Wayang yang Habis “Diisis”, Bisa Dimanfaatkan untuk Pertunjukan
SURAKARTA, iMNews.id – Kegiatan pentas wayang kulit tiap datang “weton” atau 35 hari sekali seperti yang pernah digelar di Sanggar Pawiyatan Dalang, Bale Agung, sebelum 2017, kini sedang dalam persiapan untuk diaktifkan kembali agar tanda-tanda “kehidupan” di lembaga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta kembali tampak. Untuk keperluan mengembalikan cirikhas dan simbol kehidupan di pusat dan sumbernya budaya Jawa itu, kini sedang dirintis regenerasi abdi-dalem karawitan dan pesinden yang jumlahnya tinggal 8 pengrawit dan 2 pesinden, karena kraton memang sedang mengalami krisis SDM seniman.
“Saya sudah rundingan dengan Kanjeng Lintang (KPH Raditya Lintang Sasangka-Red) dan mas Joko (Dr Joko Daryanto-Red) agar mencari tambahan pengrawit muda, setidaknya bisa menggenapi dari yang sekarang tinggal 8 orang. Syukur bisa banyak, karena kebutuhan iringan juga untuk berbagai jenis kesenian dan upacara adat. Dari SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, kini SMKN 9-Red), pasti ada yang mau diajak,” ujar Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, menjawab pertanyaan iMNews.id sebelum menguji siswa sanggar pasinaon tata busana dan paes, belum lama ini (iMNews.id, 8/11).
Seperti diketahui, selain punya tradisi menggelar pentas wayang kulit tiap menyambut tanggal 10 Sura, Kraton Mataram Surakarta juga menunjukkan eksistensinya sebagai pusat dan sumbernya seni pedalangan “gagrag” atau gaya Surakarta yang ditandai dengan banyak hal. Pentas pertunjukan wayang di luar tanggal rutin untuk mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW pada tanggal 10 Sura atau 10 Hijriyah itu, tiap “weton” atau 35 hari sekali juga digelar Sanggar Pawiyatan dalang yang berada di Bale Agung, di utara Alun-alun Lor, juga pentas-pentas reguler yang digelar sejak 2004 hingga 2017, misalnya saat Sekaten.
Namun, pentas rutin tiap 10 Sura dan tiap “weton” Minggu Pahing dan beberapa pentas reguler berhenti total sejak ada peristiwa “insiden mirip operasi militer 2017” dan baru mulai dilakukan lagi di tahun 2023 ini sejak ada peristiwa “insiden Guasti Moeng kondur Ngedhaton 17 Desember 2022. Namun, jenis pementasan itu baru terwujud untuk tradisi rutin 10 Sura, dan beberapa jenis lain hingga kini belum bisa diwujudkan, akibat selama lima tahun lebih sejak 2017 terjadi perubahan besar terutama berkurangnya sejumlah abdi-dalem karawitan termasuk pesinden akibat usia dan sudah mendahului meninggal.
“Pesinden kraton juga tinggal dua orang yang sudah sepuh. Abdi-dalem karawitan yang setia suwita hanya 8 orang, yang lain sudah berubah karena tepengaruh oleh ‘proyek’. Jadi, yang jelas pesinden perlu ditambah dan dilapisi yang muda-muda. Abdi-dalem karawitan yang sudah berubah (sikapnya-Red), biar saja. Kita cari penggantinya yang muda-muda, pasti mau diajak melestarikan budaya di kraton. Intinya, selama 5 tahun lebih kami di luar (kraton-Red), proses regenerasi itu menjadi tidak berjalan dan kami kehilangan banyak SDM abdi-dalem. Dan tak diduga, banyak yang bisa berubah (sikap-Red),” papar Gusti Moeng.
Keinginan Pengageng Sasana Wilapa untuk mengaktifkan kembali tradisi wayangan di kraton untuk berbagai jenis momentumnya, juga disambut baik beberapa abdi-dalem yang bahkan sudah lama menyampaikan berbagai masukan demi kelangsungan eksistensi kraton, khususnya mewujudkan simbol-simbol kraton sebagai pusatnya budaya Jawa dan kraton yang selalu hidup karena menjalankan aktivitas adat dan seni budaya. Masukan dan pandangan itu datang dari RM Restu Budi Setiawan, Ki RT Suluh Juniarsah, Ki RT Gatot Purnomo, Dr Joko Daryanto dan Ketua Lokantara Dr Purwadi.
Lima tokoh yang aktif dalam aktivitas seni budaya di kraton berkait dengan posisinya sebagai abdi-dalem garap dan selalu aktif memberi masukan dan dukungan dari luar kraton, sangat berharap beberapa tradisi pentas wayang untuk beberapa momentum rutin bisa digelar kembali. Meskipun sangat disadari, pertunjukan wayang kulit kini memang menjadi sebuah tontonan yang sudah sangat mahal bagi publik secara luas, karena berbagai alasan. tetapi, khusus untuk kraton sebagai pusat dan sumbernya budaya Jawa dan seni pedalangan “gagrag” Surakarta, bisa menjadi murah atau terjangkau karena semua dilakukan dengan landasan ikhlas mengabdi demi pelestarian budaya dan kraton.
“Kalau kraton yang punya gawe, pentas wayang bukan hal yang sulit, sampai yang rutin tiap weton sekalipun. Karena, kraton punya gamelan yang bagus, wayang yang sangat bagus, abdi-dalem karawitan, dalang dan pesinden yang sudah teruji serta tempat yang banyak dan cukup memadai. Apalagi, kraton dikenal punya cirikhas pusatnya seni pedalangan gagrag Surakarta. Kraton bisa dikenal dan dikenang, karena menjalankan wajib kegiatan adat dan budaya. Kalau kraton tidak pernah wayang terus gimana? saya yakin, kraton pasti bisa. Pasti akan banyak yang mendukung,” tandas Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja.
Masukan penyemangat serupa juga diungkapkan RM Restu, RT Suluh dan RT Gatot Purnomo yang sangat aktif berkecimpung dalam merawat koleksi berbagai jenis wayang di kraton yang menggelar upacara adat tiap Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, maupun tiap Kamis minggu kedua dan keempat. Menurut mereka, 18 kotak wayang koleksi kraton secara umum sudah berhasil diselamatkan melalui “gerakan” ritual “ngisis wayang” yang sangat intensif dilakukan hampir dalam setengah tahun sejak Januari 2023, tetapi mereka menganggap kurang lengkap kalau tidak ditindaklanjuti dengan menggelarnya dalam pentas wayang di kraton.
Menurut mereka, Bangsal Smarakata yang sudah dicoba menjadi ajang pentas wayang 10 Sura lalu, akan lebih baik diteruskan dengan pentas rutin tiap weton, yang intinya untuk menampilkan kotak wayang “srambahan” (bukan level Kangjeng Kiai-Red) yang habis dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang”. Menurut RM Restu, pentas di Bangsal Smarakata harus berlanjut rutin, dan Bale Agung yang kelak bila ditinggal kegiatan sanggar pasinaon tata busana dan paes, juga bisa dimanfaatkan untuk pentas wayang rutin, agar menjadi hiburan masyarakat umum. (won-i1).