KRA Panembahan Didik Gilingwesi Sedang Melacak Pusaka Peninggalan Sunan Kudus
IMNEWS.ID – BUKU karya Drs MT Arifin SU berjudul “Keris Jawa; Bilah, Latar Sejarah Hingga Pasar” (iMNews.id. 28/12) menyinggung sekilas tentang silsilah para Empu keris dari zaman Majapahit. Konstruksi peralihan generasi dilukiskan singkat, dari beberapa nama terkenal di zaman majapahit menurun ke beberapa nama dan menyebar luas di Pulau Jawa-Madura.
Tak disebutkan adanya hubungan keturunan dari generasi empu di Kediri (abad 12) atau sebelumnya, tetapi Drs MT Arifin menyebut tokoh Empu Supa sebagai Empu paling terkenal di akhir zaman Kerajaan Majapahit dipimpin Prabu Brawijaya V (1466-1478). Empu Supa punya wilayah sebaran produknya di sekitar Majapahit, sedangkan saudaranya Empu Kasa, besar di Madura.
Namun buku itu menyebut, masih ada 4 nama empu lain yang ditempatkan sejajar, walaupun tidak dijelaskan apakah 6 nama empu, termasuk kakak-beradik Empu Supa dan Empu Kasa, dalam satu garis seusia, beda generasi atau bahkan beda zaman. Tetapi, 6 empu Majapahit itulah yang kemudian beranak-pinak dan menyebar ke arah Mataram dan pesisir selain Empu Supa.

Empat nama empu selain Empu Supa dan Empu Kasa, adalah Empi Ki Salahita yang tinggal di Tuban (Jatim) dan punya keturunan bernama Empu Ki Tepas yang besar Semarang dan punya wilayah sebaran pantai utara. Empu Ki Sokawiyana punya keturunan bernama Ki Mayi dan besar di Kulon Karang. Sedangkan Empu Ki Cublak besar di Pajang yang kelak menurun ke Mataram.
Empu Ki Supagati disebut juga punya nama besar selama Kraton Majapahit, tetapi tidak dijelaskan generasi ke berapa dari Empu Ki Supa. Dia menurunkan Empu Ki Lanang yang seterusnya menurunkan Empu Ki Legi yang juga punya nama besar selama Kraton Mataram. Sedangkan Empu Ki Kasa, sampai Mataram Surakarta berakhir, tinggal dan besar di Pamekasan, Madura.
Hingga kini, produk keris setelah Ki Kasa misalnya generasi cicitnya, Ki Luwing bertahan di Kabupaten Pamekasan, menyebar dan mendominasi pasar keris di pulau Madura. Besalennya banyak menyebar sampai di tiap kabupaten, bahkan menurut Drs MT Arifin, produknya ikut membanjiri pasar keris di Alun-alun Lor (Kraton Mataram Surakarta) dan berbagai daerah lain.

Selain garis-garis keturunan beberapa nama empu di atas, Drs MT Arifin SU juga menyajikan silsilah tiga nama keturunan Empu Ki Supa yang juga disebut Pangeran Sendhang. Empu zaman Majapahit memiliki tiga anak yang masing-masing juga menurunkan generasi empu pada zamannya sampai masa yang sangat panjang, yang semuanya tidak jauh dari keluarga Mataram.
Tiga anak itu adalah Ki Jaka Sura yang punya nama Ki Jakasupa atau Ki Tundhung Kudus atau Ki Warihanom. Nama-nama itu beranak-pinak mengelola/memimpin besalen, serta punya nama besar empu di Demak, Kudus dan Kraton Mataram didirikan Sinuhun Panembahan Senapati. Yang besar di Kudus belum ada data yang terhubung dengan para empu santri Sunan Kudus.
Anak kedua Empu Ki Supa, adalah Ki Setra Kithing yang sejak awal bermukim di wilayah Mataram yang sangat mungkin punya besalen di wilayah Ibu Kota Mataram, Kutha Gedhe. Di besalen dan di wilayah yang sama, profesi keempuan Ki Setra Kithing diteruskan anaknya bernama Ki Setranaya I, berlanjut ke Empu Ki Setranaya II dan ke anaknya, Empu Ki Sendhang Warih.

Lokasi saat profesi empu diteruskan Ki Sendhang Warih, disebut dalam buku “Keris Jawa” itu sudah berada di Kartasura. Ketika dianalisis, berarti Ibu Kota Kraton Mataram sudah pindah dari Kutha Gedhe ke Plered sampai Raja Mataram berganti Sinuhun Prabu Hanyakrawati dan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, bahkan pindah ke Kartasura saat Sinuhun Amangkurat I.
Anak ketiga Empu Ki Supa, adalah Ki Setra Toya atau Ki Supa Anom atau Ki Tundhung Madiun yang memiliki basis produksi atau besalen di Mataram, Tuban dan Madiun. Dia memiliki enerus bernama Empu Ki Lujuguna I di Mataram yang diteruskan Ki Lujuguna II di Pekajoran dan diteruskan anaknya, Ki Lujuguna III di Kartasura (Ibu Kota Kraton Mataram).
Empu Ki Lujuguna III, masih diteruskan oleh keturunannya yaitu Ki Lujuguna IV di lokasi yang sama, yaitu (wilayah) Kraton Kartasura. Tetapi, masing-masing nama yang dimaknai urut dari generasi pertama atau penerus sebelumnya, ke nama generasi berikutnya, tidak disertai tahun yang menujukkan usia empu atau saat aktif mengelola besalen atau berproduksi.

Sebaran lokasi tinggal empu yang tentu saja jadi satu dengan lokasi besalennya, sangat diyakini menunjukkan lokasi wilayah penting pada zamannya. Wilayah penting itu pasti kota atau pusat keramaian atau bahkan pusat kekuasaan, seperti Ibu Kota kraton atau kabupaten/kadipaten, baik di zaman Kraton Kediri, Majapahit dan seterusnya sampai Mataram Surakarta.
Pada zaman Kraton Demak (abad 14-15) yang diteruskan Kraton Pajang (abad 15-16), besalen yang hampir semuanya menjadi satu di kediaman keluarga empu selaku pemimpin/pemilik, peta lokasi sebarannya hampir tidak berubah. Perubahan terjadi jika figur empu meninggal dan besalen vakum, tetapi diteruskan keturunannya yang membangun besalen baru di tempat lain.
Tetapi, profil sejarah besalen seperti pada umumnya, rata-rata sudah berubah atau berhenti di saat Mataram Surakarta menjadi Kraton Mataram Islam terakhir. Setelah 1945, hampir semua besalen berhenti dan mati, tetapi ada yang masih aktif hingga kini dan jumlahnya lebih dari satu, yaitu besalen di Kabupaten Kudus seperti dituturkan KRA Panembahan Didik. (Won Poerwono – bersambung/i1)