Niat Baik Sinuhun PB XII Itu, Bukan Berarti Harus Ditawar-tawarkan di Tiap Pemda
IMNEWS.ID – MEMANG sudah menjadi keniscayaan, bahwa dengan penggabungan wilayah eks “negara” Mataram Surakarta ke NKRI, proses transformasi harus terjadi. Lembaga masyarakat adat penerus Dinas Mataram itu, mau atau tidak harus meneruskan kelangsungannya di alam republik, modern bahkan di zaman global milenial dan menerima fenomena “Nut jaman kelakone”.
Oleh sebab itu, keputusan Sinuhun PB XII yang membuka diri dan lembaga kratonnya terhadap perkembangan dunia luar, memang merupakan pilihan bijak agar Kraton Mataram Islam Surakarta Hadiningrat bisa berumur panjang, eksis sampai akhir zaman. Keterbukaan Sinuhun atau kraton, sudah dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan kepada sejumlah pihak yang “berjasa”.
Keterbukaan berikutnya, adalah izin yang diberikan Sinuhun dan kelembagaannya untuk memberikan “pakem” atau “kaidah” rias dan busana adat pengantin gaya Kraton Mataram Surakarta menjadi milik publik secara luas yang diberi nama paes-tata busana “gagrag” (gaya) Surakarta. Keterbukaan lain, masih banyak, di antaranya dibukanya beberapa lembaga “pasinaon”.
Pemberian gelar kehormatan kepada pihak-pihak eksternal (masyarakat luas), memang sudah disertai rambunya, yaitu bagi yang “berjasa”. Karena Sinuhun PB XII berharap niat baik ini tidak bias, tidak disalahartikan, disalahgunakan atau menyimpang dari nilai-nilai etika, mengingat gelar kehormatan itu erat berkait dengan nilai-nilai etika dari makna “berjasa”.
Tetapi pada perkembangannya, proses transformasi yang dilakukan kraton tidak semuanya berjalan baik dan sesuai dengan harapan Sinuhun PB XII. Di era penggantinya, yaitu Sinuhun PB XIII, “pemberian” gelar kehormatan itu terkesan “royal, obral dan ugal-ugalan” yang dioperasionalkan sebuah “EO”, promonya sampai ke Malaysia, nyaris tanpa seleksi “jasanya”.
Dalam kesempatan dialog dengan para pengurus Pakasa cabang dalam saat rapat membahas HUT Pakasa di Sasana Handrawina, dua tahun lalu, GKR Wandansari Koes Moertiyah menerima laporan perkembangan baru penyimpangan pemberian gelar kehormatan itu. Utusan Pakasa dari wilayah Provinsi Jatim melaporkan, bahwa promo gelar kehormatan sudah sampai di tiap Pemkab.
Dalam kasus “promo dan marketing” gelar kehormatan itu, mungkin dianggap tidak melanggar hukum atau menyimpang, atau bahkan mungkin dianggap positif, tetapi sejujurnya cara-cara itu merendahkan diri sendiri. Maksudnya ingin mencari para tokoh yang benar-benar “berjasa”, tetapi bisa merusak kewibawaan Kraton Mataram Surakarta dan lembaga masyarakat adatnya.
Sebab, dalam contoh yang sudah diperlihatkan Sinuhun PB XII, tokoh-tokoh yang “dianggap berjasa” dan memiliki kapasitas kepemimpinan di tingkat negara waktu itu, jelas sudah tidak perlu diragukan. Tokoh sekelas Presiden Gus Dur, Ketua MPR RI Amin Rais, Jend (Purn) Wiranto, Akbar Tanjung dan Mensesneg Moerdiono patut dikategorikan sebagai tokoh yang “berjasa”.
Dengan “batasan” dan “makna” seperti itu, apakah jajaran Pemkab yang ditawari gelar kehormatan itu sudah pantas? Terlebih, jika dalam promo dan marketingnya, juga disertakan “tarip harga” beberapa jenis/tingkatan gelar kehormatan itu.
Lalu, bagaimana sebenarnya mekanisme prosedur yang baku dan beretika untuk mendapatkan gelar kehormatan tersebut?
Hal-hal seperti inilah yang sempat membuat KP Bambang S Adiningrat risau, meskipun hanya tertuju pada aturan baku dan mekanisme prosedur di internal lembaga masyarakat adat kraton yang tidak jelas. Bebadan Kabinet 2004 dan LDA sudah tegas komitmennya menegakkan simbol kewibawaan kraton itu, tetapi ada saja pihak internal yang liar dan tega mencorengnya.
“Saya selaku pengurus (Ketua Pakasa Cabang Jepara-Red) sangat berharap, kraton bisa memberi penjelasan secara khusus seperti pembekalan, ketika hendak ada wisudan abdi-dalem. Atau setidaknya, ada publikasi secara khusus yang membahas dan menjelaskan soal itu. Karena, banyak di antara warga Pakasa yang belum paham soal kepangkatan dan gawa-gawenya”.
“Gelar dan kepangkatan di kraton, perlu dijelaskan di forum-forum khusus. Mulai dari pangkat paling rendah hingga teratas. Bagaimana ketentuan/persyaratan busana adatnya sesuai kepangkatannya itu? Apa saja yang tidak boleh? Kemudian makna-maknanya, termasuk jenis busana yang sesuai dengan gelar dan kepangkatannya bagaimana?,” ujar KP Bambang.
Selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara, KP Bambang S Adiningrat yang melakukan percakapan dengan iMNews.id sampai terakhir, kemarin, memang tidak menyebut secara langsung mengenai persoalan yang muncul dan dihadapi warga Pakasa cabang. Karena belum lama ini, ada ekspresi kebingunan beberapa cabang Pakasa, akibat ada perubahan persyaratan prosedur di kraton.
Menurutnya, perubahan persyaratan prosedur adalah hal yang wajar, tetapi diharapkan ada ketentuan baku yang disiarkan secara terbuka kepada seluruh Pakasa cabang, untuk menghindari “praktik diskriminasi”. Selain itu, sebaiknya disertai kegiatan edukasi bimbingan dan pembekalan mengenai pengetahuan baku tentang pengabdian dan segala persyaratannya.
Gambaran kisah di atas, adalah persoalan gelar kehormatan yang selama ini dikelola jajaran Bebadan Kabinet 2004. Walau banyak kekurangan, tetapi jauh lebih rasional dibanding “praktik obral dan royal gelar” dari sebuah “EO” yang diduga bekerjasama dengan oknum “Pangeran”. Karena, gelar dari LDA, punya landasan hukum dan catatan administrasi yang kuat. (Won Poerwono – bersambung/i1)