
KP Budayaningrat : “Pangkat dan gelar abdi-dalem anon-anon bisa naik, itu karena gawa-gawe”.
IMNEWS.ID – SEMULA, apa yang pernah dialaminya dianggap sebagai kondisi yang luar biasa (force majeur) karena tidak ditemukan aturan pembakuan gelar kepangkatan anon-anon, akibat kelangkaan catatan dokumentasi di masa-masa transisi dari Sinuhun PB X, XI dan PB XII. Tetapi baru belakangan dipahami, bahwa dhawuh Sinuhun PB XII ternyata menjadi solusinya.
Yaitu, dhawuh kepada KRMH Rio Yosodipuro untuk “golek kanca”, yang ditindaklanjuti bersama GKR Wandansari Koes Moertiyah untuk mendirikan Sanggar Pasinaon Pambiwara di tahun 1993. Dan, “golek kanca” yang dijabarkan Gusti Moeng berupa kesempatan pasuwitan yang dibuka seluas-luasnya melalui sanggar pasinaon itu, adalah niat untuk mewujudkan dhawuh itu.
Yaitu dhawuh untuk mencari dukungan legitimatif sebanyak-banyaknya, sebagai pengganti kalangan keluarga besar kerabat sentana dan gusti, yang jumlahnya terus berkurang dari waktu ke waktu (iMNews.id, 30/1). Dan, “kanca” dalam jumlah banyak itu bisa didapat dari Sanggar Pasinaon Pambiwara bersama Pasipamartanya, juga warga Pakasa cabang yang terus berkembang.

“Jadi, di satu sisi Gusti Moeng benar-benar ingin mewujudkan dhawuh Sinuhun PB XII agar mendapatkan “kanca” sebagai pengganti jumlah senatan dan gusti yang terus berkurang. Di sisi lain, Gusti Moeng juga konsisten untuk mempersiapkan daya dukung yang bisa menjaga kelangsungan kraton, agar berumur panjang, bahkan tetap eksis hingga akhir zaman”.
“Terlebih, Sinuhun PB XII pernah bersabda, meskipun kraton tinggal sebesar payung mengembang, harus dijaga agar tetap lestari sampai akhir zaman. Jadi, dari analisis saya bisa dipandang bahwa apa yang sudah dan sedang dilakukan Gusti Moeng, sangat tepat dan ideal demi kelangsungan kraton. Kami sangat mendukung upaya-upaya itu,” ujar KP Budayaningrat.
Beberapa kebijakan yang tidak tertulis tetapi langsung dalam eksekusi di lapangan itu, jelas menjadi penanda bagian perubahan besar yang dialami kraton di alam republik. Terutama yang menyangkut kasta adat, sistem tata aturan paugeran adat, yang di dalamnya ada susunan dan jenjang gelar kepangkatan yang potensi trendingnya didominasi abdi-dalem anon-anon.

Soal trend semakin berkurangnya jumlah kekuatan inti yang menjalankan kerja-kerja adat terutama di internal yaitu sentana-gusti, dalam beberapa tulisan pernah disinggung iMNews.id. Selain “keberhasilan” program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah, juga karena pembentukan public image bahwa poligami itu kurang etis, apalagi poliandri.
Hal terakhir itu juga menjadi bagian dari perubahan besar yang dialami Kraton Mataram Surakarta sekaligus sebagai sinyal. Perubahan populasi itu menjadi potensi ancaman serius kelangsungan kraton, karena kerja-kerja adatnya terganggu oleh kekurangan SDM. Itu semua akibat keluarga raja, calon raja dan para sentana darah-dalem “sukses” menjalankan program KB.
Oleh sebab itulah, Sinuhun PB XII menempuh kebijakan memberikan penghargaan gelar kepangkatan kepada para tokoh dari luar kraton yang dipandang “ikut berjasa” terhadap kraton. Karena alasan-alasan di atas pula, maka pengesahan hak atas gelar kepangkatan bagi kalangan keluarga Raja dan sentana darah-dalem, semakin jarang dan semakin sedikit dari waktu ke waktu.

Tetapi sebaliknya, penganugerahan gelar dan pangkat kategori “anon-anon” dalam satu dekade terakhir mengalami trend naik tajam, baik yang dari jalur Pasipamarta (Sanggar Pasinaon Pambiwara) maupun Pakasa. Namun, peningkatan jumlah abdi-dalem anon-anon, termasuk sentana, dari frekuensi “wisudan” yang meningkat, tidak identik dengan peningkatan elemen sejenis.
Sebab, peningkatan jumlah elemen sejenis yang dalam satu dekade terakhir ikut meramaikan keberadaan “kawula” Kraton Mataram Surakarta, terkesan tidak dikelola dalam wadah organisasi sebagaimana layaknya dan batasan regulasi yang dipatuhi. Oleh karena itu, AD/ART elemen organisasi ini nyaris tak ada dan berjalan tanpa program kerja maupun pembinaan.
Oleh sebab itu, terlepas dari identitas ID Card yang sering diperlihatkan saat mengikuti pisowanan, sangat sering warga elemen sejenis di luar Pakasa ini mendapat teguran dari para petugas di lapangan. Karena pelanggaran penggunaan busana adat yang tak sesuai dengan gelar kepangkatan, juga ketidaktahuan menempatkan diri karena memang tak pernah dibina.

“Kalau di Pakasa Kudus, tiap Senin malam atau sedikitnya seminggu sekali, kami pengurus bertemu, karena ada pengaosan. Para santri dari tiga Majlis Taklim, sudah hampir semuanya menjadi warga Pakasa dan pengurus cabang. Pada saat pengaosan itu, saya sering menyelipkan pesan-pesan penting tentang Budaya Jawa dan berbagai hal yang ada di dalamnya”.
“Saya menunjukkan soal Budaya Jawa dan soal agama yang tidak boleh dicampuradukkan. Tetapi saya juga menunjukkan antara Budaya Jawa yang sudah berakulturasi dengan Islam. Saya mencontohkan Raja-raja mulai dari Kraton Demak hingga Kraton Mataram Islam, mulai Panembahan Senapati, sama sekali tidak ada yang mengenakan peci, tetapi iket dan blangkon Jawa”.
“Di sela-sela pengaosan, saya juga menyelipkan pesan-pesan dalam ‘unggah-ungguh basa’ Jawa yang tepat, saat berkomunikasi dengan siapa saja, sesuai usia, kedudukan dan pangkatnya. Kemarin juga sempat saya contohkan pedoman mengenakan keris sesuai pedoman gelar kepangkatan dan kebutuhannya, baik pemakaian yang benar dan salah,” ujar KRRA Panembahan Didik. (Won Poerwono – bersambung/i1)