zaman Mataram.
Karya candi, nisan makam (zaman Islam sudah masuk) dan termasuk prasasti, juga banyak ditemukan sebagai kelaziman “teknologi pendokumentasian” yang ada sebelum Dinasti Mataram didirikan Panembahan Senapati. Raja pertama Kraton Mataram inilah yang memulai menginisiasi dokumentasi peristiwa, menggunakan media karya seni, yaitu tari “Bedhaya Ketawang”.
Walau dokumentasi perjanjian bernama tari “Bedhaya Ketawang” itu baru dituntaskan lirik gendhing dan notasi iringannya mulai zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645), tetapi teknologi itu menjadi kelaziman dan kesesuaian dengan zamannya. Apalagi, ketika seni pedalangan (kriya tatah sunggih) dan karawitan (kriya gamelan) mulai muncul di Kartasura. (Won Poerwono – bersambung/i1)