“Gelar-Sesebutan” Berubah Ketika Lembaga (Pemerintahan) Normatif Menjadi Lembaga Budaya (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 23, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing “Gelar-Sesebutan” Berubah Ketika Lembaga (Pemerintahan) Normatif Menjadi Lembaga Budaya (seri 2 – bersambung)
TANGAN PANJANG : KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro ini, bersama para warga Pakasa Cabang Kudus yang dipimpinnya, telah menjadi "tangan panjang" Pakasa Punjer dan Kraton Mataram Surakarta, dalam tugas-tugas pelestarian Budaya Jawa. Jasa-jasa Pakasa menjadi tulang-punggung kraton, patut dihargai. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Niat Baik Sinuhun PB XII Itu, Bukan Berarti Harus Ditawar-tawarkan di Tiap Pemda

IMNEWS.ID – MEMANG sudah menjadi keniscayaan, bahwa dengan penggabungan wilayah eks “negara” Mataram Surakarta ke NKRI, proses transformasi harus terjadi. Lembaga masyarakat adat penerus Dinas Mataram itu, mau atau tidak harus meneruskan kelangsungannya di alam republik, modern bahkan di zaman global milenial dan menerima fenomena “Nut jaman kelakone”.

Oleh sebab itu, keputusan Sinuhun PB XII yang membuka diri dan lembaga kratonnya terhadap perkembangan dunia luar, memang merupakan pilihan bijak agar Kraton Mataram Islam Surakarta Hadiningrat bisa berumur panjang, eksis sampai akhir zaman. Keterbukaan Sinuhun atau kraton, sudah dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan kepada sejumlah pihak yang “berjasa”.

Keterbukaan berikutnya, adalah izin yang diberikan Sinuhun dan kelembagaannya untuk memberikan “pakem” atau “kaidah” rias dan busana adat pengantin gaya Kraton Mataram Surakarta menjadi milik publik secara luas yang diberi nama paes-tata busana “gagrag” (gaya) Surakarta. Keterbukaan lain, masih banyak, di antaranya dibukanya beberapa lembaga “pasinaon”.

PENJAGA SITUS : Para takmir Masjid Baitul Munajat di Juwangi, Boyolali, adalah abdi-dalem yang turun-temurun menjaga dan merawat situs masjid peninggalan Sinuhun PB IX. Jasa-jasa mereka sangat layak dihargai dengan gelar kehormatan, sesuai yang diharapkan Sinuhun PB XII. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemberian gelar kehormatan kepada pihak-pihak eksternal (masyarakat luas), memang sudah disertai rambunya, yaitu bagi yang “berjasa”. Karena Sinuhun PB XII berharap niat baik ini tidak bias, tidak disalahartikan, disalahgunakan atau menyimpang dari nilai-nilai etika, mengingat gelar kehormatan itu erat berkait dengan nilai-nilai etika dari makna “berjasa”.  

Tetapi pada perkembangannya, proses transformasi yang dilakukan kraton tidak semuanya berjalan baik dan sesuai dengan harapan Sinuhun PB XII. Di era penggantinya, yaitu Sinuhun PB XIII, “pemberian” gelar kehormatan itu terkesan “royal, obral dan ugal-ugalan” yang dioperasionalkan sebuah “EO”, promonya sampai ke Malaysia, nyaris tanpa seleksi “jasanya”.

Dalam kesempatan dialog dengan para pengurus Pakasa cabang dalam saat rapat membahas HUT Pakasa di Sasana Handrawina, dua  tahun lalu, GKR Wandansari Koes Moertiyah menerima laporan perkembangan baru penyimpangan pemberian gelar kehormatan itu. Utusan Pakasa dari wilayah Provinsi Jatim melaporkan, bahwa promo gelar kehormatan sudah sampai di tiap Pemkab.

PEMBELA KRATON : Gusti Moeng saat mewisuda sejumlah pengurus Pemuda Muhammadiyah Jateng dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng, beberapa waktu lalu. Mereka sangat berjasa dan patut mendapat gelar kehormatan, karena membela kraton yang sejak lama diberi stigma buruk sebagai tempatnya perilaku syirik, musyrik dan bit’ah. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kasus “promo dan marketing” gelar kehormatan itu, mungkin dianggap tidak melanggar hukum atau menyimpang, atau bahkan mungkin dianggap positif, tetapi sejujurnya cara-cara itu merendahkan diri sendiri. Maksudnya ingin mencari para tokoh yang benar-benar “berjasa”, tetapi bisa merusak kewibawaan Kraton Mataram Surakarta dan lembaga masyarakat adatnya.

