Antara Mataram dan Kediri, Terlalu Lama “Dibiarkan Terpenggal”, Seakan-akan tak Ada Hubungannya
IMNEWS.ID – ADA rentang waktu yang sangat panjang antara zaman Kraton Kediri (abad 12), ketika dikoneksikan ke zaman Kraton Mataram yang berIbu Kota di Kartasura, yaitu saat RMG Sutikna jumeneng nata sebagai Sinuhun Amangkurat Mas (III) tahun 1703-1708. Karena, harus melewati zaman Kraton Demak (abad 14-15), Kraton Pajang (abad 15) hingga awal Mataram.
Awal Mataram adalah kali pertama zaman Panembahan Senapati membangun Dinasti Mataram dan sebagai Raja pertama yang bertahta di Kraton Mataram dengan Ibu Kota di Kutha Gedhe (1588-1601). Ada lima Raja Kraton Mataram termasuk Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, dalam waktu 150-an tahun sebelum sampai Raja ke-6 Mataram, Sinuhun Amangkurat Mas.
Tetapi bukan persoalan latarbelakang letak lokasi makam yang selama ini menjadi silang-pendapat dan pro-kontra yang menjadi titik sentral penulisan ini. Melainkan, keinginan untuk membuka sekat dan selubung penutup yang selama ini membuat samar-samar hubungan kekerabatan antara Mataram dengan leluhurnya Kraton Kediri, bahkan gelap dan terpenggal.
Peradaban zaman republik yang tidak suka kemasyuran dan kebesaran masa lalu, terutama era Dinasti Mataram hingga terakhir di Surakarta Hadiningrat, kalau tidak boleh dikatakan membenci, telah menciptakan berbagai “proyek rekayasa”. Proyek-proyek yang diinisiasi kalangan akademisi, memanfaatkan dana dari manapun, untuk “merekayasa” hapusnya kebesaran Mataram.
Oleh sebab itu, sekecil apapun celah yang ada pada perjalanan sejarah utama bangsa khususnya di Jawa, selalu diupayakan untuk memberi stigma buruk pada tokoh-tokoh tertentu, bagian penting sejarah zaman dan karya-karya tokoh/zaman tertentu. Melalui proyek-proyek penelitian yang dibiayai siapapun, tujuannya untuk merusak lalu menghapus kebesaran masa lalu.
Dengan dasar itu, ketika dianalisis lebih lanjut tidak aneh, kalau persoalan silang-pendapat dan pro-kontra soal lokasi makam Sinuhun Amangkurat Mas (III), selalu dipelihara dan digali terus persoalannya agar meluas, awet dan manjur. Karena tujuannya untuk mendiskreditkan serta mendelegitimasi tokoh Raja ke-6 dan lembaga masyarakat adat Dinasti Mataram itu.
Karena pola-pola penghancurannya sudah bisa dideteksi dan dipahami karena sudah beberapa kali muncul sejak lama, maka tidak aneh apabila rangkaian perjalanan panjang kepemimpinan di Jawa itu seakan terpenggal-penggal, terpisah dan terkesan tidak ada hubungan satu sama lain. Antara Kediri dan Majapahit, apalagi dengan Mataram, seakan-akan “orang lain”.
“Jadi, pribadi-pribadi kalangan akademisi selama ini memanfaatkan celah-celah kekurangan yang ada pada perjalanan sejarah. Lalu digoreng agar menjadi ‘proyek’ penelitian. Mereka, banyak yang mendapatkan makan dari situ. Hasilnya, ya untuk memenuhi target pihak yang membiayai. Rata-rata, tujuannya untuk mendiskreditkan dan mendelegitimasi Mataram”.
“Mereka itu selalu sinis terhadap Mataram. Termasuk pula, menggoreng persoalan Amangkurat Mas itu. Mereka sama sekali tidak peduli ada banyak sisi baik dan positif para tokoh Mataram dan beberapa leluhurnya. Yang mereka cari adalah celah dan sisi buruknya, karena tujuannya untuk mendelegitimasi, mendiskreditkan lalu menghapus Mataram,” tunjuk Dr Purwadi.
Dr Purwadi adalah satu di antara tokoh akademisi yang berani “melawan arus” kelompok intelektual, yang selama ini terus berupaya “menghapus” eksistensi Mataram dan citra positif para leluhur Mataram. Untuk menutupi rekayasa bersama para “donatur” (penguasa), banyak dihembuskan citra kepahlawanan Gajah Mada, Diponegoro dan sebagainya dalam “angan-angan”.
Sebagai ilustrasi, Dr Purwadi banyak melakukan kajian ilmiah secara khusus lalu menerbitkan buku, di antaranya berjudul “Kerajaan Mataram” dan “Biografi Paku Buwana II; Pendiri Kraton Surakarta”. Selain itu, dia banyak menulis “Babad” tentang sejumlah tokoh Mataram, di antaranya Sinuhun Amangkurat Mas, dalam tembang Macapat, yang terdiri 11 jenis itu.
Tak hanya itu, Dr Purwadi punya kemampuan berkesenian dengan baik, khusunya sebagai dalang wayang kulit purwa yang bertahan pada bentuk pakeliran klasik konvensional. Dalam kemampuan inilah, dia mencurahkan pikiran untuk meluruskan sejarah terutama Mataram, pada panggung seni pedalangan, misalnya pentas di Klaten yang mengambil lakon Amangkurat Mas.
Dengan tiga jalur kemampuan dan ekspansi tempat tempat menulis di media online serta blog-nya, warga Pakasa Jogja yang lahir di Desa Mojorembun, Nganjuk itu ingin membantu Kraton Mataram Surakarta dari stigma-stigma buruk yang selama ini diberikan para “pembencinya”. Khususnya, stigma buruk yang selama ini diberikan kepada Sinuhun Amangkurat Mas.
Karena dari kajian dan berbagai data penulisan sejarah yang ada sangat rasional untuk disimpulkan bahwa Sinuhun Amangkurat disemayamkan di Astana Pajimatan Setono, Desa Gedong yang terletak di Jalan Daha, Kota Kediri. Makam itu dekat sekali dengan stasiun KA Kediri. Ia adalah anak Kanjeng Ratu Maduretna, putri Adipati Tjakranagara III, Bupati Sumenep.
Kanjeng Ratu Maduretna adalah garwa prameswari Sinuhun Amangkurat Amral (II), yang menurunkan Sinuhun Amangkurat Mas (III). Dia beristri GRAy Lembah, putri RT Balitar yang juga prameswari kedua Sinuhun PB I, tetapi tidak punya anak lelaki. Dr Purwadi banyak menyerap Serat Ambiya dan Serat Kanda, yang sudah mengakomodasi pengaruh dari Timur-Tengah. (Won Poerwono – habis/i1)