Sebab, dalam contoh yang sudah diperlihatkan Sinuhun PB XII, tokoh-tokoh yang “dianggap berjasa” dan memiliki kapasitas kepemimpinan di tingkat negara waktu itu, jelas sudah tidak perlu diragukan. Tokoh sekelas Presiden Gus Dur, Ketua MPR RI Amin Rais, Jend (Purn) Wiranto, Akbar Tanjung dan Mensesneg Moerdiono patut dikategorikan sebagai tokoh yang “berjasa”.

Dengan “batasan” dan “makna” seperti itu, apakah jajaran Pemkab yang ditawari gelar kehormatan itu sudah pantas? Terlebih, jika dalam promo dan marketingnya, juga disertakan “tarip harga” beberapa jenis/tingkatan gelar kehormatan itu.
Lalu, bagaimana sebenarnya mekanisme prosedur yang baku dan beretika untuk mendapatkan gelar kehormatan tersebut?

ORGAN PENTING : Para warga Pakasa cabang yang sempat diwisuda oleh Pengageng Karti Praja KPH Adipati, Sangkoyo Mangunkusumo pada peringatan HUT Pakasa tahun lalu, kini menjadi organ penting sebagai pilar pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton. Meskipun, banyak yang masih perlu dibenahi proses seleksinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hal-hal seperti inilah yang sempat membuat KP Bambang S Adiningrat risau, meskipun hanya tertuju pada aturan baku dan mekanisme prosedur di internal lembaga masyarakat adat kraton yang tidak jelas. Bebadan Kabinet 2004 dan LDA sudah tegas komitmennya menegakkan simbol kewibawaan kraton itu, tetapi ada saja pihak internal yang liar dan tega mencorengnya.

“Saya selaku pengurus (Ketua Pakasa Cabang Jepara-Red) sangat berharap, kraton bisa memberi penjelasan secara khusus seperti pembekalan, ketika hendak ada wisudan abdi-dalem. Atau setidaknya, ada publikasi secara khusus yang membahas dan menjelaskan soal itu. Karena, banyak di antara warga Pakasa yang belum paham soal kepangkatan dan gawa-gawenya”.

“Gelar dan kepangkatan di kraton, perlu dijelaskan di forum-forum khusus. Mulai dari pangkat paling rendah hingga teratas. Bagaimana ketentuan/persyaratan busana adatnya sesuai kepangkatannya itu? Apa saja yang tidak boleh? Kemudian makna-maknanya, termasuk jenis busana yang sesuai dengan gelar dan kepangkatannya bagaimana?,” ujar KP Bambang.

SUDAH LANCAR : Proses pelaksanaan wisuda untuk para abdi-dalem yang mendapat gelar kehormatan seperti yang dilakukan KPP Haryo Sinawung dan KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo di Bangsal Smarakata, memang sudah tepat dan baik. Tetapi, mekanisme prosedur permohonan dan segala persyaratannya yang perlu dibakukan secara terbuka. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara, KP Bambang S Adiningrat yang melakukan percakapan dengan iMNews.id sampai terakhir, kemarin, memang tidak menyebut secara langsung mengenai persoalan yang muncul dan dihadapi warga Pakasa cabang. Karena belum lama ini, ada ekspresi kebingunan beberapa cabang Pakasa, akibat ada perubahan persyaratan prosedur di kraton.

Menurutnya, perubahan persyaratan prosedur adalah hal yang wajar, tetapi diharapkan ada ketentuan baku yang disiarkan secara terbuka kepada seluruh Pakasa cabang, untuk menghindari “praktik diskriminasi”. Selain itu, sebaiknya disertai kegiatan edukasi bimbingan dan pembekalan mengenai pengetahuan baku tentang pengabdian dan segala persyaratannya.

Gambaran kisah di atas, adalah persoalan gelar kehormatan yang selama ini dikelola jajaran Bebadan Kabinet 2004. Walau banyak kekurangan, tetapi jauh lebih rasional dibanding “praktik obral dan royal gelar” dari sebuah “EO” yang diduga bekerjasama dengan oknum “Pangeran”. Karena, gelar dari LDA, punya landasan hukum dan catatan administrasi yang kuat. (Won Poerwono – bersambung/i1)